'Yani terbunuh begitu saja didepan mataku, berkali-kali' ucapku dalam hati.Â
"Kau melupakan satu orang lagi, Abdul Haris Nasution," jelasnya.Â
"Tunggu sebentar Abdul Haris.. maksudmu Haris?" tanyaku.Â
Ia mengangguk dan berkata, "Ingatlah, jangan buang-buang waktumu untuk mengubah takdir tuhan yang kekal."
(28 -- 30 September 1965, kediaman Abdul Haris Nasution)
Mendadak saja aku sudah terbangun di depan halaman rumah seseorang, tapi yang pasti rumah ini bukan lagi rumah kediaman Yani yang terus-menerus kukunjungi sebelumnya. Aku tertegun dan terdiam untuk waktu yang lama.Â
"Hei, apa yang kamu lakukan disini?" ku dengar suara Haris dari balik badanku.Â
"Eh, kamu kan Andra! ke mana saja kamu?" tanya Haris padaku begitu melihat wajahku.Â
"Iya, anu..," aku bingung hendak menjawab apa.Â
"Ya sudah, ayo masuk dulu!" serunya.Â
Aku pun menerima tawarannya itu. Setelah masuk ke dalam rumah. Haris segera meminta istrinya untuk segera menyiapkan dua cangkir teh untuk kami berdua.Â