"Hei anak muda, apa yang kau lakukan disini?" tanya salah seorang dari mereka.Â
Rupanya mereka dapat berbicara dengan bahasa Indonesia.Â
"Sebenarnya aku ingin bergabung dengan pasukan militer," jawabku seadanya seraya menunjukkan surat edaran yang kupegang pada mereka.
Mereka pun melihat selebaran kertas itu dan mulai memeriksaku.
"Masuklah!" perintah mereka.Â
Aku hanya bisa mengangguk dan memasuki lapangan luas itu. Di sana sudah ada beberapa orang pribumi yang dilatih oleh para prajurit militer Belanda. Aku segera mendekat dan ikut baris berbaris. Kami dilontarkan berbagai pertanyaan seperti 'Apa kalian sudah yakin untuk mengkhianati pribumi lain?' dan 'Selama kalian ada disini ikutilah perintah atasan tanpa pandang bulu!'Â
Kami bahkan di pukuli bila jawaban yang diucapkan salah atau ragu-ragu. Akibatnya wajahku jadi penuh dengan luka lebam. Setelah beberapa pertanyaan itu dilontarkan, dimulailah latihan fisik yang cukup menguras tenaga hingga sore hari.
Tak lupa aku pun menjalani pendidikan wajib militer hingga berhari hari bahkan sampai berbulan-bulan lamanya. Setelah bulan-bulan yang melelahkan itu akhirnya aku ditempatkan sebagai pasukan batalion X. Menurut mereka kemampuanku sudah sangat baik, hingga aku lebih cepat diresmikan sebagai tentara ketimbang pribumi-pribumi lain.Â
Dan di sanalah aku mengenal seorang tentara lain bernama Abdul Haris juga temannya yang bernama Kartakusuma, kami dapat dengan mudahnya akrab satu sama lain.
"Jika dilihat-lihat enak sekali ya orang-orang Manado itu, mereka dapat gaji tiga kali lipat juga makanan yang kelihatan jauh lebih lezat," ujar Kusuma saat kami mengobrol.
"Ya mau bagaimana lagi kita kan hanya orang Jawa biasa" balas Haris.Â