(1945, Blitar)
Keesokan harinya, aku dipindahkan ke Blitar oleh pasukan Jepang bersama Muradi teman karibku selama di Bogor. Di sana kami bertugas mengawasi romusa. Namun dalam satu hari saja, aku sudah merasa muak dengan kekejaman orang-orang Jepang yang memperlakukan romusa dengan semena-mena.Â
Aku merasa tidak sanggup lagi bekerja seperti ini. Aku selalu dihantui perasaan bersalah. Aku menyaksikan sendiri rakyat pribumi yang diposisikan sebagai romusa diperlakukan secara keji. Sering kali aku mencoba memberi mereka makanan saat para prajurit Jepang tidak melihat. Namun semua itu tidak ada apa apanya dengan perlakuan keji yang mereka lakukan.
Hingga suatu hari saat mobil pengangkut pekerja paksa datang kemari, aku menemui seorang pria tua yang wajahnya sangat kukenali. Iya tak salah lagi, ia Pak Asep. Tubuhnya telah berubah menjadi kurus kerontang bak tulang balut kulit.Â
"Bapak? Kenapa bapak bisa ada disini?" tanyaku padanya.Â
"Kamu.. Andra? Astaga kamu betulan Andra kan?" tanyanya padaku.Â
"Iya, Pak, saya Andra," jawabku.Â
"Tolong bantu saya, Nak. Saya mohon, Euis saat ini telah dijadikan gundik, saya merasa bersalah menjadi seorang Bapak. Tolong bantu ia, Nak," ucapnya sembari dibanjiri air mata.Â
"Ba..bagaimana bisa?" tanyaku tidak percaya.Â
"Ia diculik saat aku bekerja menjadi romusa," jawabnya sembari menangis.Â
"Pak, untuk saat ini saya hanya bisa membawa Bapak kabur dari pekerjaan busuk ini, saya tidak tahu dimana keberadaan Euis," jawabku sedih.Â