"Tanpa anjingku itu aku tak mampu mencari nafkah untuk membantu keuangan kakekku," jelasnya lagi.
Aku menghela nafas berat.Â
"Baiklah aku akan mencoba mencari anjingmu itu, namun untuk saat ini tolong antarkan aku ke rumahmu," pintaku.Â
Begitu mendengar jawabanku wajahnya terlihat semringah dan ia segera mengantarku masuk ke dalam pelosok desa. Kami melewati banyak warga yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Tak jarang dari mereka sesekali menyapa si bocah.Â
"Euis, kamana wa atuh," serunya.Â
"Biasa , keur jalan-jalan," balas si bocah.Â
Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah panggung kolot yang terbuat dari susunan kayu. Begitu masuk, kudapati seorang pria tua berpakaian pangsi yang tengah terduduk di ruang tamunya.
 "Punteun, Ki. Euis pulang," salamnya begitu memasuki rumah.Â
"Loh kakimu kenapa?" tanya ayahnya khawatir.Â
"Kaki Euis tadi di gigit anjing liar sampai Euis tidak bisa jalan, untungnya Euis bertemu dengan kakak ini yang membantu Euis sampai ke sini," jelas bocah yang bernama Euis itu.Â
"Oh ya ampun, hatur nuhun nya, maaf jika cucu saya merepotkan," ucap kakek Euis padaku.Â