"Apakah Bung tidak bisa membela kami?!" tanyaku.
 "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis..." jawab Sukarno.
Akhirnya tanpa mendengarkan apa yang Sukarno katakan kami tetap bersikeras menjalankan apa yang telah di rencanakan sebelumnya. Tanggal 14 Februari 1945 kupilih untuk menuntaskan rencana ini karena bertepatan dengan acara pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang akan digelar di Blitar. Diharapkan, mereka akan bergabung dalam aksi nanti dan aksi tersebut memantik daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa.Â
(14 Februari 1945, Blitar)
Pada pukul 03.00 pagi di hari yang telah dijanjikan kami menembakkan mortir pada sebuah hotel yang di duduki para perwira militer Jepang, aku juga memerintahkan Muradi dan pasukan yang dipimpinnya membersihkan para serdadu Jepang yang ada di dalam kota Blitar secara diam-diam.Â
Setelahnya kuperintahkan ia menarik mundur pasukannya ke dalam hutan untuk membuat kubu-kubu pertahanan dan sewaktu-waktu menyerang pada saat yang tepat. Selama rencana ini tidak sampai ke telinga musuh, seharusnya akan berhasil.Â
Namun di tengah perjalanan pemberontakan ini secara mendadak saja kepalaku jadi terasa amat sakit.Â
'Sial, jangan sekarang,' ucapku dalam hati dan seketika itu pula aku tak mampu lagi merasakan tubuhku hingga seluruh penglihatanku menjadi buta...
(1950, Jawa Tengah)
Beberapa bulan telah berlalu, Indonesia akhirnya menyatakan dirinya telah merdeka. Walaupun kemerdekaan ini belum mutlak tapi kami tetap mengusahakannya dengan seluruh jiwa raga yang kami miliki hingga akhirnya Indonesia diakui telah menjadi negara yang berdaulat pada tahun 1950.
 Namun semua itu belum selesai sampai di situ saja karena banyak dari saudara-saudara kami yang malah memberontak. Hingga suatu hari aku diberi tugas untuk melawan tentara pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah.Â