"Sekarang aku lebih mencintai keluarga daripada lautan. Aku ingin bersama keluarga di rumah yang kami sangat cintai. Aku ingin dekat sekali seperti aku dekat dengan lautan. Menghabisi waktu bersama mereka. Kalau boleh jujur aku sangat sedih, kawan."
"Namun, aku tidak akan memberi penawar untuk tubuhmu. Kau juga tidak akan berjumpa dengan keluargamu." Pangeran menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah tidak usah pusing. Ada kejutan buatmu sahabat. Tadi aku menyempatkan diri untuk membeli kitab suci Al-Quran. Pasti kau senang," nakhoda menunjukkan isi bungkusan yang dibawanya dan pergi meninggalkan mereka.
"Setelah lama diminta. Nakhoda berhasil mendapatkan apa yang pangeran inginkan." Pangeran mengangguk tanda setuju dengan pendapat prajuritnya dan segera mengambil air wudhu. Setelah itu, pangeran mulai membaca Quran.
      Di istananya istri yang dirindu pun sedang melantunkan ayat-ayat suci. "Wa azanum minallahi wa rasulihi ilan nasi yaumal hajjil akbari annallaha bari'um minal musyrikina, Warasuluhu  fa ini tubtum fahuwa khairul lakum, wa in tawallaitum fa'lamu annakum gairu mu'jizillah, wa basysyiril lazina kafaru bi 'azabin alimin.  Illal lazina 'ahattum minal musyrikina summa lam ilaihim 'ahdahum ila muddatihim, innallaha yuhibbul muttaqin," putri membaca surat  At-Taubah ayat 3-4 dengan seksama dan memahami maknanya. Putri pun membaca artinya.
      Sedangkan pangeran membaca Surat Al Araf ayat 46-47, "Wa bainahuma hijabun, wa 'alal a rafi rijaluy ya 'rifanu kullam bi simahum, wa nadau ashabal jannati an salamun 'alaikum, lam yadkhuluha wa hum yatma'un. Wa iza surifat absaruhum. Tilqa'a ashabin nari, qalu rabbana la taj'alna ma'al qaumiz zalimin." Pangeran melanjutkan membaca artinya, "Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga: 'Salamun' 'alaikum. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).  Dan apabila dialihkan pandangan mereka ke arah penghuni neraka, mereka berkata: 'Ya Tuhan  Kami  janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim. "  Prajurit mendengarkan dengan seksama. Suara pangeran merdu sekali.
      Kemudian pangeran dan putri pergi ke tempat tidur.  Pangeran dan putri tidak bisa tidur dengan pulas karena rasa rindu. Mereka gelisah dalam baringnya. Mereka selalu membayangkan wajah kekasih, belahan jiwa, labuhan jiwa, semua kata tidak bisa melukiskan secara sempurna tentang perasaan ini,  sehingga belum tertidur pun mereka sudah seperti bermimpi. Suara kekasih diingat-ingat untuk menghibur diri seperti seorang pemusik yang selalu didengar oleh para penonton.
     Â
                                          """"  Â
     "Mongolia negeri yang indah, serta banyak wanita cantik. Kita akan tinggal beberapa bulan di sini. Merasakan mengembala. Kau tidak menyukai wanita, karena kau sudah menikahi seorang wanita di sana. Sedang aku  belum, tetapi aku tidak mau. Bersenang-senang di lautan aku pun tidak mau, meski lautan begitu sepi, karena bagi yang mencintai lautan, lautan itu akan terasa damai. Sedang di daratan terasa sumpek. Aku hanya akan bersenang-senang dengan alam di sini. Aku ingin menikmati keindahan alam dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan yang aku miliki sebelum kembali ke laut."
      Pangeran Maulana dan prajuritnya mencoba kebiasaan yang berbeda, begitu pula prajurit nakhoda dan diri nakhoda sendiri. Keletihan, mereka pun duduk di padang rumput. Mereka pun benar-benar berbeda sekarang, karena mereka sudah memakai pakaian masyarakat Mongolia.
    "Setiap negara memiliki perbedaan dan persamaan. Kalau soal mengembala, di negeriku pun ada, begitu pula di negeri istriku, Rembulan. Rakyat mengembala kerbau dan kambing. Rakyat juga menggunakan kerbau untuk membantu mengolah sawah mereka. Sawah akan menghasilkan padi. Padi dimasak akan menjadi nasi. Nasi adalah bahan pokok untuk sebagian besar bangsa kami."