Mohon tunggu...
Dessy Try Bawono Aji
Dessy Try Bawono Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Pemula

Pepatah bilang : life begin at forty, maka boleh dibilang saya ini sedang menjemput hidup. Dan karena masih lajang, bolehlah sekalian menjemput jodoh. Sebagai seorang lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang khas ras nusantara yang sedang gemar menulis, tentulah pantang menyerah untuk belajar dan terus belajar. Sebagaimana nenek moyangku yang seorang pelaut, kan kuarungi pula luasnya samudera. Samudera ilmu, samudera kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Tak Bisa Disalahkan

16 Juni 2019   01:46 Diperbarui: 19 Februari 2020   03:17 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terimakasih bagi para pembaca yang masih setia mengikuti kisahku ini, selamat menikmati part penutup rangkaian cerita. Tapi kuingatkan agar jangan kecewa jika tak sesuai dengan yang kalian harapkan.

Selamat melanjutkan baca !

Dilematika Sebuah Predikat

Kost Yuna sedang sepi, mayoritas kawan-kawan kostnya lagi pada KKN (Kuliah Kerja Nyata), tersebar di luar kota. Ya, mayoritas kawan kost Yuna adalah mahasiswa satu angkatan di atas kami dan semester ini ada KKN dalam paket kurikulumnya, berlaku buat seluruh fakultas dan wajib diikuti. Hanya Yuna dan Edi yang satu angkatan, sedang dua lainnya adalah mahasiswa baru yang jadwal kuliahnya masih penuh seharian. Karena itulah pagi ini rumah kost tampak lengang. Edi masih tidur, Yuna mencuci pakaian di belakang dan Aku sendirian di ruang tamu menyambut pagi hari.

Secangkir kopi panas kubuat sendiri tadi, bersama sebungkus rokok di atas meja tamu menemaniku menikmati pagi. Jam di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 07.30 wib, tapi mentari pagi ini masih malu-malu menampakkan diri. Semalam turun hujan tak begitu deras, tapi durasinya panjang hingga tinggal tersisa gerimis selepas subuh. Kabut tipis yang menyelimuti pagi tadi pun meski kusibak bersama Restu. Berboncengan motor kuantar dia ke gedung transit, menyusul kawan-kawan seangkatannya yang berkumpul menunggu bis pariwisata menjemput. Semester ini, Restu bersama kawan-kawan sejurusannya ada kegiatan yang umum disebut sebagai KKL (Kuliah Kerja Lapangan) dalam kurikulum yang tak wajib diikuti. Menurutku sih nggak tepat sebutan itu karena sebetulnya tak lebih dari semacem kunjungan aja ke beberapa perusahaan untuk sekedar melakukan observasi. Usai mengantarnya tadi, aku males pulang ke kost, berakhirlah diriku nyanthol di kost Yuna dan berakhir menikmati kopi pagi sekarang ini.

Kuseruput kopi dan kuresapi betul nikmat rasanya, lalu kuhisap rokok kuat-kuat dan kubiarkan asapnya masuk paru-paru biar nikotinnya nyampur sama darah, ngimbangin caffeinnya kopi. Cara dudukku di kursipun kubikin serileks mungkin biar darah di tubuh ini sempurna mengalir nyampai ujung pembuluh, menghantar paduan coffein dan nikotin ke seluruh tubuh hingga berdifusi ke dalam sel-sel syaraf.

Berhubung nggak ada kawan ngobrol, kubiarkan aja pikiran ini bebas mengembara ke mana-mana, mulai dari menganalisa adanya kemungkinan tugas akademis yang belum kuselesaikan. Analisa seperti itu biasa kulakukan sesaat sebelum tidur malam atau sebangunnya dari tidur, berhubung semalam tubuhku capek banget hingga langsung tertidur sepulang kerja dan sebangunnya dari tidur langsung nganterin Restu, maka tak sempatlah kuberpikir sedikitpun.

Analisa kemungkinan adanya tunggakan tugas akademis clear, aman terkendali. Pengembaraan pikiranku berlanjut ke tanggungjawabku sebagai assisten praktikum (askum) salah satu mata kuliah, tampaknya clear juga tanpa masalah, tinggal sekali pertemuan dan post test aja - enteng. Soal organisasi sudah tak perlu kupikirkan terlalu rumit, dua bulan lalu udah selesai proses reorganisasi, udah ada sertijab (serah terima jabatan) kepengurusan, tak ada lagi tanggung jawab yang kini kuemban.

Lanjut tentang persoalan ekonomi, nah..., ini nih yang lumayan rumit. Berarti caraku menghisap rokok dan menikmati kopi yang lebay ini dipicu oleh sub pokok pikiran ini. Begitulah akhirnya kusimpulkan. Berawal dari telepon Bokap dua hari lalu yang menjelaskan bahwa perusahaan tempat kerjanya kini akhirnya benar-benar bangkrut. Berimbas pemangkasan separuh lebih jumlah karyawan dan pemangkasan gaji bagi karyawan yang masih aktif. Ibuku termasuk salah satu karyawan yang dirumahkan, sedang bapak mulai kini hanya akan dibayar 60 % dari gaji awal.

Atas penjelasan itu sebetulnya aku masih optimis, masih ada kakak sulung yang siap bantu meski tak akan bisa banyak karena karirnya sendiri belum bagus dengan gaji yang pas-pasan. Yang kemudian menjadikanku galau adalah permintaan beliau yang menuntutku agar lekas-lekas menyelesaikan kuliah, berhenti kerja part time agar lebih fokus belajar serta tidak dulu pacaran. Aku tak pernah cerita bahwa aku sedang pacaran, tapi tampaknya Bokap bisa menebaknya. Mungkin saja ada anak kawannya yang tau tentang ceritaku di sini, entah siapa kutak tau.

Seperti yang sudah-sudah, kupilih Yuna rencananya sebagai kawan berkeluh kesah, untuk sekedar jadi pendengar ataupun penyumbang ide solusi. Restu sendiri belum kubagi perihal masalahku ini, aku masih bingung gimana caranya ngomong. Aku tak ingin dia ikut pusing, juga masih tak rela berpisah. Kegalauanku masih bisa kusimpan dua hari kemarin, tapi hari ini tampaknya sudah tak tahan aku simpan sendirian. Obrolanku dengan Restu pagi tadi sembari menunggu bis jemputannya datang tentang schedulnya untuk semester mendatang, bikin aku teringat lagi permintaan Bokap yang dulu pernah memperhitungkan segala kegiatan akademis sampai lulus kuliah, berikut biaya yang diperlukan.

Detik itu pula bertambahlah kesadaranku tentang predikat "mahasiswa" yang kami sandang, predikat yang penuh konsekuensi dibalik segala kebebasan yang kami miliki. Dulu waktu masih SMA, aku iri jika melihat mereka yang sudah berpredikat mahasiswa, tapi kini, menghadapi tingkat kesulitan yang makin tinggi, pengin rasanya kembali SMA lagi. Meski tak banyak kebebasan, tapi tak banyak konsekuensi yang harus ditanggung. Gak perlu ngatur-ngatur jadwal karena udah pakem, gak perlu ngotak-atik keuangan karena makan tinggal ngambil dan gak perlu sewa kost. Rasa berhutang budi sama ortu makin terasa nampar kesadaran, betapaku udah ngerasa dewasa tapi nyatanya masih jauh, cuman beda tipis aja sama kanak-kanak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun