Mohon tunggu...
Dessy Try Bawono Aji
Dessy Try Bawono Aji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer Pemula

Pepatah bilang : life begin at forty, maka boleh dibilang saya ini sedang menjemput hidup. Dan karena masih lajang, bolehlah sekalian menjemput jodoh. Sebagai seorang lelaki berperawakan sedang dengan kulit sawo matang khas ras nusantara yang sedang gemar menulis, tentulah pantang menyerah untuk belajar dan terus belajar. Sebagaimana nenek moyangku yang seorang pelaut, kan kuarungi pula luasnya samudera. Samudera ilmu, samudera kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Tak Bisa Disalahkan

16 Juni 2019   01:46 Diperbarui: 19 Februari 2020   03:17 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama tiga hari kulalui masa pengungsianku di kost Andi, tiap malamnya selalu begini ini, susah buat mata ini bisa terpejam. Meskipun telah berganti suasana, tapi faktanya otak ini masih terpaku pada memikirkan Restu. Begitu sulit untuk menghapus sementara atau menyembunyikan bayangan wajahnya, tak semudah mensetting file di hardisk komputer yang cukup dengan mengaktifkan fungsi hidden file atau membuang ke recycle bin. Jika di kostan ku sendiri bayangan wajahnya bisa jadi pengantar tidur, di sini malah jadi pencegah tidur. Kayak zat kafein yang terkandung dalam kopi.

Segala kekhawatiran dan kecurigaan terus berputar-putar dalam otak, silih berganti menghasut pikiran hingga susah tidur. Maka seperti dua malam sebelumnya, kuputuskan untuk nongkrong saja di warung kucingan di dekat kost Andi yang minuman tehnya tersohor di area seputar kampus. Kuletakkan buku di kasur dan kutinggalkan kamar Andi, melangkah keluar jalan kaki menuju warung angkringan yang kami juluki "warung sebeh". Pasalnya, penjualnya yang sudah paruh baya dengan banyak uban di kepala itu memang panggilan populernya "sebeh" atau supaya agak terhormat dipanggil Pak Sebeh. Sebeh artinya mantera pemikat, bahasa jawanya demikian. Julukan itu muncul tanpa ku ketahui sejarah pastinya, cuman pernah denger dari orang kampung situ tentang kisah kesaktiannya mengobati anak warga kampung sekitar yang sedang sakit demam dengan mantera jawanya. Tapi "sebeh" itu bisa juga berarti bapak dalam bahasa tradisi setempat. Mangkanya kalau ada mahasiswa baru memanggilnya Pak Sebeh, bermaksud menghormatinya, kami yang sudah hafal tradisi setempat pasti ketawa.

Sesampaiku di warung Sebeh, segera kupesan segelas teh panas lalu ikut bergabung dengan rombongan kawan kost Yuna yang sudah lama kukenal. Sudah kuceritakan sebelumnya bahwa kost Yuna itu tetanggaan dengan kost Andi. Maka kedua kawan seangkatan ini, kawan-kawan kostnya pun kukenal dengan baik. Beberapa bahkan sangat akrab, seperti Edi yang sekarang ada di sebelahku bersama dua kawan kost barunya. Duduk bersila kami di atas tikar yang digelar di atas trotoar tepi jalan raya arah pulang dari lokasi kampus.

"Yuna rak melu (nggak ikut) Ed ? Wis turu po (sudah tidur apa) ?" tanyaku ke Edi.

"Iyo (iya) bro, lagi wae mapan (baru aja tiduran) tadi sewaktu tak ajak ke sini. Dia tolak ajakanku tadi, katanya sih besok ada kuliah pagi. Emang bener ?"

"Iya kalee..."

"Lho kan kalian semester ini sudah jarang ada kuliah ?"

"Iya untuk paket SKS (Sistem Kredit Semester) begitu, cuma sedikit. Tapi mungkin Yuna tambah mata kuliah yang perlu diulang karena nilainya jelek".

"O..., betul juga kali ya...".

"Lha awakmu (dirimu) nyahpo yahmene rung turu (ngapain jam segini belum tidur) Ho ?"

"Hehe..., biasa, revisi gambar..." jawab Edi sambil tertawa agak malu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun