Suara tembakan telah menjadi musik di telingaku. Mayat pribumi bergelimpangan dimana-mana. Aku hanya bisa terus menembaki para tentara Jepang itu. Namun kelihatannya mereka tak ada habis habisnya. Banyak dari temanku yang gugur akibat peperangan ini. Kami terus menerus dipukul mundur oleh pasukan musuh, sialnya lagi banyak dari para pasukanku yang malah menyerah dan hanya tersisa diriku, Haris juga para tentara yang dikirim dari Australia.Â
"Haris?! Awas di sampingmu ada granat?!!" seruku. padanya.Â
Lantas ia segera mengambil granat itu dan melemparnya kembali ke arah musuh. Sebuah ledakan pun tercipta di udara. Aku berusaha menembaki tentara Jepang itu. Namun tiba-tiba saja salah satu dari peluru mereka berhasil menembus kepalaku.Â
"Andra!!" teriak Haris.Â
Rasa sakit yang amat teramat sangat ini tak sanggup lagi kubendung dan mendadak saja semuanya menjadi gelap.Â
(. . .)
Seketika itu aku terbangun di sebuah tempat gelap nan sunyi.Â
'Dimanakah ini, apakah aku sudah mati?' aku bertanya-tanya dan segera melihat ke arah sekelilingku.
Benar saja tak ada satu pun benda atau makhluk hidup yang ada di tempat ini. Semuanya benar-benar gelap dan sunyi.
"Hey! Kau kemarilah," tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang dari kejauhan.Â
Aku mencari-cari keberadaan suara itu dan saat berbalik badan aku bertemu dengan seorang pria asing yang wajahnya tak dapat ku lihat dengan jelas, karena saking gelapnya tempat ini.