"Andra, ayo kita main game! selagi para guru dan pengawas sedang sibuk ngobrol" seru Kemal, salah satu teman sekelasku.
"Hm.. aku tidak mau. Sebaiknya kau bermain game dengan yang lain saja," jawabku karena sinyal ponselku yang buruk.Â
"Oh iya sudah..jika kamu menyukai acara membosankan ini," ucapnya dengan nada mengejek seraya pergi mendekati kawan-kawan nya yang lain.
Dasar Kemal dia terlalu kekanak-kanakan. Padahal kita sudah duduk dibangku kelas tiga SMA. Aku menghela nafas berat dan mencoba berdiam diri sejenak, melihat teman-temanku pergi mengikuti si kurator museum. Hingga dalam beberapa detik saja aku sudah tak bisa melihat batang hidung mereka dari tempatku berdiri.
Entah mengapa tapi aku merasa jika tempat ini terasa sangat hampa. Rumor yang beredar soal museum yang digadang-gadang sebagai tempat angker ternyata tidak sepenuhnya salah. Mendadak saja bulu kudukku jadi merinding. Dan tiba-tiba saja... aku merasa jika seseorang menepuk bahu kananku dari belakang...Â
Aku terkesiap dan segera berbalik badan. Rupanya yang menepuk bahuku tadi hanyalah seorang penjaga museum berkacamata hitam.
"Maaf ya,dik. Bapak mengagetkan adik ya?" tanyanya dengan khawatir.
"Huft... tidak kok, Pak," jawabku ramah.
"Saya sebenarnya sedang butuh bantuan, tapi teman-teman saya yang lain sedang mengantar murid-murid SMA untuk study tour. Bila berkenan apakah adik mau membantu saya?" Tanya-nya lagi.
Aku berpikir sejenak, alangkah baiknya jika aku menolongnya. Mungkin saja ia memang membutuhkan bantuanku. Aku jadi teringat dengan pesan nenekku, ia pernah berkata jika aku harus senantiasa menjadi orang yang sabar dan sering membantu orang lain.
"Baiklah, aku akan membantu bapak," jawabku.