"Sudah! Jangan banyak bicara, jangan ikut-ikut. Kamu tahu dalam revolusi menurut Thomas Carlyle, seorang Bapak dapat memakan anaknya sendiri," kata Sukarno.Â
"Waduh, kalau begitu bapak ini sudah jadi PKI," timpal lawan bicaranya lagi.Â
"Diam kamu! Tak tempeleng pisan kowe. Sudah-sudah pulang sana. Yang ngati-ati," pesan Sukarno.Â
Saat itulah aku sadar jika Sukarno telah tenggelam dalam kekuasaannya.
'Sial..., anak dan bapak ternyata sama saja,' pekikku dalam hati.Â
"Hei, siapa kamu?"Â
Tiba-tiba saja seorang TNI penjaga istana negara melihatku dan aku pun segera lari kalang kabut. Aku segera berlari-berlari dan berlari hingga ia tak sanggup mengejarku. Kemudian setelah dirasa aman ku ambil keris yang ada di sabuk celanaku dan segera memulai ritual.Â
Dengan itu aku akan pergi ke tahun 1965 pada bulan September tanggal 29 pukul 17:00, di kediaman Yani. Seketika itu juga pentagram yang kubuat dari darahku sendiri berubah menjadi api yang menyala nyala dan mulai melahap tubuhku dengan sangat cepat.
(29 -- 30 September 1965, kediaman Ahmad Yani)
Hingga dalam sekejap saja, aku sudah berada di halaman sebuah rumah bercat putih. Aku terkejut bukan main namun juga terkagum kagum pada ritual aneh ini. Tanpa pikir panjang aku segera kudekati pintu rumahnya dan langsung mengetuknya.Â
'Tok - Tok - Tok'.Â