Mohon tunggu...
Anggita Zahra_XMIPA5
Anggita Zahra_XMIPA5 Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Pelajar SMA jones yang mencari kebahagiaan lewat ruang imaginasi. Hidup tanpa halusinasi bagai malam tanpa bintang, dapat dijalani namun samasekali tidak berkesan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

G30SPKI dalam Satu Cerpen

7 Januari 2024   16:03 Diperbarui: 7 Januari 2024   16:06 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tapi Kusuma memang ada benarnya. Terdapat banyak diskriminasi yang telah kami rasakan di tempat ini. Orang Belanda dan Manado adalah Kompi I sementara suku lain seperti Jawa termasuk ke dalam Kompi III. Skala gaji dan menu makanan pun memang sangatlah berbeda antara Kompi I dan Kompi III.

Dan keseharianku sebagai tentara pun dimulai bersama kedua temanku itu. Kegiatan kami sebagai serdadu adalah baris berbaris di lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Juga ada kalanya kami berlatih di luar lapangan yakni latihan tembak menembak di Sunter. 

Sesekali Haris ikut komandan Kompi meninjau persiapan pembentengan di Cilincing. Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke barak-barak, kami mengalami kehidupan sosial yang amat berbeda. 

Menjaga ketertiban bukanlah hal yang mudah, pada siang hari kamar-kamar perlu dikosongkan untuk inspeksi petugas piket.

Di tempat inilah kami mendapat julukan 'anak kolong' karena kamar yang sempit dibagi-bagi untuk beberapa orang (keluarga) hingga salah satu dari keluarga itu harus tidur di kolong kasur. 

Namun ada hal aneh lain pula yang kerap kali dilakukan para prajurit disini, yaitu tiap kali ada seorang pribumi lain yang melewati lokasi ini maka akan dimaki maki dan di pukuli. Jadi tidak heran jika kami para prajurit rendahan sering diolok-olok sebagai 'anak kolong' karena kenakalan kami. 

Garis bawahi aku tidak pernah memukul dan mengejek orang yang melintas namun tetap saja di cap sebagai 'anak kolong'.

Tidak hanya itu kesialan yang kuhadapi. Dalam lingkungan ini rasanya pergundikan bukan lagi hal yang tabu. Para istri dan anak-anak prajurit memiliki tempat tersendiri dalam barak-barak dan para serdadu Eropa hidup bersama gundik mereka.

 Rasanya hidupku ini jadi tidak memiliki privasi sama sekali. Pernah sekali ada seorang istri dari Letnan Belanda dan seorang gundik yang mencoba menggangguku. Aku dibuat geram karenanya dan memilih untuk tidak menggubris mereka, alhasil mereka pun menjauh secara perlahan. 

Garis bawahi kembali dan catat di buku kalian aku tidak pernah sekalipun menyentuh para gundik kotor seperti mereka.

Di pagi hari keadaan barak-barak amat ramai dengan suara riuh bocah-bocah. Banyak istri dari para prajurit yang kerepotan untuk segera mengosongkan kamar. Bahkan pernah sekali, saat Kusuma tengah menjadi dinas piket ia mendapati seorang bocah yang buang air besar begitu saja di pekarangan. Karena saking tidak ada waktunya untuk pergi ke kakus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun