Rasanya mungkin sedikit pedih tapi rasa sakit ini jauh lebih baik ketimbang peluru yang pernah menusuk kepalaku dari senjata serdadu Jepang. Setelahnya ku mulai menggambar lingkaran dengan pentagram didalamnya dengan darahku itu.Â
Ku mulai menulis tanggal, bulan, tahun, pukul hingga tempat sesuai dengan yang ia serukan.Â
"Setelah semua ini apa yang harus kulakukan?" tanyaku padanya.Â
"Berdirilah di tengah lingkaran itu!" serunya.Â
Dengan segera ku berdiri tepat di tengah pentagram itu. Seketika hal aneh pun terjadi. Pentagram itu berubah menjadi api yang menyala nyala. Aku bergidik ngeri dibuatnya dan hendak berpindah tempat.Â
"Jangan bergerak! Api itu tidak akan melukaimu ,api itu hanya akan mengantarmu ke waktu yang kau tuju," jelasnya lagi.Â
Aku pun diam sesuai dengan arahannya. Api itu mulai membakar diriku dan benar saja tak ada rasa terbakar sedikit pun dikulitku. Hingga....
(28 September 1965, Istana Negara, Jakarta)
Mendadak saja aku sudah berada di halaman istana negara diikuti dengan api ditubuhku yang padam begitu saja. Astaga rupanya aku telah berhasil berpindah tempat dan tahun dalam waktu sekejap mata. Aku segera melihat ke arah sekelilingku dan dari balik jendela istana negara aku bisa mendengar suara Sukarno yang tengah membentak seseorang dengan cukup keras.Â
"Kamu jangan PKI-phobi!" bentaknya.Â
"Tapi Pak, saya yakin Pak Yani itu masih setia dengan Bapak" ucap lawan bicara Sukarno.