"Oh iya nama saya Asep Suwirjo, kamu bisa panggil saya Pak Asep," ucapnya lagi.
"Nama saya Andra, sekali lagi terima kasih banyak, Pak," balasku.Â
Ia hanya tersenyum sembari mengangguk-angguk.Â
Baiklah sekarang aku perlu mencari anjing milik bocah itu.Â
"Jika boleh tahu bagaimanakah bentuk anjing peliharaanmu itu?" tanyaku pada si bocah.Â
"Warna bulunya abu dan ia memiliki tubuh yang cukup besar hampir sepaha orang dewasa dan juga aku memasangkan kalung merah padanya," jelasnya panjang lebar.Â
Aku mengangguk dan segera mencari anjing itu. Ku mulai mencarinya dari ujung ke ujung desa hingga ke persawahan sampai akhirnya aku menemukannya di dekat sebuah sungai. Â Rupanya anjing itu tengah memakan beberapa ikan hasil tangkapan dari para pemancing.Â
Aku segera mendekatinya, rupanya anjing ini sudah terbiasa bergaul dengan manusia, buktinya ia sama sekali tidak menggigitku begitu ku membelainya. Ku segera membawanya kepada si bocah dan begitu ku sampai di halaman rumah. Ia segera menghampiri kami dan memeluk anjing miliknya itu. Ia berterima kasih padaku berkali kali hingga aku tak sanggup membalasnya.
Keseharian ku di desa itu pun dimulai. Aku bekerja sebagai seorang tukang panggul di sebuah pasar dan pendapatanku memang tak sebesar sebelumnya bahkan jauh lebih kecil. Aku selalu membayarkan uang ku itu kepada Pak Asep, kuanggap saja sebagai uang sewa selama tinggal di sana.Â
Terkadang aku dan Euis sering kali menggembala kambing bersama anjingnya itu. Entah sudah berapa lama aku tinggal di sana rasanya sudah hampir setahun saja. Terkadang aku selalu merasa merepotkan Pak Asep namun tiap kali aku berkata demikian, ia selalu berkata,
"Kamu ini tidak perlu merasa begitu, kamu sudah saya anggap Putera sendiri."