"Tidak perlu meminta maaf. Bukankah membantu sesama itu sebuah keharusan? Lagi pula kau sudah menemukan kunci rumahku, " jawabnya ramah.
"Aku rasa hari ini aku sudah bisa pulang ke rumahku," ucapku berbohong untuk yang kedua kalinya.Â
"Eh? Yang benar? Jadi sekarang kau tidak jadi mencari pekerjaan?" tanyanya khawatir.Â
"Iya aku rasa begitu," kataku berbohong untuk yang ketiga kalinya, sial memang...
"Baiklah jika memang begitu, jangan segan segan untuk meminta pertolonganku lagi!" serunya.Â
Aku pun berpamitan kepada kedua orang tua Yani dan bergegas pergi dari rumah itu. Entah mengapa tapi rasanya tak peduli jika saat ini adalah masa lalu atau masa depan, aku selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Rasanya tidak ada satu pun orang terdekatku yang peduli dan ingin membantuku.Â
Orang tuaku telah tiada akibat kecelakaan sejak aku kecil dan keluarga besarku lebih memilih untuk menempatkanku di panti asuhan. Rasanya terjebak di masa lalu seperti sekarang ini jauh lebih baik.Â
Baiklah kembali ke tugasku saat ini, mencari pekerjaan. Untungnya aku masih menyimpan kertas edaran itu. Pada alamatnya tertulis di.. tunggu sebentar, alamat ini sangat aneh...Â
Akhirnya dengan kebingungan aku terpaksa bertanya tanya pada orang sekitar, hingga bertemu dengan dua orang pasukan Belanda yang sedang berjaga di depan sebuah lapangan luas.
Jujur saja tapi aku ragu begitu melihat mereka. Bagaimana jika mereka tak bisa berbahasa Indonesia? Haruskah aku pergunakan bahasa Inggrisku tapi memangnya mereka bisa berbahasa Inggris? Ah sial, aku benci pikiranku.Â
Akhirnya tanpa rencana apa pun aku mendekati mereka.