"Kesalahan kedua adalah ketidakadilan pembangunan. Proyek-proyek besar yang dibanggakan oleh Presiden Yono hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu, sementara daerah terpencil diabaikan. Kita melihat kesenjangan yang semakin lebar. Ketika Jakarta dan kota-kota besar lainnya menikmati infrastruktur megah, banyak daerah di pelosok yang bahkan tidak memiliki akses dasar seperti jalan yang layak atau listrik yang stabil."
Andi kemudian menampilkan serangkaian foto dari daerah terpencil---desa-desa yang tampak terabaikan, jalan-jalan berlumpur yang hampir tidak bisa dilalui kendaraan, serta anak-anak sekolah yang harus berjalan berjam-jam untuk mencapai tempat belajar mereka. Di belakang layar gemerlap kota besar, ada realitas lain yang seakan-akan tidak terlihat oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan.
Sebelum para wartawan bisa mencerna sepenuhnya informasi tersebut, Andi melanjutkan ke kesalahan ketiga. "Penegakan hukum semakin melemah. Korupsi semakin merajalela di berbagai lembaga pemerintahan. Kasus-kasus besar sering kali ditutup tanpa penyelesaian, atau pelakunya hanya dihukum ringan. Aparat penegak hukum telah kehilangan independensinya. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka tampak seperti pelindung bagi mereka yang berkuasa."
Data dari laporan menunjukkan lonjakan jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, dan grafik penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia selama masa pemerintahan Yono. Sementara banyak yang bersorak atas program anti-korupsi yang diumumkan di awal pemerintahannya, kenyataan di lapangan justru sebaliknya.
"Kita hidup di era di mana hukum sudah tidak lagi berlaku sama bagi semua orang. Hukum sekarang lebih seperti alat untuk menghancurkan lawan-lawan politik, sementara kroni-kroni kekuasaan tetap aman."
Kesalahan terakhir, yang tak kalah penting, adalah masalah utang negara. Andi berhenti sejenak, menatap hadirin yang mulai terdiam. "Selama masa pemerintahan Yono, utang negara meningkat secara signifikan. Utang ini akan menjadi beban berat yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. Apa yang tampak seperti kebijakan ambisius, sebenarnya adalah bom waktu yang siap meledak di masa depan."
Andi menampilkan data utang nasional yang menunjukkan lonjakan signifikan selama beberapa tahun terakhir, diiringi dengan grafik proyeksi pembayaran utang yang menunjukkan bahwa beban ini akan semakin membengkak di masa depan.
Saat Andi menyelesaikan presentasinya, suasana ruangan penuh dengan keheningan. Wartawan menundukkan kepala, mencatat, dan beberapa bahkan tampak terguncang oleh informasi yang baru saja mereka terima.
Dengan nada yang lebih lembut namun tegas, Andi menutup presentasinya. "Kami tidak menyampaikan laporan ini untuk menyerang pemerintah secara personal. Tapi rakyat Indonesia berhak tahu apa yang sedang terjadi. Ini bukan soal politik, ini soal masa depan bangsa. Dan ini adalah tanggung jawab kita semua."
Sesi tanya jawab pun dibuka, dan dalam beberapa menit, ruangan itu dipenuhi dengan suara pertanyaan dari wartawan yang ingin mengklarifikasi data, meminta pernyataan lebih lanjut, atau bahkan berdebat tentang interpretasi Andi terhadap situasi yang ada. Tapi satu hal jelas: Andi dan timnya telah membuka pintu ke perdebatan publik yang tak akan mudah dihentikan.
Di tempat lain, di gedung istana, kabar tentang laporan ini mulai menyebar. Dan untuk pertama kalinya, Yono tahu bahwa ia akan menghadapi badai yang tak terelakkan.