Mohon tunggu...
padmono anton
padmono anton Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang petani desa di cianjur bagian selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Katamu?(4)

9 Januari 2011   00:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua Sahabat Kar

Peristiwa itu
terjadi ketika baru saja menjadi mahasiswa, tahun 1997. Ia merasa terkejut
ketika di kelasnya ada dua orang suster. Sebelumnya, ia memang sudah mengenal
profil suster, tapi tidak pernah membayangkan bahwa ia akan kuliah, bahkan
bercanda-tawa dengan santai bersama seorang suster. Di sini ia bisa lebih dekat bergaul dengan sosok yang
namanya, suster.

"Watik berasal
dari mana?" tanya Maria, salah satu suster yang menjadi teman seangkatan Watik,
pada awal perkuliahan di pojokan kelas. Waktu itu jam istirahat.

"Saya dari nggunung, Suster," jawab Watik pelan dan
penuh hormat.

"Ah, saya tidak
mempersoalkan gunung atau bukan," kata Maria sambil memandang Watik dengan
tajam, tapi sambil tersenyum ramah.

"Oh, terimakasih, Suster. Kapan-kapan Suster
ke rumah saya ya?" kata Watik tidak
menemukan gagasan lain yang lebih baik untuk dikatakan.

"O senang sekali.
Nanti kalau libur ya?" kata Maria setengah berpekik dengan muka berseri.

Watik mengangguk
dengan taksim, lalu bertanya, "kalau Suster asalnya dari mana?"

"Lampung. Kamu
pernah ke Lampung?"

"Belum Suster.
Kalau mendengar sudah," jawabnya sambil tergelak.

"Suatu saat, kamu
mungkin bisa ke sana."

"Mudah-mudahan,
Suster!" kata Watik yang lalu melanjutkan, "Terus sekarang, Suster kost di mana?"

"Saya tidak kost, tapi tinggal di biara." [Tempat tinggal para suster, biasanya disebut
biara. Makanya ia juga disebut biarawati
].

"Aduh.. minta
maaf Suster. Saya membayangkan seperti mahasiswa biasa.." kata Watik yang
sebelumnya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

"Tidak apa-apa.
Mengapa harus minta maaf. Para suster memang mempunyai biara yang khusus untuk
suster-suster yang sedang belajar. Maka kami tidak perlu mencari kost."

"Yang kuliah
banyak Suster?"

"Maksudnya?"
tanya Maria karena Watik berbicara cepat.

"Maksudnya,
teman-teman, eh.. suster-suster yang kuliah juga banyak?" Watik memilih kata
yang dikiranya tepat.

"O, banyak!" kata
Maria lalu diam sejenak dan melanjutkan, "di biara saya ada sebelas suster yang
sekolah."

"Suster, mengapa
Suster harus sekolah? Kan sudah pandai berdoa?" tanya Watik yang sekilas
teringat pada para suster di Jawa Barat yang mengabdikan diri pada hidup doa.

"Begini, suster
itu kerjanya bukan hanya berdoa, tetapi juga harus melayani orang lain. Lalu,
agar bisa melayani orang lain dengan baik dan mengena-tepat-sasaran, mereka pun
harus belajar banyak seperti orang pada umumnya."

Watik
mengangguk-anggukkan kepala, lalu berujar, "Suster... Suster boleh tanya satu lagi?"

"Ah, kamu ini... Silahkan!" kata Maria sambil tersenyum karena melihat
tingkah Watik.

"Suster... mengapa
mau menjadi suster?" tanya Watik dengan pelan dan hati-hati.

"Saya ingin
mengabdi Tuhan," jawab Maria dengan cepat dan mantap. Sebuah rumusan jawaban
yang telah ratusan kali diucapkannya pada setiap orang yang bertanya tentang
motivasinya.

Setelah berpikir
sejenak, Watik secara spontan berkata,
"kalau begitu, saya tidak mengabdi Tuhan?"

Mendengar
pernyataan dan sekaligus pertanyaan itu, Maria terkejut dan tidak langsung bisa
bersuara. Watik tertunduk, menyesali pernyataannya.

"Ya... juga
mengabdi. Tapi.... Tapi... Sudahlah besok saja akan saya jelaskan lagi. Saya butuh
renungan dulu untuk menjelaskan," kata Maria kemudian dengan nada kesal.

"Suster, saya
minta maaf!" kata Watik pelan dengan sepintas lalu memandang wajah Maria yang
tampak muram.

"Tidak. Tidak
apa-apa. Saya hanya belum bisa langsung jawab kok. Makhlum, saya jadi suster
kan belum lama [Akhirnya, buka kartu juga
dia
]. Besok, kita omong tentang
itu lagi, ya!" jawab Maria yang berusaha bersuara biasa.

Bel berdering
menyelamatkan kemacetan komunikasi mereka. Mereka melangkah menuju tempat duduk
mereka masing-masing untuk melanjutkan kuliah.

Di dalam kelas,
Maria berpikir, "ternyata bingung juga kalau saya ditanya motivasi panggilanku
menjadi suster. Biasanya kalau ada umat bertanya, lalu saya jawab seperti tadi
dan mereka sudah puas lalu tidak bertanya lagi. Tapi, ini.. si Watik, baru
kenal lagi, malah membuat persoalan. Jadi malu, karena saya tidak langsung bisa
menjawab. Mengapa tadi saya ngobrol dengan Watik? Saya pikir tadi ia anak yang
pendiam dan polos. Ternyata... dasar sedang sial hari ini..."

Karena tidak ada
kuliah lagi, begitu kuliah berakhir Maria langsung buru-buru menyelinap keluar,
ke tempat parkir untuk mengambil sepeda jengki-nya dan mengayuh sepeda itu
sekencang-kencangnya menuju biaranya [Zaman
itu, para suster mengendarai sepeda kayuh. Entahlah di zaman sekarang
].
Karena jalan ke biaranya agak menurun dan beraspal hot-mix, sepedanya
melaju dengan amat cepat. Wussss... Kring-kring-kring! Seorang anak kecil yang kebetulan
bermain kelereng di pinggir jalan, lari terbirit-birit ke rumahnya, karena
takut diserempet sepeda yang melesat bagai ditiup angin topan itu.

Sesampai di
biaranya, dengan peluh menjalari wajahnya, Maria langsung masuk ke kamar dan
merebahkan diri di tempat tidur. Ketika rebahan, dengan sendirinya pikirannya
mengarah pada sosok Watik yang menurutnya sudah membuatnya repot. Sekali lagi
ia menyesali, mengapa tadi mendekati Watik dan ngobrol. Ia berusaha membuang bayangan itu dan tidur. Betapapun
matanya tertutup rapat, namun tidak mengantarnya tertidur. Justeru sebaliknya.
Semakin ia berusaha melupakan peristiwa dengan Watik, peristiwa itu semakin
menggelayut dalam benaknya. Tekanan peristiwa itu menyodok dirinya.

Tiba-tiba
terdengar pintu kamarnya diketok seseorang dari luar, lalu menyusul suara
memanggilnya.

"Suster Maria!
Suster Maria!"

Maria diam saja,
dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecilpun.

"Makan dulu!"
lanjut suara pelan dari luar.

Terdengar gagang
pintu diputar. Pintu tidak terbuka sebab dikunci dari dalam. Sejenak kemudian
suara langkah kaki menjauh dari pintu.

Maria tepekur,
merenung seraya memandang langit-langit.

"Nasib, nasib!
Jadi suster baru tiga tahun saja, malah mengalami kenyataan pahit. Ini baru
awal kuliah lagi. Besok, muka saya mau ditaruh di mana kalau bertemu Watik.
Kalau tidak masuk, suster pimpinan pasti bertanya-tanya. Ah... pusing.
Watik...Watik... teman baruku yang bengal. Ternyata tidak semanis yang saya
bayangkan jika kuliah di luar itu.

Tapi, bagaimana
pun saya harus berani menghadapi Watik. Masa... seorang suster takut menghadapi
seorang awam. Hanya saja, saya mesti memberikan jawaban yang memuaskan,
sehingga Watik tidak bertanya-tanya lagi. Gimana
ya caranya?

Ya... mengapa saya
menjadi suster ya? Ha, saya sendiri ternyata malah masih bingung. Selama ini,
dalam pertemuan dengan pembimbing, bila ditanya motivasiku, saya jawab: ingin
mengabdi Tuhan secara lebih khusus. Hanya itu... ya, itu saja, dan mereka tidak
mempersoalkan. Pada hal saya sendiri belum paham betul pada yang saya katakan
itu.

Sekarang, saya
harus sungguh-sungguh merumuskan motivasi saya: apa yang membuat saya untuk
memutuskan menjadi suster?

Kalau saya mau
jujur pada diri sendiri, dahulu ketika saya mendaftarkan diri untuk menjadi
suster, saya tertarik karena suster itu kelihatan suci dan dihormati oleh umat,
terutama keluarga. Keluarga akan kagum pada saya, dan akan menceriterakan itu
pada para tetangga dan kenalan. Tetangga dan kenalan akan menceriterakan hal
yang sama pada orang lain lagi. Begitu seterusnya.. Jarangkan yang menjadi
suster? Terlebih dalam keluarga besar saya, baru saya sendiri. Hebat! Tapi saya
yakin sekali, kalau motivasi yang ini saya sampaikan terus terang pada seleksi
penerimaan dahulu, pasti saya tidak akan diterima. Maka, seperti teman-teman,
saya katakan, ingin mengikuti Tuhan dengan cara khusus.

Oh ya..... cara khusus itu yang
bagaimana ya? Aduh.. memang bodoh aku ini. Bukankah ketiga kaul dan cara hidup
para suster itu merupakan cara khusus.
Mengapa hal itu tadi tidak terlintas dalam pikiranku? Kalau tidak salah
ini pernah diajarkan waktu saya di novisiat. Bukankah janji untuk miskin, taat dan murni itu membedakan suster dengan
orang lainnya? Dan bukankah kehidupan bersama dalam sebuah persaudaraan yang
merangkum orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda ini juga merupakan
cara khusus. Inilah yang belum saya sadari sungguh-sungguh.

Oh, Watik...
pertanyaanmu yang menyakitkan itu ternyata malah menyadarkan saya tentang
sesungguhnya siapakah aku dan tujuan hidupku. Aku bagaikan periuk yang sedang
dibentuk oleh sang tukang. Tanah liat
yang belum berbentuk, diaduk dengan air, diinjak-injak, dibanting, ditekan dan
kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah periuk oleh si tukang. Tentu,
kalau tanah liat itu bisa merasakan sakit, ia pasti akan berteriak-teriak
kesakitan. Tapi, akhirnya tanah yang diinjak-injak itu setelah menjadi periuk
sangat berguna bagi manusia. Begitulah sekarang, aku adalah tanah liat yang
sedang dibentuk oleh Tuhan untuk menjadi periuk, biar berguna bagi orang lain.
Oh... Watik, terimakasih! Baru saja aku membencimu setengah mati. Sekarang saya
malah merasa berhutang budi padamu. Tik, Tik... tunggulah saya besok, ya!"

Maria merasa
mendapat kekuatan baru untuk hidup. Ia bangun dan keluar menuju kamar makan.
Suster-suster lainnya sudah istirahat siang, dan ada yang kuliah. Ia makan
sendiri dengan berselera. Seolah-olah, ia belum pernah merasa segembira seperti
siang itu. Pada hal menu makan hari itu hanyalah gereh pethek
kecil-kecil (ikan asin), sambel terasi dicampur irisan petai dan jengkol, sayur
bening dari sejenis oyong, dan buah kedondong yang masih mengkal.

"Hai, Maria, kamu
sakit ya?" sapa seorang suster dengan tas putih menggantung di bahu kanannya,
yang memasuki ruang makan.

"Pusing sedikit.
Mungkin karena tadi kepanasan. Tapi sekarang sudah sembuh," jawabnya berhenti
makan sejenak.

"Tadi, pintumu
saya ketok-ketok. Karena tak ada jawaban, saya pikir sakit," kata suster itu
sambil berdiri memegangi ujung meja tempat Maria makan.

"Tidak. Sudah
sehat," tegas Maria dengan mengembangkan senyuman, lalu melanjutkan makan.

"Ya sudah. Saya
malah baru mau kuliah," kata suster yang belajar di fakultas Ekonomi itu.

"Sampai jam
berapa, Suster?" tanya Maria menatapnya.

"Jam lima. Ya..
cukup capai hari ini. Tadi pagi sampai jam sebelas. Yuk! Saya berangkat dulu,
Maria!" seru suster itu lalu melangkah keluar.

Maria mengangguk
dan meneruskan makannya yang tinggal beberapa suapan. Mau nambah, habis lagi!
Tapi lumayan, sudah cukup kenyang.

*****************************

Esok harinya,
pada waktu istirahat yang panjang, karena tak ada kuliah berikutnya, Maria
bergegas mengajak Watik ke taman di depan perpustakaan kampusnya. Tempat itu
penuh dengan pepohonan besar, sehingga rindang dan sejuk. Tempat itu juga sepi
dan agak jauh dari jalan ke perpustakaan, sehingga cocok untuk
berbincang-bincang.

Watik tidak
menduga bahwa Maria tampak akrab dan serius. Kemarin, sesudah peristiwa yang
membuat canggung, ia merasa bersalah dan tidak enak pada Maria yang baru
dikenalnya itu. Ia menganggap diri lancang berbicara. Maka, pikirnya, boleh
saja kalau Maria marah pada dirinya. Tanda-tanda kemarahan itu sudah tampak
jelas ketika selesai kuliah. Maria langsung menghilang. Jadi ia sungguh heran
dan bertanya-tanya dalam hati, ketika Maria menggandengnya dengan ramah menuju
taman.

"Ah, Suster, saya
malu jalan dengan Suster," kata Watik dalam perjalanan ke taman, sambil
berusaha melepaskan tangannya dari gandengan Maria.

"Mengapa malu,
Tik?" tanya Maria seraya menatapnya dan tidak mengerti.

"Karena merasa
tidak pantas."

"Tidak pantas
bagaimana?" tanya Maria semakin tidak mengerti, karena memang di luar
dugaannya.

"Saya itu hanya
orang biasa-biasa saja. Masa, Suster Maria mau-maunya ngajak ngobrol secara khusus. Apa lagi kemarin saya sudah lancang
bicara."

"Oo, o.. itu-tu,
yang kamu pikirkan?" seru Maria sambil tertawa, lalu melanjutkan, "justeru saya
mau ngajak ngobrol kamu, karena saya
lihat kamu ingin tahu lebih banyak tentang saya, atau tentang suster pada
umumnya. Ya kan?"

"Iya, Suster,"
jawab Watik terkondisikan.

"Watik, kita
duduk di sini saja!" kata Maria sambil menunjuk bangku dari semen di depannya.

"Jubah Suster
nanti kotor," ujar Watik basa-basi.

"Ah, tempatnya
bersih begini," kata Maria sesudah mengibaskan tangan kanannya pada bangku.

Maria duduk dan
mempersilahkan Watik duduk di sampingnya. Watik menurut saja, dan sekali lagi
sungguh tidak menduga pengalaman itu.

Sebelum
menjalankan rencana yang sudah disusunnya dari biara, Maria mencoba mengenal
Watik lebih jauh.

"Watik kemarin
dari SMA mana?"

"Saya dari SMA di
Jogja ini, Suster. Tapi, bukan lulusan kemarin," kata Watik dengan sopan.

"Bukan dari tahun
kemarin?" sahut Maria ingin tahu persisnya.

"Iya Suster.
Tepatnya, dua tahun yang lalu. Selepas SMA, saya bekerja dua tahun dulu."

"Kok tidak
langsung kuliah?" tanya Maria seraya menduga Watik dari keluarga tidak mampu
sehingga harus mencari biaya dulu untuk kuliah.

"Waktu itu saya
tidak berminat, Suster. Maka biarpun ayah saya memaksa untuk kuliah, saya tetap
tidak mau. Akhirnya saya bekerja, karena saya ingin langsung kerja," jelas
Watik sambil sesekali menoleh ke arah Maria.

"Lalu, bagaimana
bisa memutuskan kuliah?" kejar Maria seraya menyadari kesalahan dugaannya [Malu nih, jadinya. Untung Watik tak tahu
dugaannya!
].

"Begini Suster,
saya bekerja mendampingi anak-anak di panti asuhan. Nah, singkatnya dalam
pendampingan itu saya mengalami bahwa mengenal orang lain secara lebih jauh itu
penting. Salah satu cara mengenal yang baik adalah dengan belajar psikologi.
Maka, lalu saya berubah pikiran, ingin kuliah."

"O oh, saya tidak
menduga ternyata ceriteranya panjang, dan menarik betul jalan hidupmu! Di panti
asuhan mana Tik?" tanya Maria lagi.

"Jawa Barat,
Suster!" jawab Watik singkat.

"Jawa Barat!"
seru Maria dengan mengernyitkan dahi.

"Iya,
Sindanglaya. Di sana juga ada suster. Ada banyak! Suster kenal
tidak?"

"Tidak. Saya tidak kenal!" jawab Maria
yang memang belum pernah ke tempat yang dimaksud Watik.

"Oh ya, itu apa... tarekatnya
berbeda ya, Suster?" kata Watik yang selama di Jawa barat, sudah mendapat
sedikit gambaran tentang kehidupan suster. [Tarekat
adalah semacam organisasi]
.

"Betul sekali.
Ha, kamu sudah tahu?" seru Maria.

Watik mengangguk
dengan tersenyum, lalu berkata, "sedikit, Suster!"

"Jadi, Watik
lulus SMA tahun sembilan enam?" tanya Maria kembali ke soal sebelumnya.

"Tepat, Suster,"
sahut Watik.

"Dengan saya
berbeda satu tahun. Saya lulus tahun sembilan
lima"

"Bagaimana Suster
masuk biara......" Buru-buru Watik menutup mulut dengan jemari tangannya.

"Mengapa?" tanya
Maria penuh simpatik dan tersenyum.

"Maaf Suster,
saya lancang bertanya," kata Watik pelan.

"Justru itu... maka
sekarang saya mengajak ngobrol kamu
di sini."

"Jadi... Suster
tidak tersinggung?" tanya Watik malu-malu.

"Ha! Tersinggung? Masa.. seorang Suster dikit-dikit tersinggung. Ya bukannya tidak boleh atau tidak bisa,
tapi apa alasannya dan apa manfaatnya? Tidak apa-apa!" Maria tersenyum pada
Watik.

Watik terkagum
oleh perkataan Maria yang melegakan hatinya itu. "Biarpun masih muda, suster ini begitu menghayati kesusterannya," pikirnya.

"Umur kita
rasanya tidak terpaut jauh, Tik" ujar Maria karena Watik tidak bersuara, lalu
melanjutkan, "Watik lahir tahun berapa?"

"Tahun 1978,
Suster," jawab Watik sambil berkata dalam hati, "aneh, tanya umur segala."

"Saya lahir 1977.
Betul kan, kita hanya terpaut satu tahun. Ya, katakanlah satu angkatan."

"Tapi... Suster kan lebih matang dan hebat."

"Tidak menjamin,
Tik. Dari pengalaman saja Watik lebih kaya. Watik pernah kerja selama dua tahun. Sementara, saya tidak ada pengalaman.
Memang sebelum ini, saya mengajar TK. Tapi itu lebih sebagai praktek."

Watik
mendengarkan perkataan Maria dengan penuh perhatian.

Karena Watik
hanya diam, Maria berkata lagi, "eh, ya, malah sampai ke mana-mana. Kita
kembali ke pertanyaanmu. Mengapa saya menjadi suster.... Pada mulanya sih, saya
mau menjadi suster karena saya melihat bahwa menjadi suster itu dihormati,
disanjung-sanjung. Tetapi, setelah saya pertimbangkan dengan sungguh-sungguh,
tidak tepatlah, kalau saya menjadi suster hanya karena mencari penghormatan
atau sanjungan. Akhirnya saya menemukan alasan yang bisa dipertanggungjwabkan,
yaitu untuk mengikuti Tuhan secara khusus..." perkataan Maria terhenti.

Watik masih
menunggu, sambil berpikir, "masih seperti kemarin, hanya ditambah kata
'khusus'."

Sesudah menemukan
kata-kata, Maria melanjutkan, "yang saya maksud secara khusus adalah begini,
dan inilah yang membedakan antara suster dan bukan suster, atau istilah lain,
religus dan bukan religius. Dalam ini termasuk juga para biarawan. Yang
dimaksud dengan religius itu adalah biarawan dan biarawati. Kami, para
religius, mengucapkan kaul. Kaul itu, ya... bisa disamakan dengan sumpah atau
janji. Isi kaul itu ada tiga, yaitu akan hidup dalam kemiskinan, dalam ketaatan
dan dalam kemurnian. Sesungguhnya hidup dalam kemiskinan, dalam ketaatan dan
dalam kemurnian juga dihayati oleh semua orang katolik. Oleh baptisan sucinya,
semua orang katolik dipanggil untuk menghayatinya. Makanya, orang awam juga mengabdi Tuhan. Hanya saja kalau
religius, maksudnya biarawan dan biarawati tadi, menjanjikannya secara khusus,
yakni dengan pengucapan kaul tersebut untuk seumur hidup."

Maria berhenti
sejenak. Melihat Watik masih bersikap mendengarkan, ia melanjutkan, "yang
dimaksud dengan hidup dalam kemiskinan adalah menggantungkan diri sepenuhnya
pada penyelenggaraan Tuhan. Di hadapan Tuhan, kami tidak punya apa-apa. Sebagai
bentuk nyatanya, kami menggunakan barang-barang sejauh diperlukan untuk
menunjang pelayanan kami. Makanya, kami tidak dibenarkan untuk mengumpulkan
harta benda, apa lagi hanya untuk kekayaan dan kepuasan pribadi. Kemudian yang
kedua, hidup dalam kemurnian membuat kami mengarahkan sepenuhnya kepada Tuhan
saja, cinta secara total kepada Tuhan. Namun bukan berarti kami tidak mencintai
sesama manusia. Bahkan, cinta kepada sesama merupakan salah satu perwujudan
cinta kepada Tuhan. Yang tidak dibenarkan adalah mencintai sesorang secara
khusus, baik sejenis (homoseksual) ataupun lawan jenis (heteroseksual). Lebih
jelasnya, salah satu bentuk dari kaul kemurnian ini, kami tidak menikah,
sehingga bisa mencintai Tuhan secara total. Sedangkan yang terakhir, kaul ketaatan menuntut kami
untuk setia pada kehendak Tuhan. Hal ini juga terwujud dalam ketaatan kami pada
kehendak pimpinan yang membimbing kami agar mentaati kehendak Tuhan dengan
baik. Misalnya, kuliah saya di psikologi ini adalah wujud ketaatan saya pada
pimpinan. Sebenarnya, saya lebih memilih Bimbingan dan Konseling. Akan tetapi,
suster pimpinan menghendaki agar di antara para suster ada yang belajar
psikologi murni, dan yang ditunjuk adalah saya..."

Maria menhentikan
penjelasannya yang panjang itu, dan dalam hati berkata, "nangkep tidak, anak ini?"

Watik masih
bersikap mendengarkan.

Maria berkata
lagi, "Ya... selain ketiga kaul tadi, cara khas yang tampak adalah hidup bersama
kami sebagai saudara. Biarpun latar belakang kami berbeda-beda (suku,
kaya-miskin, warna kulit, jenis rambut... tetapi agama tidak), di biara kami
semua menjadi saudara, dan membangun sebuah persaudaraan... Bagaimana Watik?
Cukup jelaskah penjelasan saya ini?" Maria memandang Watik dengan senyum
tertahan.

"Ya, Suster.. ini
hal baru yang sangat menarik. Memang, tidak semua yang suster katakan bisa
langsung saya pahami secara gamblang.
Namun saya sangat senang mendengar penjelasan Suster. Di Cipanas, memang, saya
juga mengenal beberapa suster, namun belum pernah mendapatkan penjelasan
seperti ini. Mungkin karena perbedaan umur, sehingga saya sungkan untuk
bertanya. Syukurlah, Suster menjadi teman sekelas saya.."

"Tapi tentang
penjelasan tadi, memang tidak harus langsung paham. Kebetulan saja Tik kita
sekelas, sehingga kita mempunyai banyak kesempatan untuk ngobrol." Maria diam sejenak lalu berkata, "Saya pun masih berjuang
Tik!" Perkataan terakhir diucapkan dengan tekanan.

"Maksudnya apa
Suster?"

"Saya masih dalam
perjuangan untuk berusaha dan terlebih menghayati apa yang saya katakan tadi. Itu tidak akan sekali jadi, melainkan melewati sebuah
proses yang panjang, bahkan sampai mati. Selama masih hidup, masih senantiasa
dalam perjuangan." Maria berkata sambil membayangkan Watik tertarik masuk
menjadi suster seperti dirinya. [Hmm..
promosi panggilan!]
.

"Tapi Suster...
Saya tidak mengerti... Suster itu merasa... atau bisa jatuh cinta atau tidak?"
tanya Watik tanpa merasa takut karena yakin Maria tidak akan tersinggung.

"Maksudnya?"
tanya Maria pura-pura tidak memahami arah pertanyaan Watik.

"Itu..tu, cinta
pada laki-laki," jawab Watik pelan sambil tersenyum.

"Ya bisa, saya
kan perempuan normal!" sahut Maria dengan diiringi tawanya sendiri, tapi
sedikit malu.

Karena Watik diam,
Maria melanjutkan, "justeru kalau seorang suster tidak pernah ada perasaan
cinta pada lawan jenis, ada sebuah masalah serius. Ia bukanlah manusia yang
utuh. Perlu disadari, cinta adalah sesuatu yang hakiki dalam diri manusia. Nah,
cinta atau afeksi adalah modal dasar bagi seorang religius (biarawan-biarawati)
untuk mencintai semua orang. Maka, bagi religius, cinta pada lawan jenis
bukanlah sesuatu yang haram, melainkan sebuah anugerah yang membuat ia mampu
mencintai semua orang, atau katakanlah orang-orang yang dihadapinya. Hanya
saja... seperti saya katakan tadi.. cinta pada lawan jenis itu harus diolah
sedemikian rupa menjadi cinta pada semua orang. Cinta pada lawan jenis tertentu
(khusus) dikembangkan menjadi cinta pada semua jenis tidak tentu (umum).
Pengembangan cinta! Perasaan cinta yang tumbuh dalam diri bukan dibunuh,
melainkan dikembangkan menjadi lebih luas." Maria menyadari bahwa ia pun belum
memahami secara tuntas perkataan yang disampaikannya itu.

"Terus,
bagaimana, kan tidak boleh menikah?" tanya Watik masih penasaran.

"Begini..." Maria
berhenti tertawa dan buru-buru mengubah wajahnya menjadi serius. "Meskipun saya
bisa mencintai laki-laki, saya tidak menuruti perasaan itu, tetapi
mengurbankannya untuk mencintai Tuhan. Begini.. cinta kepada lawan jenis, kalau
kita kepada laki-laki, merupakan sesuatu yang indah, manis, membahagiakan, ya
kan?"

Maria mengakhiri
perkataan dengan memandang Watik secara jenaka. Watik tertawa dan mengangguk,
karena ia sendiri memang mengalaminya.

"Nah, sesuatu
yang indah dan manis itu, saya kurbankan atau saya tinggalkan, karena saya
menyerahkan cinta saya sepenuhnya pada Tuhan. Sederhananya, saya rela, tulus
ikhlas untuk tidak menikmati indah dan manisnya cinta kepada laki-laki. Itu
semua, saya persembahkan untuk Tuhan. Atau gambarannya begini. Ini hanya
gambaran... seandainya kamu sudah mencintai seorang laki-laki dan membangun rumah
tangga dengannya, bukankah kamu, sebagai perempuan yang normal, masih bisa juga
tertarik pada laki-laki lain? Akan tetapi, karena kamu sudah mencintai
laki-laki yang pertama, ketertarikanmu pada laki-laki lain, kamu tinggalkan..
kamu kurbankan, agar tetap bisa mencintai laki-laki yang pertama kan? Nah,
kalau kamu nekat juga mencintai secara sama laki-laki yang kedua, berarti kamu
selingkuh. Begitu juga aku. Aku pun bisa selingkuh. Dengan kaul kemurnian, aku
sudah bertekad untuk mencintai Tuhan dan semua orang. Jika kemudian aku
mencintai seseorang secara khusus -dan juga meskipun tidak sampai menikah--,
berarti aku selingkuh!" jelas Maria lancar di luar kepala.

"Suster kok bisa ya?" hanya itu komentar Watik.

"Kok bisa
bagaimana?" tanya Maria ingin lebih jelas maksud pertanyaan Watik.

"Maksudnya,
Suster bisa bertahan tidak mencintai seorang laki-laki secara khusus... Bagi
saya, rasanya... sulit..."

"Ya... ini pun
tidak mudah Watik. Saya sendiri tidak begitu mengerti, mengapa saya bisa..."
jawab Maria datar.

"Pada hal....
Suster kan... cantik, jadi..." Watik tidak meneruskan kata-katanya karena
mengandaikan Maria mengetahui lanjutannya.

"Ah, kamu bisa
aja..." seru Maria tersipu dan terselip kebahagian dalam dirinya.

"Iya...tentu banyak
laki-laki yang suka," Watik tidak jadi menyembunyikan lanjutan perkataan
sebelumnya.

"Begini Tik..!"
Wajah Maria kembali serius. "Saya sendiri masih selalu berjuang untuk
mempersembahkan diri secara utuh kepada Tuhan. Tapi, yang namanya manusia Tik...
kan ada kelemahan juga. Terus terang, perasaan ingin mencintai laki-laki secara
khusus.. kadang-kadang memang muncul. Tapi, kalau saya bercermin pada
suster-suster lain yang sudah tua, saya
merasa diingatkan dan diteguhkan untuk setia pada panggilanku. Kalau mereka
mampu mempersembahkan diri secara total sampai tua, nah, mengapa saya tidak?"

Sesungguhnya
Watik ingin bertanya, "kalau tiba-tiba muncul perasaan menggebu-gebu mencintai
laki-laki, bagaimana menetralkannya?", namun tidak berani.

"Tik... ini sudah
siang. Pulang Yuk!" kata Maria karena melihat Watik diam, yang berarti tak ada
yang ditanyakan lagi.

"Ya, Suster.
Terimakasih banyak atas penjelasan Suster. Saya menjadi bisa mengenal Suster.
Meskipun mungkin hanya sedikit saja yang bisa saya tangkap.." ujar Watik sambil
mengambil tas yang diletakkan di sampingnya.

"Ah, sekedar ngobrol. Kalau mau, kapan-kapan ke biara
saya. Nanti bisa tahu lebih banyak lagi," kata Maria dan sekali lagi membayangkan
Watik tertarik untuk menjadi suster, seperti dirinya [A..ha, betul kan, promosi
panggilan diem-diem rupanya!
]

"Terimakasih
Suster. Tapi, saya merasa tidak enak pada suster-suster yang lain," jawab
Watik.

"A-la... mereka
juga sama seperti kita, mahasiswa. Jadi tidak usah merasa sungkan!" kata Maria
sambil berdiri dan mengebas-ebaskan tangannya pada jubah putihnya.

"Ya, Suster.
Kapan-kapan," sahut Watik yang ikut berdiri.

Beberapa bulan
sesudah itu, Watik memang berkunjung ke biara Maria, namun bukan karena
keinginannya sendiri, melainkan karena ada diskusi kelompok. Waktu itu ia
berada dalam satu kelompok dengan Maria. Memang, tidak bisa disangkal, semakin
lama Watik semakin akrab dengan Maria. Betapapun Maria adalah seorang suster,
Watik tidak merasa canggung bergaul dengannya. Menurut Watik, hal itu bisa
terjadi pertama-tama bukan karena kesusterannya, melainkan karena pribadi Maria
yang terbuka dan toleran pada siapa saja.

*******************************

"Suster, selamat pagi!" sapa Watik ketika
melihat Maria sedang sendirian di dalam kelas, membaca buku.

"Selamat pagi, Watik! Ya.. kita yang
paling duluan pagi ini," kata Maria sambil menutup bacaannya.

"Iya, Suster. Suster, saya sedang punya
masalah serius, nih!" kata Watik
begitu duduk di samping Maria, dan meletakkan tasnya di meja.

"Pagi-pagi sudah punya masalah, masalah
apa lagi? Tidak biasanya... masalah pacar ya?" goda Maria sambil tertawa dan
menutup bacaannya.

"Ah, Suster! Bukan itu. Tapi ini serius!
Mau bantu kan Suster?" Watik menatap Maria dengan penuh harap.

"Ya, masalah apa dulu? Saya belum tahu.."
jawab Maria sambil menatap tajam Watik dan tersenyum.

"Nanti ajalah, Suster. Di taman dekat perpustakaan ya.. Suster tidak sibuk kan?"

"Boleh. Kebetulan.. hari ini hanya dua jam kan?' kata Maria.

"Terimakasih, Suster! Justeru karena
hanya dua jam, maka saya manfaatkan itu!" sambung Watik.

"Hm.. kamu licik, Tik!" kata Maria yang
sebelumnya tertawa.

"Ini bukan licik, Suster! Tapi cerdik!"
sahut Watik tidak mau kalah.

"Licik dan cerdik ada bedanya tidak,
Tik?"

"Jelas ada dong. Kalau licik pasti
cerdik. Tapi kalau cerdik belum tentu licik," jawab Watik cepat.

"Menurut saya tidak ada bedanya, karena
kedua-dua sama-sama memanfaatkan peluang!" jawab Maria juga asal ketemu.

"Kalau begitu, mudah saja Suster, ada
perbedaannya juga ada persamaanya, setuju!"

"Tidak!" sergah Maria dengan tertawa.

Canda-tawa antara Watik dan Maria,
akhirnya hilang di tengah bisingnya teman-temannya yang mulai meramaikan
ruangan kelas.

************************

Sesudah kuliah usai, Watik dan Maria
menuju taman depan perpustakaan.

"Gimana,
Tik!" tanya Maria sesudah mereka memilih tempat yang paling nyaman, tempat
duduk di bawah pohon kelengkeng [Mungkin
sambil nunggu: siapa tahu ada buah kelengkeng matang yang jatuh!
].

"Ya, masalah ini sudah lama, Suster! Hampir setengah tahun!"

Maria menatap Watik dengan simpatik dan
siap mendengarkan.

"Memang, sengaja saya tidak ceritera dari
dulu pada Suster, karena pikir saya, masalah ini tidak akan berlarut-larut
begini."

"Masalah
apa sih?" tanya Maria masih penasaran.

"Persahabatan," jawab Watik singkat.

"Dengan laki-laki?" tanya Maria juga
singkat dan langsung tersenyum.

"Ah,
Suster... Itu lagi, itu lagi... Bukan!" jawab Watik dengan tertawa.

"Bagaimana, bagaimana?" tanya
Maria dengan lembut seorang kakak terhadap adiknya. Maria mengeser duduknya
lebih dekat lagi pada Watik.

Kemudian
Watik menceriterakan hubungan persahabatannya dengan Dewi yang memburuk,
sesudah ia berusaha menolong Yuni. Tetapi ia tidak mengatakan isi pertolongan
pada Yuni. Ia masih memegang teguh janjinya pada Yuni.

"Dewi
yang di Farmasi, kan?" tanya Maria sesudah Watik selesai berbicara.

Watik mengangguk dan langsung berkata, "menurut Suster,
bagaimana? Bayangkan sudah hampir setengah tahun, ia sama sekali
menutup diri!"

"Mm.. saya memang kenal Dewi, tapi saya
tidak tahu banyak tentang dia," kata Maria yang tidak menjawab pertanyaan
Watik.

"Saya baru pertama kali menemukan pribadi
yang seperti itu, Suster," kata Watik mengarahkan persoalan.

"Ya, memang itu tidak aneh. Faktor
kepribadian yang dibentuk oleh masa lampau, kan?"

"Sepertinya, ia seorang yang
perfeksionis," kata Maria lagi karena Watik diam.

"Tepat, Suster. Itu juga yang saya
renungkan dari dulu."

"Kamu
sudah sering mendekati dengan perbagai cara?"

"Sudah bosan, Suster. Bahkan sampai malu
sendiri, karena dianggapnya suara saya seperti kucing lewat saja," jawab Watik
yang lalu tertawa.

"Ya, ada
cara. Tapi, tidak mudah!" kata Maria dan memberi harapan baru pada Watik.

"Terapi?'"
tebak Watik sesuai dengan dibayangkannya.

"Ya, semacam itu -meski bukan itu. Hal
ini sudah dipraktekkan dalam biara saya. Ini dilakukan semua Suster. Bukan soal
yang bermasalah atau tidak. Namanya, pengolahan hidup rohani. Ya..
sesungguhnya ya tetap mirip pada terapi
psikologis yang kita pelajari itu. Hanya saja, dalam kehidupan membiara lebih
ditekankan dimensi rohaninya. Perangkatnya
tetap saja: psikoanalisis dengan dipermak
di sana-sini."

"Masa? Para suster juga bisa bermasalah?"
tanya Watik yang malah menemukan sesuatu yang baginya sangat menarik
perhatiannya dan lupa pada pokok pembicaraannya.

"Tik.. karena kamu sudah akrab dengan
saya sekian lama, tiga tahun lebih..ya.. saya ingin sedikit membuka kenyataan
hidup membiara. Selama ini kamu berpikir apa terhadap kehidupan para suster?"

"Yang jelas, saya berpikir kehidupan para
suster itu baik melulu. Tidak ada masalah kehidupan. Dekat dengan Tuhan, karena
banyak berdoa!" jawab Watik yang berpikir sejenak sebelum bersuara. Tapi ia
sadar betul bahwa yang disampaikannya itu adalah yang ideal, bukan senyatanya.

"Tolong, gagasan itu kamu simpan dulu.
Mari kita lihat realitanya!"

Maria berhenti sejenak, dan Watik
memandangnya dengan penuh keingintahuan.

"Mereka yang hidup dalam biara adalah juga
manusia-manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, sama dengan mereka
yang tidak tinggal dalam biara. Semua sifat orang pada umumnya entah baik atau
buruk juga ada dalam orang-orang yang hidup dalam biara."

"Suster, bercanda ya?" tanya Watik setengah
tertawa. Ia tidak mengira bahwa Maria akan berbicara seterus-terang itu.

Maria menggeleng.

"Suster kecewa ya?" goda Watik.

Maria kembali menggeleng.

"Suster mau keluar?" goda Watik lagi,
tapi ini kelewat berani.

Lagi-lagi Maria menggeleng, dan tidak
marah, malah sambil tersenyum simpul. Ia memang tidak ada keinginan sedikitpun
untuk keluar dari biara.

Akhirnya Watik diam dengan sikap siap
mendengarkan, dan berharap Maria melanjutkan perkataannya. Dan itu tidak
menunggu lama.

"Hal ini memang sengaja saya katakan,
agar suatu saat jika menemukan kenyataan tentang suster yang terbalik dengan
yang kamu bayangkan selama ini, kamu tidak terkejut lagi... kamu tentu akan
bertanya, jika para suster itu memiliki kaul suci, mengapa bisa tetap seperti
orang awam pada umumnya? Kalau begitu tidak ada bedanya dong, dengan mereka yang awam? Tidak ada lebihnya dong, mereka mengucapkan kaul? Tik, mau
dibolak-balik sampai gosong-hitam-legam seperti arang sekalipun, suster
tetaplah manusia dan bukan malaikat. Mereka adalah manusia yang juga memiliki
kelemahan-kelemahan dan juga kekuatan-kekuatan. Dari segi itu, ya.. mereka sama
dengan orang lain, siapa pun. Nah,
bedanya, para suster dengan sumpah sucinya, secara radikal ingin membabat
kelemahan manusiawi itu agar bisa mempersembahkan diri seutuhnya dan
sepantasnya pada Tuhan. Hanya saja, cita-cita semacam itu dalam pencapaiannya
tidak mudah... alias perlu perjuangan keras!"

"Maksudnya... Suster?" tanya Watik karena
Maria berhenti berkata. Ia sengaja memancing reaksi Watik.

"Nah, kita kan pernah belajar tentang
internalisasi nilai, kan?" tanya Maria dan memandang Watik.

Watik mengangguk.

"Seperti orang pada umumnya, yang akan
memasukkan nilai-nilai dari luar dirinya, ke dalam dirinya dan membentuk sosok pribadi tertentu; begitu pula yang
terjadi pada kami yang mengucapkan kaul dan hidup membiara. Kaul-kaul yang
merupakan intisari injil, maksudnya: ringkasan injil, betapapun sudah diucapkan
dalam sebuah sumpah suci, tetaplah suatu nilai yang berasal dari luar diri. Dan
itu tidak bisa secara otomatis menjadi bagian pada diri yang mengucapkan,
melainkan melalui proses internalisasi (pembadanan, menjadikan bagian dari
diri) yang panjang dalam seluruh hidupnya. Maksudnya, yang mengucapkan kaul itu
kan sudah memiliki kepribadian tertentu, selanjutnya adalah apakah ia mampu
memadukan/menyatukan nilai baru itu, yakni isi kaul itu dalam kepribadiannya
itu. Ini.. ini yang tidak mudah, dan hasilnya tidak bisa dipastikan."

Maria diam
sejenak, dan Watik mengangguk-anggukan kepala.

Lanjut
Maria, "Hal yang sama kan juga terjadi pada orang yang memeluk agama.. agama
apa saja, termasuk juga katolik yang kita peluk. Sekedar mengucapkan atau
mengakukan aku beragama A,B,C dsb sampai Z.. adalah hal amat mudah. Tapi yang
sulit adalah menginternalisasikan ajaran agama itu ke dalam pribadi, atau
sederhananya menghayati dan mengamalkannya. Hal ini amat tergantung dari
keterbukaan pribadi itu untuk ditambah lagi atau lebih jauh dibentuk oleh
ajaran agama itu, menjadi pribadi baru, tentu saja yang lebih baik dari pada
sebelumnya. Makanya, ada yang mengatakan, bahwa orang beragama belum
tentu beriman. Artinya, beragama saja tidak menjadi jaminan bahwa orang
menghayati ajaran agama itu....

Nah, kita
sampai pada sebuah kenyataan akan adanya perbedaan antara pengungkapan dan
perwujudan iman. Pengungkapan iman cenderung lebih mudah -meskipun ini juga
tetap sulit-- dari pada perwujudan iman. Mengaku beragama tertentu, berdoa,
bersemadi, memperdalam pengetahuan rohani dan segala bentuk ulah batin, barulah
sebuah pengungkapan iman. Itu... itu belum mencukupi bila mau disebut beriman.
Masih ada dimensi iman lain yang tidak kalah pentingnya dari itu, yakni
mewujud-nyatakan keberimanannya dalam kehidupan konkret sehari-hari. Lebih
tegasnya, beriman akan menjadi penuh apa bila orang berusaha mengisi hidup
sehari-harinya dalam terang ajaran-ajaran iman yang diketahui dan dipahaminya.
Dan akhirnya, ada sebuah keseimbangan antara pengungkapan dan perwujudan iman.
Ada keseimbangan antara yang jasmani dan rohani..."

"Betul Suster. Saya juga pernah
merenungkan hal itu. Dan itu memang terjadi dalam pengalaman pribadi saya.
Betapa tidak mudah untuk menghidupi ajaran iman dalam kehidupan konkret.
Artinya menurut Suster tadi, saya belum berhasil menginternalisasikan iman saya
dalam pribadi saya. Yang terjadi sering kali malah lebih didominasi oleh
kepribadian saya yang sudah terbentuk sebelumnya. Bukannya saya tidak tahu
ajaran ini atau itu, ya sedikit-sedikit tahulah karena pernah belajar. Tapi
rupanya itu hanya sekedar menjadi pengetahuan. Bila sampai pada kenyataan hidup
yang seharusnya dihadapi dengan ajaran iman itu, e.. ternyata pengetahuan akan
ajaran iman itu malah tenggelam dan yang muncul adalah dorongan pribadi, yang
bisa baik ataupun bisa buruk. Sungguh Suster... itu memang nyata. Tepat kata
Suster!"

"Nah, iya kan? Saya pun mengalami hal
semacam itu. Dan saya yakin, semua orang mengalami hal semacam itu, dengan
sedikit perbedaan di sana-sini. Tapi, memang kita tidak perlu berkecil hati,
karena kita tidak bisa langsung secara amat baik menghayati ajaran iman. Sebab,
hal itu memang membutuhkan proses yang panjang, bahkan sampai kita mati. Dan
Dia yang di atas akan selalu membimbing kita. Namun, bukan berarti kita tidak
perlu berusaha semaksimal mungkin. Upaya harus tetap terus dilakukan. Hanya
saja, hasilnya kita tidak bisa memastikan. Kita memang masih jauh dari sempurna.
Akan tetapi kita harus mengejar dan mengejarnya... selalu berusaha.."

"Wah.. Suster malah memberi siraman
rohani, nih! Terimakasih, Suster! Saya menjadi lebih optimis untuk melanjutkan
hidup!" kata Watik begitu Maria berhenti.

"Yah... ini sekedar sharing. Kita
kan harus saling berbagi dan meneguhkan!" sahut Maria.

"Terimakasih Suster! Beruntung sekali
saya mengenal Suster. Mmm... lalu Suster.. soal teman saya tadi bagaimana?" kata
Watik yang teringat lagi akan persoalan yang sedang dihadapi.

"Justeru ini semua saya katakan untuk
menanggapi persoalanmu tadi!"

Watik memandang Maria dan tampak bingung.

"Saya pun mempunyai persoalan yang mirip
dengan persoalanmu itu. Sekarang ini saya juga sedang menghadapi seorang
suster sebiara yang marah pada saya. Hal
ini baru dua bulan. Begini kisahnya: di
biaraku kan hanya ada dua komputer, dan dipakai oleh semua suster yang
masing-masing memiliki folder.[Zaman
itu seperti itu! Entah sekarang! Atau
mungkin, masing-masing sudah pegang laptop?
]. Suatu kali saya menghapus file-file
saya yang tak terpakai lagi. Secara tak sengaja, saya menghapus file
suster itu. Di Recycle Bin pun, file itu sudah saya hapus
sehingga file-nya hilang sama
sekali. Kalau belum, tentunya bisa di-restore. Sebenarnya, salah dia
juga, karena tanpa sepengetahuanku ia menyimpan file-nya ke dalam folder-ku.
Nah, isi file-nya itu adalah tugas dengan jumlah sepuluh halaman yang
harus dikumpulkan esok harinya. Jadilah...
ia sangat marah pada saya. Ya... saya mau apa lagi, karena saya benar-benar tidak
tahu. Saya sudah mengiba-iba minta maaf.
Tapi ia malah masih terus menyalahkan saya, karena saya menghapus tanpa melihat
isi file. Yah, kalau mau hitung-hitungan, sebenarnya saya tidak
bersalah. Siapa sangka file-nya
nyasar-nyelonong di folder-ku? Nah, sejak itulah, dan sampai sekarang ia
masih mendiamkan saya. Setiap kali saya mencoba untuk berkomunikasi, selalu
tidak ditanggapi. Mirip pengalamanmu dengan Dewi.. dianggap kucing lewat.
Saya juga bingung, mau bagaimana lagi?
Suster-suster lain sih, malah menguatkan saya, karena saya sudah minta maaf.
Dan mereka yang lain memang sudah mengetahui sifat khas suster yang satu itu.
Tapi yang mbikin saya tidak enak dan
bertanya-tanya adalah dia tetap baik dengan suster-suster lainnya, karena ya..
mereka belum pernah mengecewakannya secara fatal."

"Jadi, terus bagaimana?" tanya Watik.

"Jadi.. kita memiliki soal yang sama, dan
sama-sama pula belum bisa memecahkannya."

"Ah, Suster... saya itu mau minta bantuan,
malah Suster juga mengungkapkan persoalan yang sama," kata Watik sambil
terbayang permintaan kakak Dewi untuk membantu memecahkan persoalan tentang
Dewi.

"Ya... bagaimana lagi, saya sendiri juga
masih bingung. Cara apa lagi untuk bisa berkomunikasi lagi dengan dia. Masa
iya... saya mencarikan jalan keluar untuk soalmu, pada hal untuk soalku yang sama
juga belum ditemukan jalan keluarnya. Sama saja bohong, kan?"

"Tadi di awal.. Suster mengatakan pakai
terapi, psikoanalisis? Atau apa tadi.. pengolahan hidup rohani?" Watik
mengingatkan.

"Tadi saya juga mengatakan, tidak mudah,
kan? Teorinya sih mudah, tapi prakteknya....?"

"Sulit?" cetus Watik spontan.

Maria tersenyum, lalu berkata, "makanya,
tadi saya berbicara panjang lebar tentang sulitnya internalisasi nilai-nilai
sampai mempribadi. Mmm... bagaimana ya?"

Keduanya diam, sibuk dalam pikiran
masing-masing [Sama-sama pusing, kali?].

"Tik... ini sudah jam berapa? Saya harus
pulang dulu. Ya.. terpaksa, kita belum menemukan jalan keluar," kata Maria
memecahkan kediaman.

"Mungkin lain kali, Suster," sahut Watik
sambil tangannya menggapai tas yang diletakkan di sampingnya.

"Tapi, Tik.. saya menyampaikan kenyataan
sesungguhnya apa yang saya alami di biara, bukannya saya kecewa atau mau
menjelekkan kehidupan biaraku, melainkan bagaimana supaya bisa mencari jalan
keluarnya demi baiknya," kata Maria sambil berdiri.

"Iya, saya paham Suster. Tidak
perlu kawatir! Karena bagaimana pun saya tetap mengagumi kehidupan para suster,
cara hidupnya khas, dan diabdikan pada Tuhan sepenuhnya," jawab Watik yang juga
ikut berdiri.

"Pengin jadi suster?" tanya Maria sambil
mulai berjalan dan menoleh dengan tersenyum ke arah Watik. [A-ha, ini baru promosi bukan diem-diem lagi!].

"Mmm...
saya tidak sanggup, Suster. Bisa saja saya masuk, dan belum satu bulan sudah out!"
jawab Watik dengan tertawa.

Maria
pun tertawa, dan berpikir, "ya... itu sih
memang panggilan!"

*********************

Dua
minggu kemudian, Watik dan Maria kembali bersantai di taman dekat perpustakaan.

"Suster,
sudah menemukan jalan keluarnya belum?" tanya Watik mengawali pembicaraan.

"Kalau
sudah, tentunya saya sudah mengatakannya kepadamu, Tik. Justru, saya berharap
kamu sudah menemukannya, karena kamu yang mengajak ke sini."

"Mmm..
saya pun belum, Suster."

"Lalu
ada sesuatu yang menarik lainnya?" tanya Maria menatap Watik dengan tersenyum.

"Ada, dan menurut saya berhubungan juga dengan kasus
kita."

"Apa itu Tik?" tanya Maria bersemangat.

"Tapi ini baru pemikiran saya.. tidak
tahu benar tidaknya. Nanti saya minta tanggapan Suster!"

Maria tidak berkata dan terus menatap
Watik. Menunggu.

"Suster... sesudah merenungkan kenyataan
hubungan saya dengan Dewi yang berlarut-larut, saya menemukan sebuah kenyataan
relasi antar manusia. Singkatnya, saya memahami adanya sebuah misteri dalam
relasi antar manusia, dan lalu saya menyebutnya misteri relasi."

"Sepertinya,
hal ini baru saya dengar. Coba lanjutkan
Tik! Saya belum menangkap," kata Maria karena Watik berhenti sejenak.

"Ah, bagaimana saya harus menjelaskan..
saya malah jadi bingung.. soalnya ini
kan masih berupa dugaan, Suster!"

"Loh... kamu
kan yang membuat, masa bingung?" sergah Maria dengan tertawa dan memandang
Watik.

"Ya... mungkin langsung dengan contoh saja
suster.. rumusannya nanti ya... Begini... saya akan menggambarkan
kenyataan relasi saya dengan orang lain. Katakanlah
dengan A, B dan C. Relasi saya dengan A, baik. Alasannya, saya bisa berbicara
secara terbuka padanya dan ia pun menanggapinya dengan penuh simpati. Dengannya
bisa memecahkan masalah secara bersama dan mudah. Pokoknya antara saya dan A,
sepertinya sudah menjadi satu. Kemudian, relasi saya dengan B sedang-sedang
saja. Alasannya, kami bisa saling berkomunikasi, tapi ya... tidak bisa mengupas
sampai hal-hal yang detail. Katakanlah biasa saja. Sedangkan relasi saya dengan
C, buruk. Alasannya, saya tidak pernah bisa bicara secara blak-blakan dengan C,
karena selalu disalahpahami, sehingga kalau berbicara tidak pernah nyambung.
Dengan C, kalau ada masalah tidak pernah selesai. Nah... itu yang saya pikirkan,
Suster. Gimana pendapat Suster?"

"Mmm...
nampaknya kamu berpendapat bahwa seseorang tidak akan bisa membangun relasi
dengan semua orang secara sama. Apakah seperti
itu?" Maria berusaha menyimpulkan.

"I.. ya, Suster. Ya, itu yang saya
maksudkan. Bagaimana
Suster?" tanya Watik lagi.

Sejenak Maria tercenung, lalu berkata, "ya.. mungkin benar. Saya pun mengalami."

"Betulkah Suster?" tanya Watik penuh
dengan semangat.

"Dan saya
rasa semua orang mengalami," lanjut Maria.

"Tepat Suster. Saya sudah bertanya pada
beberapa teman, dan jawabannya pun sama: semua mengalami."

"Coba Tik, lanjutkan penjelasanmu!"

"Lalu... Cuma itu, Suster!" kata Watik yang
merasa kehilangan gagasan.

"Lah, katanya tadi contoh dulu, baru
kemudian rumusannya. Mana rumusannya?"

"Iya, ya... Bingung! Begini... tampaknya kualitas relasi saya dengan
setiap orang yang berbeda, akan berbeda pula." Watik kembali menemukan
gagasannya.

"Maksudnya," tanya Maria seraya
mengernyitkan dahi.

"Maksudnya...ya seperti contoh yang saya
katakan tadi Suster.. kualitas atau mutu relasi saya dengan A, B dan C tidak
sama kan? Dengan mereka semua saya bisa membangun relasi, tapi bobotnya
berbeda. Ah, tadi kan sudah menyimpulkan?"

Watik memandang Maria dan menunggu
tanggapan.

"OK, hal itu saya paham. Lalu, tadi kamu
mengatakan misteri.. misteri relasi. Di mana misterinya?"

"Misterinya... artinya hal yang sulit
dipahami, adalah... Aduh.. ini hanya
dugaan saya loh... misterinya adalah mengapa relasi saya dengan A, B dan C,
bobotnya tidak sama. Sepertinya, itu sudah di-stel dari sananya, dan
tidak bisa dipaksakan supaya sama. Ini... bagi saya sungguh menjadi misteri, tak
terpahami. Mengapa kenyataannya begitu?"

"Tik... benar katamu. Menurut saya, ini
menurut saya, tidak tahu menurut orang lain, yang kamu katakan itu rasanya
dialami oleh semua orang, entah disadari atau tidak. Sekurang-kurangnya saya
pun mengalaminya. Saya setuju dengan gagasanmu, bahwa kita tidak bisa membangun
relasi dengan setiap orang dengan kualitas yang sama, dan tidak bisa dipaksakan
menjadi sama.'

"Tapi, saya bingung, Suster. Bukankah
kita dianjurkan untuk jujur dan terbuka pada semua orang?" Watik mencari
ketegasan dari gagasan yang sudah yang lahir dari pengalamannya.

"Idealnya memang begitu. Tapi,
kenyataan sehari-hari tidak semudah
anjuran itu. Ada banyak pertimbangan yang membuat kita untuk tidak harus blak-blakan dengan semua orang,
melainkan hanya pada orang tertentu saja. Ada sebuah keadaan yang menuntut kita
bicara secara terbuka dengan orang yang satu,
sedangkan harus menyembunyikan di hadapan orang yang satunya lagi. Tanpa
disuruh, praktis semua orang di dunia pernah mengalami seperti itu. Menurut
saya, tindakan itu tidak salah, sejauh hal itu bukan untuk keuntungan
pribadinya, bukan untuk sebuah kejahatan, melainkan demi kebaikan bersama, atau
setidak-tidaknya untuk meminimalkan akibat buruk dari suatu masalah yang sedang
dihadapi."

"Jadi, jujur pada sesorang dan tidak
jujur pada orang lain lagi dibenarkan, Suster?" tanya Watik meminta ketegasan
lagi.

"Menurut saya, ya... sejauh itu bukan untuk
keuntungan diri pribadi, melainkan demi sebuah kebaikan bersama. Atau lebih
tegasnya itu bukan sebuah tindakan manipulatif untuk mementingkan diri
sendiri," tegas Maria yang mengulang sebagian penjelasan sebelumnya.

Mendengar itu Watik tercenung sejenak,
karena mengingat bahwa hal itu pernah dialaminya dalam kaitannya dengan Yuni.

"Ingat teori tahap-tahap perkembangan
moral dari Kohlberg? Adalah lebih baik kita tidak jujur pada seseorang, apa
bila jujur tetapi akibat buruknya malah lebih parah," lanjut Maria karena Watik
terdiam.

"Tapi tentunya, bukan berarti kita
dianjurkan supaya tidak jujur kan, Suster?" tanya Watik yang menduga bahwa
pernyataan Maria bisa-bisa disalahpahami oleh orang lain yang mendengarnya.

"Oh ya! Secara umum, dalam kondisi
normal, kita memang tetap dituntut untuk jujur. Hanya saja... ada situasi-situasi
tertentu dengan berbagai pertimbangan yang matang-bukan sekedar sambil lalu--,
memaksa kita untuk tidak jujur. Patokan umum tetap jelas. Kejujuran adalah
sebuah nilai yang luhur dan harus diperjuangkan."

"Nah, nampaknya itulah salah satunya
mengapa saya memahami adanya sebuah misteri relasi, Suster. Terimakasih
Suster.. Suster semakin menguatkan pemahaman saya."

"Tapi, saya berpendapat: betul saya amat
setuju pada gagasanmu tentang perbedaan kualitas relasi pada setiap orang yang
berbeda. Akan tetapi, bukan berarti kita lalu membenci orang yang dengannya
kita bisa membangun relasi secara mendalam."

"Tentu, Suster. Saya pun sudah
mempertimbangkan itu. Justru dengan itu saya berusaha untuk menghargai orang
lain, bukan membencinya; meskipun hal ini bukanlah hal yang mudah. Contoh
konkret Suster, tentang relasi saya dengan Dewi. Suster kan tahu relasi saya
dengan Dewi amat buruk. Tapi saya tidak membencinya, melainkan saya berusaha
menyadari bahwa memang tidak bisa dipaksakan mutu relasi saya dengan Dewi sama
dengan mutu relasi saya dengan Suster misalnya. Memang... ya terus terang saja
Suster.. ya saya ini orang lemah, kadang-kadang muncul rasa jengkel juga."

"Tik.. kalau boleh saya usul, kualitas
relasi yang kamu beberkan tadi lebih baik tidak menggunakan kata "baik",
"sedang" dan "buruk". Sepertinya kata-kata bernuansa tidak enak. Bagaimana
kalau menggunakan istilah: "mendalam", "sedang" dan "dangkal", sehingga
kedengarannya netral. Saya membayangkan segala relasi yang terbangun dengan
orang lain itu baik. Hanya saja "baik"-nya berbeda-beda, ada yang mendalam, ada
yang sedang dan ada yang dangkal. Ya, memang sih... muatannya tetap sama. Ini
hanya usul."

"Betul, Suster. Itu bagus. Terimakasih.
Saya memang masih mencari-cari istilah yang tepat."

"Tapi.." Maria tak jadi berkata. Entahlah
ia mau berkata apa.

Sesudah agak lama hening, Watik berkata,
"Suster ada yang saya lupa berkaitan dengan pemahaman misteri relasi tadi.
Yaitu, mengenal secara cermat orang lain itu amat penting, sehingga kita bisa
menentukan mutu relasi macam apa yang bisa terbangun. Relasi baik macam apakah
yang bisa terbangun. Mengenal pribadi yang lain secara jauh, menurut saya, akan
sangat membantu bagaimanakah kita harus bersikap dan bertindak secara tepat di
depan orang itu."

"Oh ya! Itu memang modal dasar apa bila
kita mau membangun relasi yang baik. Hanya saja perlu diingat, jangan sampai
kita jatuh pada mengadili orang lain. Memang amat tipis bedanya antara menilai
dan mengadili orang lain. Menilai orang lain dan juga situasi bukanlah tindakan
yang salah, bahkan itu merupakan tuntutan logis bagi setiap manusia yang diberi
karunia akal budi dan kehendak bebas untuk mencermati segala sesuatu yang
didengar, dilihat dan dirasa. Hanya saja bila hal itu lalu dilanjutkan dengan
merendahkan atau menjelek-jelekkan orang yang dicermatinya tentunya itu sebuah
pengadilan, dan kita tidak ada hak untuk itu. Dan perlu kita ingat, patokan
atau ukuran percermatan/penilaian bukanlah perasaan suka atau tidak suka kita
atas pandangan, sikap dan perilaku seseorang, melainkan norma-norma, baik norma
sosial maupun norma iman. Amat berbahaya jika kita menilai orang hanya
berdasarkan perasaan kita sendiri. Oleh sebab itu untuk bisa menilai secara
memadahi, kita terlebih dahulu mesti sedikit-sedikit, syukur kalau bisa banyak, memahami norma-norma sosial dan iman
itu. Syukur-syukur lagi sudah berusaha (mampu) menghayatinya."

"Saya sungguh menyadari itu, Suster.... Ya,
kata Suster tadi benar, bila kita berusaha untuk mengenal pribadi lain secara fair memang bukan bertujuan untuk
merendahkan atau membencinya, melainkan agar kita bisa berlaku atau bersikap
secara tepat di depan pribadi itu, sehingga menghindarkan kemungkinan-kemungkinan
yang jelek. Lebih jauh lagi, agar kita bisa menghargai pribadi itu. Kalau kita
tidak mengenalnya, bagaimana kita bisa menghargainya? Betul kan? Apabila kita
tidak bisa menghargai, bagaimana kita bisa membangun relasi dengan mendalam?"

"Saya setuju, Tik! Memang kalau kita
tidak mengetahui latar belakang seorang pribadi tertentu, kita tidak tahu
dengan pasti, mutu relasi macam apa yang musti kita bangun. Hal ini amat terasa
jika kita baru saja berkenalan dengan seseorang. Bukankah waktu baru sekali
bertemu, kita masih meraba-raba, semacam apakah pribadi orang itu. Selanjutnya
kita pun masih gamang, relasi seperti apakah yang harus kita bangun. Betul itu
sungguh alamiah, dan berkembang melalui sebuah proses, yang bisa saja lambat,
pun pula bisa cepat."

"Seperti waktu kita bertemu pertama kali
kan, Suster?" sambung Watik sambil tertawa dan memandang Maria.

"Iya... kamu masih ingat?" tanya Maria juga
sambil tertawa dan terkenang pertemuan pertama kali dengan Watik.

Watik hanya mengangguk.

"Tik... menurut saya, gagasan misteri
relasi yang kamu sampaikan itu membuat adanya tingkatan-tingkatan pergaulan."

"Maksudnya?" tanya Watik karena Maria
tidak kunjung melanjutkan.

"Dalam pergaulan bukankah kita mengenal
adanya sahabat, teman, kenalan. Dari sahabat sendiri masih bisa digolongkan
menjadi sahabat karib dan tidak karib. Nah, ngerti kan maksud saya? Begini...
sahabat, dan bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi saudara, adalah orang
yang relasinya dengan kita "mendalam". Sepertinya, sudah tidak ada batas antara
"aku" dan "engkau". Kemudian teman adalah orang yang relasinya dengan kita
"sedang-sedang" saja. Sedangkan kenalan adalah yang relasinya "dangkal". Klop kan? Tapi ingat loh... ini bukan
sebuah kepastian. Pasti akan banyak terdapat kekecualian dan variasi di
sana-sini.'

"Hebat, Suster. Nah, ternyata kita
sekarang sudah menemukan istilah yang tepat lagi dan sudah tidak asing di
telinga kita, dalam misteri relasi... muncul yang namanya: sahabat... teman... dan
kenalan. Benar, Suster.... Nampaknya begitu," kata Watik yang lalu
mengangguk-anggukkan kepala.

"Bahkan saya menyadari apabila kita tidak
mempunyai sahabat dalam hidup ini, biarpun di tengah orang banyak, kita akan
merasa sendiri, kesepian. Bila tidak ada sahabat, tidak akan ada orang yang
kita bisa ajak bicara dari hati ke hati. Dengan adanya sahabat, kita bisa
saling mencurahkan isi hati, bisa saling membantu secara intensif. Dan meskipun
tinggal berjauhan, dalam dua orang yang bersahabat, ada sebuah kedekatan yang
tak terkatakan. Namun demikian, kita tidak mungkin menjadikan semua orang yang
kita kenal menjadi sahabat dalam arti yang sesungguhnya. Pastilah hanya
beberapa dari banyak teman atau kenalan kita yang bisa menjadi sahabat. Nah..
ini... benar gagasanmu.. misteri relasi. Mengapa yang bisa cocok dengan pribadi
kita secara mendalam hanya beberapa orang yang kita kenal, dan bukan semua
orang yang kita kenal? Betul... ini.. ini sebuah misteri. Dan anehnya lagi,
terjalinnya sebuah persahabatan, tidak bisa kita sengaja, melainkan terjadi
secara alami dan sering kali tak terduga. Ini juga misteri lagi. Kalau kita
sengaja, banyak kali terjadi, malah tidak tercapai. Ini misteri lagi. Ya..
hanya Tuhan kuncinya."

"Suster.. iya, benar ya," celetuk Watik.

"Tapi yang perlu kita ingat, mempunyai
sahabat bukan berarti kita hanya mau bergaul dengan orang cocok saja, atau
membuat diri ekskusif, melainkan juga harus terbuka pada semua orang. Apalah
lebihnya jika kita hanya mau bergaul dengan orang yang cocok dengan kita? Kita
membangun relasi dengan semua orang yang kita jumpai. Tentu saja dengan tetap
disadari, mutu relasi yang terbangun tidak akan bisa sama."

"Jadi tetap menghargai orang yang tidak
bisa menjadi sahabat?" tanya Watik yang meminta penegasan.

Maria mengangguk, memandang Watik dengan
tersenyum, lalu berkata, "Dengan kata lain, kita dituntut juga untuk menghargai
orang lain yang pandangan, sikap dan perilakunya berbeda dengan kita. Tidak
bisa disangkal bahwa oleh uniknya masing-masing manusia, kita mempunyai
perbedaan satu sama lain. Namun perbedaan itu tak menghalangi agar kita saling
menghargai. Sebab ukuran penghargaan kita pada orang lain bukanlah pada
pandangan, sikap dan perilakunya, melainkan pada martabatnya sebagai manusia,
ciptaan Tuhan. Dalam hal martabat, semua manusia tidak terbedakan."

"Secara teoritis memang itu benar sekali,
Suster. Namun dalam kenyataan, susah sekali ya... Sering kali kita tidak
menghargai orang lain karena melihat atau menghadapi pandangan, sikap dan
perilakunya yang menurut kita, tidak benar atau berbeda dengan kita," keluh
Watik sambil memandang Maria.

"Itulah, karena kita belum (tidak) bisa
memilah antara martabat dan tempelannya. Yang saya maksud dengan tempelannya
adalah pandangan, sikap dan perilaku setiap manusia yang memiliki maratabat
sama itu."

"Ya.. saya bisa memahami itu, Suster.
Seorang yang jahat bagaimanapun harus tetap dihargai karena ia tetaplah
manusia, ciptaan Tuhan. Yang tidak kita hargai adalah kejahatannya. Tapi... sungguh sulit, Suster... Ini membutuhkan
kematangan pribadi yang luar biasa. Dan rasanya saya sendiri belum sampai pada
taraf semacam itu.... Suster, sudah sampai?" Watik memandang Maria dengan
senyum.

Maria yang juga membalasnya dengan
senyum, menjawab sambil mengawali dengan menggelengkan kepala pelan, "belum!
Betul, memang itu bukanlah hal yang mudah.. sulit. Namun, sulit bukan berarti
tidak benar atau tidak perlu. Justeru untuk sebuah kebenaran, memang biasanya
sulit dan membutuhkan pengurbanan-pengurbanan besar. Jadi, menurut saya,
meskipun kita belum mampu, kita harus berupaya terus-menerus, dan bukan tidak
mungkin akan sering jatuh. Tapi, harus bangun lagi. Jatuh lagi dan bangun lagi.
Dan saya yakin, kita tidak akan pernah selesai untuk berupaya, sampai habis
hari-hari hidup kita. Artinya, selama masih hidup, kita akan berusaha terus. Dengan
kata lain, hari-hari kita adalah rahmat dari Tuhan agar kita mengisinya dengan
perjuangan untuk memeluk kebenaran itu. Dalam hal ini, menghargai orang lain
dalam keadaaan apa saja."

"Iya, dalam berupaya menghargai orang
lain, kita selalu jatuh dan bangun. Begitu terus-menerus. Sampai kapan ya?"

"Ya, sampai mati dong! Tapi ingat Tik,
jatuhnya itu tidak kita sengaja, sedangkan bangunnya harus kita sengaja. Kalau
kita tidak sengaja bangun, tentunya kita kan terpuruk dalam kejatuhan itu."

"Eh, itu menarik sekali Suster. Tolong
jelaskan lebih lanjut, Suster!" pinta Watik penuh minat.

"Ini dalam konteks menghargai orang lain
ya! Kalau kita jatuh, dalam arti gagal menghargai orang lain, itu tidak pernah
kita sengaja."

"Benarkah?" sela Watik sedikit meragukan.

"Iya. Saya memahami bahwa orang tidak
pernah secara sengaja tidak menghargai orang lain. Sesungguhnya, oleh panggilan
kemakhluk-sosialannya, atau dalam konteks iman kita, oleh kese-citra-annya
dengan Tuhan, setiap orang akan
menghargai orang lain yang juga secitra dengan-Nya. Akan tetapi, dipaksa oleh kondisi tertentu,
orang tidak mampu lagi menghargai orang lain."

"Mmm.. dipaksa oleh kondisi tertentu...
maksudnya?" Watik menatap Maria dengan tajam.

"Iya.. misalnya begini: sesorang membunuh
manusia. Ini contoh yang sangat jelas dan ekstrem, bahwa ia tidak menghargai
orang lain."

"Sengaja?" sela Watik.

"Dalam arti apa sengaja itu, Tik?" Maria
balik bertanya dan memadang Watik.

"Dalam arti, ia menyadari apa yang
dilakukannya. Jika ia sadar, maka ia sengaja," jelas Watik agak yakin.

"Sekadar menyadari tindakannya?" kejar
Maria.

"Juga sadar akan jahatnya tindakannya
itu, kualitas tindakan itu," lanjut Watik.

"Yang itu, saya tidak yakin, mengapa?"

Watik hanya memandang Maria, menunggu
lanjutan kata-katanya.

"OK-lah kalau yang pertama, sadar akan
tindakannya, saya yakin itu bisa terjadi. Tetapi, tentang sadar akan kejahatan
tindakannya itu, hm.. saya belum yakin. Saya tidak yakin, ketika detik membunuh
orang lain, seseorang menyadari kejahatan tindakannya itu. Bila kesadaran itu ada sebelum dan sesudah
detik pembunuhan, itu sangat mungkin terjadi."

"Sebelum dan sesudah pembunuhan...
maksudnya?" Watik kembali tidak mengerti -amat pelik.

"Begini.. bisa saja, sebelum membunuh,
orang itu tahu dengan persis bahwa tindakan yang akan dilakukan itu jahat, dan
juga sangat mungkin terjadi perang batin dalam dirinya. Tetapi, saat ia
membunuh, ia tidak sadar bahwa tindakannya itu jahat."

"Kok
bisa," seru Watik yang merasa penjelasan Maria sulit dipahami.

"Begitu ia membunuh, kesadaran akan
kejahatan pembunuhan hilang dari dirinya. Ia tidak tahu lagi bahwa tindakannya
itu jahat. Saat itu dalam dirinya, tidak ada pemikiran tentang adanya kejahatan
ataupun kebaikan. Kosong. Hampa. Apa
bila ia sadar, pasti ia tidak jadi melakukan pembunuhan. Kesadaran akan
kejahatan tindakan itulah yang membatalkan ia melakukan pembunuhan."

"Mm..." guman Watik. Ia belum juga memahami
maksud perkataan Maria.

"Hal itu akan lebih jelas setelah detik
pembunuhan. Ada yang langsung menyadari bahwa tindakan yang baru saja
dilakukannya itu jahat. Ada yang lama baru menyadari, bahkan ada pula yang
tetap tidak menyadari jahatnya tindakan itu. Penyesalan! Penyesalan adalah
bukti jelas bahwa baik buruknya tindakan yang sudah atau baru dilakukannya
tidak disadarinya. Ia tidak menyadari kualitas tindakan yang baru dilakukannya.
Akhirnya, ia menjadi menyesal: mengapa tadi melakukan itu, pada hal seharusnya
tidak dilakukannya, sebab tindakan itu jahat."

"Jadi?" tanya Watik meminta ketegasan.

"Tindakan pembunuhan: wujud paling kelam
penghargaan terhadap orang lain, tidaklah disengaja. Tidak disengaja karena ia
dikendalikan oleh gerakan bawah sadar yang non-moral. Artinya tidak bisa
membedakan mana baik dan mana buruk. Saat itu, detik tindakan jahat itu, orang
dalam keadaan non-moral. Maksudnya, tidak mampu membedakan mana tindakan baik
mana tindakan jahat. Yang bekerja adalah kemampuan bawah sadarnya. Orang
bertindak secara tidak sadar. Nah, yang menggerakkan bawah sadarnya melakukan
tindakan jahat adalah kondisi atau keadaan dirinya. Maka, di awal saya
mengatakan dipaksa oleh kondisi."

"Kondisi apa saja, Suster?"

"Hanya ada dua, yakni kondisi dalam
dirinya dan kondisi luar dirinya. Dan yang paling menentukan adalam kondisi
dalam dirinya. Yang dimaksud dengan kondisi diri atau pribadi adalah kematangan
pribadi orang itu, dan untuk yang beriman, kematangan iman. Sesungguhnya,
kematangan pribadi dan kematangan iman, merupakan satu-kesatuan yang tak
terpisahkan. Bila orang sudah matang secara manusiawi dan secara imani, --dan
tidak perlu matang sekali, setengah matang saja sudah mencukupi-- pastilah
tidak akan sampai melakukan pembunuhan apapun motifnya, terkecuali untuk
membela diri dalam keterpaksaan yang dilematis. Orang yang matang secara
manusiawi-imani, akan menyadari baik buruknya sebuah tindakan, lalu perlu
dilakukan atau tidak. Lalu yang kedua, kondisi luar dirinya adalah faktor dari
luar diri yang mendorongnya untuk melakukan pembunuhan. Misalnya: keterdesakan
ekonomi, waktu dan tempat yang memungkinkan dll. Tetapi, yang terutama dan
sangat menentukan adalah kondisi dalam diri orang itu: kematangan atau
kedewasaan."

Watik mengangguk-anggukan kepala. Ia
berusaha meresapi perkataan Maria.

"Rasanya, gagasan tentang kematangan atau
kedewasaan itu bisa juga untuk meneropong tindakan-tindakan lainnya, bukan
hanya dalam kaitan dengan penghargaan terhadap orang lain," kata Watik kemudian
yang berarti ia bisa menerima penjelasan Maria.

"Oh iya! Kematangan manusiawi dan imani
adalah kunci baik-buruknya segala... segala tindakan manusia. Memang juga tetap
kita sadari, untuk menjadi matang itu juga tidak mudah dan membutuhkan proses
yang panjang dan bisa juga berbelit-belit, dan tadi... jatuh dan bangun. Jatuh
lagi dan bangun lagi..."

"Suster.. dengan penjelasan Suster, saya
menjadi agak mudah untuk memahami bahwa kita harus menghargai orang lain dalam
keadaan apa saja, entah ia bertindak jahat atau pun bertindak baik."

"Yang tidak kita hargai adalah tindakan
jahatnya. Dan lebih lanjut kita dipanggil untuk membantunya keluar dari
tindakan jahat itu. Tapi ini pun tidak begitu mudah, dan memerlukan sebuah
strategi yang tepat untuk memaksimalkan keberhasilannya."

"Tapi, saya masih bertanya-tanya, Suster.
Kalau orang bertindak jahat, pada detiknya itu tidak menyadari tindakan
jahatnya, berarti ia tidak bertanggungjawab atas tindakannya itu, dan
selanjutnya ia tidak bersalah, dan selanjutnya lagi ia tidak bisa dijatuhi
hukuman, dong?"

"Tik... saya pun sudah mempertimbangkan hal
itu. Tentu dalam sebuah pengadilan publik, saya yakin, gagasan tentang
ketidaksengajaan pada detik tindakan jahat tidak akan diakui. Sebab kalau itu
dipakai, di dunia ini tidak perlu ada penjara, karena tidak ada orang yang akan
dihukum. Pendekatan kita memang berbeda. Saya bukannya menentang adanya
pengadilan publik ataupun penjara, yang dihaluskan menjadi lembaga
pemasyarakatan. Saya hanya mau
menegaskan bahwa kalau orang tidak (mau) melakukan kejahatan, hendaknya
bukannya karena takut hukuman, melainkan karena sungguh menyadari bahwa
tindakan jahat memang berlawanan dengan martabat kita sebagai ciptaan Tuhan.
Singkatnya, sebagai ciptaan-Nya, kita tidak seharusnya melakukan tindakan yang berlawanan
dengan kehendak-Nya. Apabila kita tidak melakukan tindakan jahat hanya karena
takut hukuman, berarti kita belum merdeka. Kita masih dipenjara (diperbudak)
oleh ketakutan akan adanya hukuman yang akan menimpa kita. Dan juga, kita belum
menyadari bahwa kita dipanggil untuk menjadi kehadiran Tuhan di dunia ini. Tuhan itu baik, maka kita pun dipanggil menjadi
baik. Tuhan itu benar, kita pun
dipanggil untuk menjadi benar. Tuhan itu kudus, kita pun dipanggil untuk
menjadi kudus. Tuhan itu berbela rasa terhadap manusia, maka kita pun dipanggil
untuk berbela rasa terhadap sesama. Tuhan itu pengampun, kita pun dipanggil
untuk menjadi pengampun. Dan seterusnya. Singkatnya, kita dipanggil untuk
menyerupai Tuhan dalam segala sifatnya. Hanya saja... ya kembali lagi pada hal
yang selalu sama... hm, hm, hm... tidak mudah, dan membutuhkan perjuangan dan
pengurbanan. Tuhan memang senantiasa memanggil, namun meskipun misalnya kita
mampu mendengar panggilan itu, belum tentu juga serta-merta kita menjawabnya.
Dalam diri kita ada kehendak bebas yang membuka kemungkinan tanggapan kita pada
panggilan-Nya: bisa menolak, dan --yang diharapkan oleh Tuhan-- bisa mengikuti.
Kehendak bebas sendiri bersifat netral, bahkan itu merupakan anuerah dari Tuhan
yang khas hanya untuk manusia. Oleh sebab itu, berhadapan dengan panggilan Tuhan,
setiap manusia ditantang: apakah mau/bisa menggunakan kehendak bebasnya secara
tepat dan baik atau tidak?"

"Hmm.. tidak percuma saya memiliki
sahabat, seorang suster.." kata Watik sambil tersenyum bangga dan memandang
Maria. Ia sungguh senang mendengar penjelasan Maria.

"Hmm.. tidak percuma pula aku mempunyai
sahabat seorang... seperti kamu," balas Maria sambil tersenyum pula dan menggapai
bahu Watik dengan tangan kanannya.

"Tik, di awal tadi, kamu mengatakan
misteri relasi berhubungan dengan kasus
kita?" tanya Maria sesudah mereka terdiam sejenak dalam keceriaan.

"Iya! Saya punya masalah relasi dengan
Dewi, dan Suster sendiri mempunyai soal yang sama dengan teman suster di biara.
Nah, dengan menyadari adanya kualitas relasi yang berbeda-beda, lalu saya bisa
menerima bahwa kenyataan relasi saya dengan Dewi memang begitu. Memang, saya
berusaha untuk membangun agar relasi kami menjadi baik, tapi kenyataannya sulit
kan? Akhirnya.. tanpa saya kehilangan harapan bahwa situasi akan berubah, saya
harus menerima kenyataan bahwa saya memang tidak bisa membangun relasi dengan
Dewi sebaik saya membangun relasi dengan Suster. Hal itu tidak bisa saya
paksakan. Jika dipaksakan, tentulah stress
yang muncul. Frustrasi!"

Maria mengangguk. Dia pun membayangkan
relasinya dengan teman sebiaranya yang tidak kunjung membaik.

"Omong-omong,
saya sudah lapar, Tik," kata Maria sesudah mereka terdiam dalam pikirannya
sendiri-sendiri.

"Sama, Suster," sambung Watik
sambil meraba perutnya.

"Pulang?"
tanya Maria sambil memandang Watik.

Watik mengangguk.

Ketika berjalan keluar taman, Maria
berkata, "mungkin lain kali, kalau kita bersantai di taman bawa makanan, ya?"

"Ah, itu ide yang bagus,
Suster! Saya memang tidak menduga bahwa pembicaraan kita kali ini
amat lama. Tapi tidak terasa, ya.."

"Ya, iya, karena kita bersahabat. Coba
kalau kamu dengan Dewi, bisa bicara selama tadi?"

"Pasti tidak!" Watik menggeleng lalu
melanjutkan, "kalau Suster dengan teman suster yang sedang bermasalah dengan
Suster, bisa?"

"Jawab aja sendiri!" kata Maria menepuk bahu Watik dan tersenyum.

Tiba di
jalan besar, dua orang bersahabat itu berpisah.

*************************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun