"Suster, bercanda ya?" tanya Watik setengah
tertawa. Ia tidak mengira bahwa Maria akan berbicara seterus-terang itu.
Maria menggeleng.
"Suster kecewa ya?" goda Watik.
Maria kembali menggeleng.
"Suster mau keluar?" goda Watik lagi,
tapi ini kelewat berani.
Lagi-lagi Maria menggeleng, dan tidak
marah, malah sambil tersenyum simpul. Ia memang tidak ada keinginan sedikitpun
untuk keluar dari biara.
Akhirnya Watik diam dengan sikap siap
mendengarkan, dan berharap Maria melanjutkan perkataannya. Dan itu tidak
menunggu lama.
"Hal ini memang sengaja saya katakan,
agar suatu saat jika menemukan kenyataan tentang suster yang terbalik dengan
yang kamu bayangkan selama ini, kamu tidak terkejut lagi... kamu tentu akan
bertanya, jika para suster itu memiliki kaul suci, mengapa bisa tetap seperti
orang awam pada umumnya? Kalau begitu tidak ada bedanya dong, dengan mereka yang awam? Tidak ada lebihnya dong, mereka mengucapkan kaul? Tik, mau
dibolak-balik sampai gosong-hitam-legam seperti arang sekalipun, suster
tetaplah manusia dan bukan malaikat. Mereka adalah manusia yang juga memiliki
kelemahan-kelemahan dan juga kekuatan-kekuatan. Dari segi itu, ya.. mereka sama
dengan orang lain, siapa pun. Nah,
bedanya, para suster dengan sumpah sucinya, secara radikal ingin membabat
kelemahan manusiawi itu agar bisa mempersembahkan diri seutuhnya dan
sepantasnya pada Tuhan. Hanya saja, cita-cita semacam itu dalam pencapaiannya
tidak mudah... alias perlu perjuangan keras!"
"Maksudnya... Suster?" tanya Watik karena
Maria berhenti berkata. Ia sengaja memancing reaksi Watik.
"Nah, kita kan pernah belajar tentang
internalisasi nilai, kan?" tanya Maria dan memandang Watik.
Watik mengangguk.