Maria mengangguk
dan meneruskan makannya yang tinggal beberapa suapan. Mau nambah, habis lagi!
Tapi lumayan, sudah cukup kenyang.
*****************************
Esok harinya,
pada waktu istirahat yang panjang, karena tak ada kuliah berikutnya, Maria
bergegas mengajak Watik ke taman di depan perpustakaan kampusnya. Tempat itu
penuh dengan pepohonan besar, sehingga rindang dan sejuk. Tempat itu juga sepi
dan agak jauh dari jalan ke perpustakaan, sehingga cocok untuk
berbincang-bincang.
Watik tidak
menduga bahwa Maria tampak akrab dan serius. Kemarin, sesudah peristiwa yang
membuat canggung, ia merasa bersalah dan tidak enak pada Maria yang baru
dikenalnya itu. Ia menganggap diri lancang berbicara. Maka, pikirnya, boleh
saja kalau Maria marah pada dirinya. Tanda-tanda kemarahan itu sudah tampak
jelas ketika selesai kuliah. Maria langsung menghilang. Jadi ia sungguh heran
dan bertanya-tanya dalam hati, ketika Maria menggandengnya dengan ramah menuju
taman.
"Ah, Suster, saya
malu jalan dengan Suster," kata Watik dalam perjalanan ke taman, sambil
berusaha melepaskan tangannya dari gandengan Maria.
"Mengapa malu,
Tik?" tanya Maria seraya menatapnya dan tidak mengerti.
"Karena merasa
tidak pantas."
"Tidak pantas
bagaimana?" tanya Maria semakin tidak mengerti, karena memang di luar
dugaannya.
"Saya itu hanya
orang biasa-biasa saja. Masa, Suster Maria mau-maunya ngajak ngobrol secara khusus. Apa lagi kemarin saya sudah lancang
bicara."
"Oo, o.. itu-tu,
yang kamu pikirkan?" seru Maria sambil tertawa, lalu melanjutkan, "justeru saya
mau ngajak ngobrol kamu, karena saya
lihat kamu ingin tahu lebih banyak tentang saya, atau tentang suster pada
umumnya. Ya kan?"
"Iya, Suster,"
jawab Watik terkondisikan.