"Mungkin lain kali, Suster," sahut Watik
sambil tangannya menggapai tas yang diletakkan di sampingnya.
"Tapi, Tik.. saya menyampaikan kenyataan
sesungguhnya apa yang saya alami di biara, bukannya saya kecewa atau mau
menjelekkan kehidupan biaraku, melainkan bagaimana supaya bisa mencari jalan
keluarnya demi baiknya," kata Maria sambil berdiri.
"Iya, saya paham Suster. Tidak
perlu kawatir! Karena bagaimana pun saya tetap mengagumi kehidupan para suster,
cara hidupnya khas, dan diabdikan pada Tuhan sepenuhnya," jawab Watik yang juga
ikut berdiri.
"Pengin jadi suster?" tanya Maria sambil
mulai berjalan dan menoleh dengan tersenyum ke arah Watik. [A-ha, ini baru promosi bukan diem-diem lagi!].
"Mmm...
saya tidak sanggup, Suster. Bisa saja saya masuk, dan belum satu bulan sudah out!"
jawab Watik dengan tertawa.
Maria
pun tertawa, dan berpikir, "ya... itu sih
memang panggilan!"
*********************
Dua
minggu kemudian, Watik dan Maria kembali bersantai di taman dekat perpustakaan.
"Suster,
sudah menemukan jalan keluarnya belum?" tanya Watik mengawali pembicaraan.
"Kalau
sudah, tentunya saya sudah mengatakannya kepadamu, Tik. Justru, saya berharap
kamu sudah menemukannya, karena kamu yang mengajak ke sini."
"Mmm..
saya pun belum, Suster."