"Saya lahir 1977.
Betul kan, kita hanya terpaut satu tahun. Ya, katakanlah satu angkatan."
"Tapi... Suster kan lebih matang dan hebat."
"Tidak menjamin,
Tik. Dari pengalaman saja Watik lebih kaya. Watik pernah kerja selama dua tahun. Sementara, saya tidak ada pengalaman.
Memang sebelum ini, saya mengajar TK. Tapi itu lebih sebagai praktek."
Watik
mendengarkan perkataan Maria dengan penuh perhatian.
Karena Watik
hanya diam, Maria berkata lagi, "eh, ya, malah sampai ke mana-mana. Kita
kembali ke pertanyaanmu. Mengapa saya menjadi suster.... Pada mulanya sih, saya
mau menjadi suster karena saya melihat bahwa menjadi suster itu dihormati,
disanjung-sanjung. Tetapi, setelah saya pertimbangkan dengan sungguh-sungguh,
tidak tepatlah, kalau saya menjadi suster hanya karena mencari penghormatan
atau sanjungan. Akhirnya saya menemukan alasan yang bisa dipertanggungjwabkan,
yaitu untuk mengikuti Tuhan secara khusus..." perkataan Maria terhenti.
Watik masih
menunggu, sambil berpikir, "masih seperti kemarin, hanya ditambah kata
'khusus'."
Sesudah menemukan
kata-kata, Maria melanjutkan, "yang saya maksud secara khusus adalah begini,
dan inilah yang membedakan antara suster dan bukan suster, atau istilah lain,
religus dan bukan religius. Dalam ini termasuk juga para biarawan. Yang
dimaksud dengan religius itu adalah biarawan dan biarawati. Kami, para
religius, mengucapkan kaul. Kaul itu, ya... bisa disamakan dengan sumpah atau
janji. Isi kaul itu ada tiga, yaitu akan hidup dalam kemiskinan, dalam ketaatan
dan dalam kemurnian. Sesungguhnya hidup dalam kemiskinan, dalam ketaatan dan
dalam kemurnian juga dihayati oleh semua orang katolik. Oleh baptisan sucinya,
semua orang katolik dipanggil untuk menghayatinya. Makanya, orang awam juga mengabdi Tuhan. Hanya saja kalau
religius, maksudnya biarawan dan biarawati tadi, menjanjikannya secara khusus,
yakni dengan pengucapan kaul tersebut untuk seumur hidup."
Maria berhenti
sejenak. Melihat Watik masih bersikap mendengarkan, ia melanjutkan, "yang
dimaksud dengan hidup dalam kemiskinan adalah menggantungkan diri sepenuhnya
pada penyelenggaraan Tuhan. Di hadapan Tuhan, kami tidak punya apa-apa. Sebagai
bentuk nyatanya, kami menggunakan barang-barang sejauh diperlukan untuk
menunjang pelayanan kami. Makanya, kami tidak dibenarkan untuk mengumpulkan
harta benda, apa lagi hanya untuk kekayaan dan kepuasan pribadi. Kemudian yang
kedua, hidup dalam kemurnian membuat kami mengarahkan sepenuhnya kepada Tuhan
saja, cinta secara total kepada Tuhan. Namun bukan berarti kami tidak mencintai
sesama manusia. Bahkan, cinta kepada sesama merupakan salah satu perwujudan
cinta kepada Tuhan. Yang tidak dibenarkan adalah mencintai sesorang secara
khusus, baik sejenis (homoseksual) ataupun lawan jenis (heteroseksual). Lebih
jelasnya, salah satu bentuk dari kaul kemurnian ini, kami tidak menikah,
sehingga bisa mencintai Tuhan secara total. Sedangkan yang terakhir, kaul ketaatan menuntut kami
untuk setia pada kehendak Tuhan. Hal ini juga terwujud dalam ketaatan kami pada
kehendak pimpinan yang membimbing kami agar mentaati kehendak Tuhan dengan
baik. Misalnya, kuliah saya di psikologi ini adalah wujud ketaatan saya pada
pimpinan. Sebenarnya, saya lebih memilih Bimbingan dan Konseling. Akan tetapi,
suster pimpinan menghendaki agar di antara para suster ada yang belajar
psikologi murni, dan yang ditunjuk adalah saya..."
Maria menhentikan
penjelasannya yang panjang itu, dan dalam hati berkata, "nangkep tidak, anak ini?"
Watik masih
bersikap mendengarkan.
Maria berkata
lagi, "Ya... selain ketiga kaul tadi, cara khas yang tampak adalah hidup bersama
kami sebagai saudara. Biarpun latar belakang kami berbeda-beda (suku,
kaya-miskin, warna kulit, jenis rambut... tetapi agama tidak), di biara kami
semua menjadi saudara, dan membangun sebuah persaudaraan... Bagaimana Watik?
Cukup jelaskah penjelasan saya ini?" Maria memandang Watik dengan senyum
tertahan.