"Saya pun mempunyai persoalan yang mirip
dengan persoalanmu itu. Sekarang ini saya juga sedang menghadapi seorang
suster sebiara yang marah pada saya. Hal
ini baru dua bulan. Begini kisahnya: di
biaraku kan hanya ada dua komputer, dan dipakai oleh semua suster yang
masing-masing memiliki folder.[Zaman
itu seperti itu! Entah sekarang! Atau
mungkin, masing-masing sudah pegang laptop?]. Suatu kali saya menghapus file-file
saya yang tak terpakai lagi. Secara tak sengaja, saya menghapus file
suster itu. Di Recycle Bin pun, file itu sudah saya hapus
sehingga file-nya hilang sama
sekali. Kalau belum, tentunya bisa di-restore. Sebenarnya, salah dia
juga, karena tanpa sepengetahuanku ia menyimpan file-nya ke dalam folder-ku.
Nah, isi file-nya itu adalah tugas dengan jumlah sepuluh halaman yang
harus dikumpulkan esok harinya. Jadilah...
ia sangat marah pada saya. Ya... saya mau apa lagi, karena saya benar-benar tidak
tahu. Saya sudah mengiba-iba minta maaf.
Tapi ia malah masih terus menyalahkan saya, karena saya menghapus tanpa melihat
isi file. Yah, kalau mau hitung-hitungan, sebenarnya saya tidak
bersalah. Siapa sangka file-nya
nyasar-nyelonong di folder-ku? Nah, sejak itulah, dan sampai sekarang ia
masih mendiamkan saya. Setiap kali saya mencoba untuk berkomunikasi, selalu
tidak ditanggapi. Mirip pengalamanmu dengan Dewi.. dianggap kucing lewat.
Saya juga bingung, mau bagaimana lagi?
Suster-suster lain sih, malah menguatkan saya, karena saya sudah minta maaf.
Dan mereka yang lain memang sudah mengetahui sifat khas suster yang satu itu.
Tapi yang mbikin saya tidak enak dan
bertanya-tanya adalah dia tetap baik dengan suster-suster lainnya, karena ya..
mereka belum pernah mengecewakannya secara fatal."
"Jadi, terus bagaimana?" tanya Watik.
"Jadi.. kita memiliki soal yang sama, dan
sama-sama pula belum bisa memecahkannya."
"Ah, Suster... saya itu mau minta bantuan,
malah Suster juga mengungkapkan persoalan yang sama," kata Watik sambil
terbayang permintaan kakak Dewi untuk membantu memecahkan persoalan tentang
Dewi.
"Ya... bagaimana lagi, saya sendiri juga
masih bingung. Cara apa lagi untuk bisa berkomunikasi lagi dengan dia. Masa
iya... saya mencarikan jalan keluar untuk soalmu, pada hal untuk soalku yang sama
juga belum ditemukan jalan keluarnya. Sama saja bohong, kan?"
"Tadi di awal.. Suster mengatakan pakai
terapi, psikoanalisis? Atau apa tadi.. pengolahan hidup rohani?" Watik
mengingatkan.
"Tadi saya juga mengatakan, tidak mudah,
kan? Teorinya sih mudah, tapi prakteknya....?"
"Sulit?" cetus Watik spontan.
Maria tersenyum, lalu berkata, "makanya,
tadi saya berbicara panjang lebar tentang sulitnya internalisasi nilai-nilai
sampai mempribadi. Mmm... bagaimana ya?"
Keduanya diam, sibuk dalam pikiran
masing-masing [Sama-sama pusing, kali?].
"Tik... ini sudah jam berapa? Saya harus
pulang dulu. Ya.. terpaksa, kita belum menemukan jalan keluar," kata Maria
memecahkan kediaman.