"Seperti orang pada umumnya, yang akan
memasukkan nilai-nilai dari luar dirinya, ke dalam dirinya dan membentuk sosok pribadi tertentu; begitu pula yang
terjadi pada kami yang mengucapkan kaul dan hidup membiara. Kaul-kaul yang
merupakan intisari injil, maksudnya: ringkasan injil, betapapun sudah diucapkan
dalam sebuah sumpah suci, tetaplah suatu nilai yang berasal dari luar diri. Dan
itu tidak bisa secara otomatis menjadi bagian pada diri yang mengucapkan,
melainkan melalui proses internalisasi (pembadanan, menjadikan bagian dari
diri) yang panjang dalam seluruh hidupnya. Maksudnya, yang mengucapkan kaul itu
kan sudah memiliki kepribadian tertentu, selanjutnya adalah apakah ia mampu
memadukan/menyatukan nilai baru itu, yakni isi kaul itu dalam kepribadiannya
itu. Ini.. ini yang tidak mudah, dan hasilnya tidak bisa dipastikan."
Maria diam
sejenak, dan Watik mengangguk-anggukan kepala.
Lanjut
Maria, "Hal yang sama kan juga terjadi pada orang yang memeluk agama.. agama
apa saja, termasuk juga katolik yang kita peluk. Sekedar mengucapkan atau
mengakukan aku beragama A,B,C dsb sampai Z.. adalah hal amat mudah. Tapi yang
sulit adalah menginternalisasikan ajaran agama itu ke dalam pribadi, atau
sederhananya menghayati dan mengamalkannya. Hal ini amat tergantung dari
keterbukaan pribadi itu untuk ditambah lagi atau lebih jauh dibentuk oleh
ajaran agama itu, menjadi pribadi baru, tentu saja yang lebih baik dari pada
sebelumnya. Makanya, ada yang mengatakan, bahwa orang beragama belum
tentu beriman. Artinya, beragama saja tidak menjadi jaminan bahwa orang
menghayati ajaran agama itu....
Nah, kita
sampai pada sebuah kenyataan akan adanya perbedaan antara pengungkapan dan
perwujudan iman. Pengungkapan iman cenderung lebih mudah -meskipun ini juga
tetap sulit-- dari pada perwujudan iman. Mengaku beragama tertentu, berdoa,
bersemadi, memperdalam pengetahuan rohani dan segala bentuk ulah batin, barulah
sebuah pengungkapan iman. Itu... itu belum mencukupi bila mau disebut beriman.
Masih ada dimensi iman lain yang tidak kalah pentingnya dari itu, yakni
mewujud-nyatakan keberimanannya dalam kehidupan konkret sehari-hari. Lebih
tegasnya, beriman akan menjadi penuh apa bila orang berusaha mengisi hidup
sehari-harinya dalam terang ajaran-ajaran iman yang diketahui dan dipahaminya.
Dan akhirnya, ada sebuah keseimbangan antara pengungkapan dan perwujudan iman.
Ada keseimbangan antara yang jasmani dan rohani..."
"Betul Suster. Saya juga pernah
merenungkan hal itu. Dan itu memang terjadi dalam pengalaman pribadi saya.
Betapa tidak mudah untuk menghidupi ajaran iman dalam kehidupan konkret.
Artinya menurut Suster tadi, saya belum berhasil menginternalisasikan iman saya
dalam pribadi saya. Yang terjadi sering kali malah lebih didominasi oleh
kepribadian saya yang sudah terbentuk sebelumnya. Bukannya saya tidak tahu
ajaran ini atau itu, ya sedikit-sedikit tahulah karena pernah belajar. Tapi
rupanya itu hanya sekedar menjadi pengetahuan. Bila sampai pada kenyataan hidup
yang seharusnya dihadapi dengan ajaran iman itu, e.. ternyata pengetahuan akan
ajaran iman itu malah tenggelam dan yang muncul adalah dorongan pribadi, yang
bisa baik ataupun bisa buruk. Sungguh Suster... itu memang nyata. Tepat kata
Suster!"
"Nah, iya kan? Saya pun mengalami hal
semacam itu. Dan saya yakin, semua orang mengalami hal semacam itu, dengan
sedikit perbedaan di sana-sini. Tapi, memang kita tidak perlu berkecil hati,
karena kita tidak bisa langsung secara amat baik menghayati ajaran iman. Sebab,
hal itu memang membutuhkan proses yang panjang, bahkan sampai kita mati. Dan
Dia yang di atas akan selalu membimbing kita. Namun, bukan berarti kita tidak
perlu berusaha semaksimal mungkin. Upaya harus tetap terus dilakukan. Hanya
saja, hasilnya kita tidak bisa memastikan. Kita memang masih jauh dari sempurna.
Akan tetapi kita harus mengejar dan mengejarnya... selalu berusaha.."
"Wah.. Suster malah memberi siraman
rohani, nih! Terimakasih, Suster! Saya menjadi lebih optimis untuk melanjutkan
hidup!" kata Watik begitu Maria berhenti.
"Yah... ini sekedar sharing. Kita
kan harus saling berbagi dan meneguhkan!" sahut Maria.
"Terimakasih Suster! Beruntung sekali
saya mengenal Suster. Mmm... lalu Suster.. soal teman saya tadi bagaimana?" kata
Watik yang teringat lagi akan persoalan yang sedang dihadapi.
"Justeru ini semua saya katakan untuk
menanggapi persoalanmu tadi!"
Watik memandang Maria dan tampak bingung.