Sesampai di
biaranya, dengan peluh menjalari wajahnya, Maria langsung masuk ke kamar dan
merebahkan diri di tempat tidur. Ketika rebahan, dengan sendirinya pikirannya
mengarah pada sosok Watik yang menurutnya sudah membuatnya repot. Sekali lagi
ia menyesali, mengapa tadi mendekati Watik dan ngobrol. Ia berusaha membuang bayangan itu dan tidur. Betapapun
matanya tertutup rapat, namun tidak mengantarnya tertidur. Justeru sebaliknya.
Semakin ia berusaha melupakan peristiwa dengan Watik, peristiwa itu semakin
menggelayut dalam benaknya. Tekanan peristiwa itu menyodok dirinya.
Tiba-tiba
terdengar pintu kamarnya diketok seseorang dari luar, lalu menyusul suara
memanggilnya.
"Suster Maria!
Suster Maria!"
Maria diam saja,
dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecilpun.
"Makan dulu!"
lanjut suara pelan dari luar.
Terdengar gagang
pintu diputar. Pintu tidak terbuka sebab dikunci dari dalam. Sejenak kemudian
suara langkah kaki menjauh dari pintu.
Maria tepekur,
merenung seraya memandang langit-langit.
"Nasib, nasib!
Jadi suster baru tiga tahun saja, malah mengalami kenyataan pahit. Ini baru
awal kuliah lagi. Besok, muka saya mau ditaruh di mana kalau bertemu Watik.
Kalau tidak masuk, suster pimpinan pasti bertanya-tanya. Ah... pusing.
Watik...Watik... teman baruku yang bengal. Ternyata tidak semanis yang saya
bayangkan jika kuliah di luar itu.
Tapi, bagaimana
pun saya harus berani menghadapi Watik. Masa... seorang suster takut menghadapi
seorang awam. Hanya saja, saya mesti memberikan jawaban yang memuaskan,
sehingga Watik tidak bertanya-tanya lagi. Gimana
ya caranya?
Ya... mengapa saya
menjadi suster ya? Ha, saya sendiri ternyata malah masih bingung. Selama ini,
dalam pertemuan dengan pembimbing, bila ditanya motivasiku, saya jawab: ingin
mengabdi Tuhan secara lebih khusus. Hanya itu... ya, itu saja, dan mereka tidak
mempersoalkan. Pada hal saya sendiri belum paham betul pada yang saya katakan
itu.
Sekarang, saya
harus sungguh-sungguh merumuskan motivasi saya: apa yang membuat saya untuk
memutuskan menjadi suster?