Maria mengangguk, memandang Watik dengan
tersenyum, lalu berkata, "Dengan kata lain, kita dituntut juga untuk menghargai
orang lain yang pandangan, sikap dan perilakunya berbeda dengan kita. Tidak
bisa disangkal bahwa oleh uniknya masing-masing manusia, kita mempunyai
perbedaan satu sama lain. Namun perbedaan itu tak menghalangi agar kita saling
menghargai. Sebab ukuran penghargaan kita pada orang lain bukanlah pada
pandangan, sikap dan perilakunya, melainkan pada martabatnya sebagai manusia,
ciptaan Tuhan. Dalam hal martabat, semua manusia tidak terbedakan."
"Secara teoritis memang itu benar sekali,
Suster. Namun dalam kenyataan, susah sekali ya... Sering kali kita tidak
menghargai orang lain karena melihat atau menghadapi pandangan, sikap dan
perilakunya yang menurut kita, tidak benar atau berbeda dengan kita," keluh
Watik sambil memandang Maria.
"Itulah, karena kita belum (tidak) bisa
memilah antara martabat dan tempelannya. Yang saya maksud dengan tempelannya
adalah pandangan, sikap dan perilaku setiap manusia yang memiliki maratabat
sama itu."
"Ya.. saya bisa memahami itu, Suster.
Seorang yang jahat bagaimanapun harus tetap dihargai karena ia tetaplah
manusia, ciptaan Tuhan. Yang tidak kita hargai adalah kejahatannya. Tapi... sungguh sulit, Suster... Ini membutuhkan
kematangan pribadi yang luar biasa. Dan rasanya saya sendiri belum sampai pada
taraf semacam itu.... Suster, sudah sampai?" Watik memandang Maria dengan
senyum.
Maria yang juga membalasnya dengan
senyum, menjawab sambil mengawali dengan menggelengkan kepala pelan, "belum!
Betul, memang itu bukanlah hal yang mudah.. sulit. Namun, sulit bukan berarti
tidak benar atau tidak perlu. Justeru untuk sebuah kebenaran, memang biasanya
sulit dan membutuhkan pengurbanan-pengurbanan besar. Jadi, menurut saya,
meskipun kita belum mampu, kita harus berupaya terus-menerus, dan bukan tidak
mungkin akan sering jatuh. Tapi, harus bangun lagi. Jatuh lagi dan bangun lagi.
Dan saya yakin, kita tidak akan pernah selesai untuk berupaya, sampai habis
hari-hari hidup kita. Artinya, selama masih hidup, kita akan berusaha terus. Dengan
kata lain, hari-hari kita adalah rahmat dari Tuhan agar kita mengisinya dengan
perjuangan untuk memeluk kebenaran itu. Dalam hal ini, menghargai orang lain
dalam keadaaan apa saja."
"Iya, dalam berupaya menghargai orang
lain, kita selalu jatuh dan bangun. Begitu terus-menerus. Sampai kapan ya?"
"Ya, sampai mati dong! Tapi ingat Tik,
jatuhnya itu tidak kita sengaja, sedangkan bangunnya harus kita sengaja. Kalau
kita tidak sengaja bangun, tentunya kita kan terpuruk dalam kejatuhan itu."
"Eh, itu menarik sekali Suster. Tolong
jelaskan lebih lanjut, Suster!" pinta Watik penuh minat.
"Ini dalam konteks menghargai orang lain
ya! Kalau kita jatuh, dalam arti gagal menghargai orang lain, itu tidak pernah
kita sengaja."
"Benarkah?" sela Watik sedikit meragukan.
"Iya. Saya memahami bahwa orang tidak
pernah secara sengaja tidak menghargai orang lain. Sesungguhnya, oleh panggilan
kemakhluk-sosialannya, atau dalam konteks iman kita, oleh kese-citra-annya
dengan Tuhan, setiap orang akan
menghargai orang lain yang juga secitra dengan-Nya. Akan tetapi, dipaksa oleh kondisi tertentu,
orang tidak mampu lagi menghargai orang lain."