"Begini.. bisa saja, sebelum membunuh,
orang itu tahu dengan persis bahwa tindakan yang akan dilakukan itu jahat, dan
juga sangat mungkin terjadi perang batin dalam dirinya. Tetapi, saat ia
membunuh, ia tidak sadar bahwa tindakannya itu jahat."
"Kok
bisa," seru Watik yang merasa penjelasan Maria sulit dipahami.
"Begitu ia membunuh, kesadaran akan
kejahatan pembunuhan hilang dari dirinya. Ia tidak tahu lagi bahwa tindakannya
itu jahat. Saat itu dalam dirinya, tidak ada pemikiran tentang adanya kejahatan
ataupun kebaikan. Kosong. Hampa. Apa
bila ia sadar, pasti ia tidak jadi melakukan pembunuhan. Kesadaran akan
kejahatan tindakan itulah yang membatalkan ia melakukan pembunuhan."
"Mm..." guman Watik. Ia belum juga memahami
maksud perkataan Maria.
"Hal itu akan lebih jelas setelah detik
pembunuhan. Ada yang langsung menyadari bahwa tindakan yang baru saja
dilakukannya itu jahat. Ada yang lama baru menyadari, bahkan ada pula yang
tetap tidak menyadari jahatnya tindakan itu. Penyesalan! Penyesalan adalah
bukti jelas bahwa baik buruknya tindakan yang sudah atau baru dilakukannya
tidak disadarinya. Ia tidak menyadari kualitas tindakan yang baru dilakukannya.
Akhirnya, ia menjadi menyesal: mengapa tadi melakukan itu, pada hal seharusnya
tidak dilakukannya, sebab tindakan itu jahat."
"Jadi?" tanya Watik meminta ketegasan.
"Tindakan pembunuhan: wujud paling kelam
penghargaan terhadap orang lain, tidaklah disengaja. Tidak disengaja karena ia
dikendalikan oleh gerakan bawah sadar yang non-moral. Artinya tidak bisa
membedakan mana baik dan mana buruk. Saat itu, detik tindakan jahat itu, orang
dalam keadaan non-moral. Maksudnya, tidak mampu membedakan mana tindakan baik
mana tindakan jahat. Yang bekerja adalah kemampuan bawah sadarnya. Orang
bertindak secara tidak sadar. Nah, yang menggerakkan bawah sadarnya melakukan
tindakan jahat adalah kondisi atau keadaan dirinya. Maka, di awal saya
mengatakan dipaksa oleh kondisi."
"Kondisi apa saja, Suster?"
"Hanya ada dua, yakni kondisi dalam
dirinya dan kondisi luar dirinya. Dan yang paling menentukan adalam kondisi
dalam dirinya. Yang dimaksud dengan kondisi diri atau pribadi adalah kematangan
pribadi orang itu, dan untuk yang beriman, kematangan iman. Sesungguhnya,
kematangan pribadi dan kematangan iman, merupakan satu-kesatuan yang tak
terpisahkan. Bila orang sudah matang secara manusiawi dan secara imani, --dan
tidak perlu matang sekali, setengah matang saja sudah mencukupi-- pastilah
tidak akan sampai melakukan pembunuhan apapun motifnya, terkecuali untuk
membela diri dalam keterpaksaan yang dilematis. Orang yang matang secara
manusiawi-imani, akan menyadari baik buruknya sebuah tindakan, lalu perlu
dilakukan atau tidak. Lalu yang kedua, kondisi luar dirinya adalah faktor dari
luar diri yang mendorongnya untuk melakukan pembunuhan. Misalnya: keterdesakan
ekonomi, waktu dan tempat yang memungkinkan dll. Tetapi, yang terutama dan
sangat menentukan adalah kondisi dalam diri orang itu: kematangan atau
kedewasaan."
Watik mengangguk-anggukan kepala. Ia
berusaha meresapi perkataan Maria.
"Rasanya, gagasan tentang kematangan atau
kedewasaan itu bisa juga untuk meneropong tindakan-tindakan lainnya, bukan
hanya dalam kaitan dengan penghargaan terhadap orang lain," kata Watik kemudian
yang berarti ia bisa menerima penjelasan Maria.