"Kamu
sudah sering mendekati dengan perbagai cara?"
"Sudah bosan, Suster. Bahkan sampai malu
sendiri, karena dianggapnya suara saya seperti kucing lewat saja," jawab Watik
yang lalu tertawa.
"Ya, ada
cara. Tapi, tidak mudah!" kata Maria dan memberi harapan baru pada Watik.
"Terapi?'"
tebak Watik sesuai dengan dibayangkannya.
"Ya, semacam itu -meski bukan itu. Hal
ini sudah dipraktekkan dalam biara saya. Ini dilakukan semua Suster. Bukan soal
yang bermasalah atau tidak. Namanya, pengolahan hidup rohani. Ya..
sesungguhnya ya tetap mirip pada terapi
psikologis yang kita pelajari itu. Hanya saja, dalam kehidupan membiara lebih
ditekankan dimensi rohaninya. Perangkatnya
tetap saja: psikoanalisis dengan dipermak
di sana-sini."
"Masa? Para suster juga bisa bermasalah?"
tanya Watik yang malah menemukan sesuatu yang baginya sangat menarik
perhatiannya dan lupa pada pokok pembicaraannya.
"Tik.. karena kamu sudah akrab dengan
saya sekian lama, tiga tahun lebih..ya.. saya ingin sedikit membuka kenyataan
hidup membiara. Selama ini kamu berpikir apa terhadap kehidupan para suster?"
"Yang jelas, saya berpikir kehidupan para
suster itu baik melulu. Tidak ada masalah kehidupan. Dekat dengan Tuhan, karena
banyak berdoa!" jawab Watik yang berpikir sejenak sebelum bersuara. Tapi ia
sadar betul bahwa yang disampaikannya itu adalah yang ideal, bukan senyatanya.
"Tolong, gagasan itu kamu simpan dulu.
Mari kita lihat realitanya!"
Maria berhenti sejenak, dan Watik
memandangnya dengan penuh keingintahuan.
"Mereka yang hidup dalam biara adalah juga
manusia-manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, sama dengan mereka
yang tidak tinggal dalam biara. Semua sifat orang pada umumnya entah baik atau
buruk juga ada dalam orang-orang yang hidup dalam biara."