Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Duke's Daughter (Bagian 46 - Selesai)

7 Januari 2024   11:18 Diperbarui: 19 Januari 2024   16:38 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

46. Sebuah Surat

Lelaki dengan kemeja hijau yang lusuh itu sedang bersembunyi di balik pohon randu. Wajahnya yang berlumuran keringat, terlihat muncul sesekali. Mengamati beberapa pasukan musuh yang melintas tak jauh dari tempatnya berdiri.

Matias menggenggam lembaran daun yang belum lama dipetiknya di pinggir sungai. Setelah situasi sekelilingnya aman, barulah dia kembali melanjutkan langkahnya menuju tenda milik prajurit pertahanan negara.

Dengan langkahnya yang sigap, dia buru-buru memasuki tenda hijau itu. Menghampiri seorang prajurit yang duduk di samping sebuah tandu.

"Ini daunnya tuan!"

Lelaki berwajah tegas itu menerima apa yang disodorkan Matias padanya.

"Benar! Daun ini yang ku maksud!"

"Tahanlah sebentar sakitmu, Daniel! Aku sudah menemukan daunnya." ucap Matias kepada lelaki yang merintih di atas tandunya.

Kedua tangan prajurit itu mulai bekerja merobek daunnya, dia juga meremas daun itu hingga mengeluarkan sarinya. Dia kembali menyampur potongan daun itu dengan sarinya. Lalu kembali ke hadapan dua lelaki yang menunggu disana.

"Kau akan menjerit saat daun ini ku letakkan di atas lukamu. Tolong tahanlah dulu jika kau ingin segera membaik."

Daniel hanya dapat mengangguk, lelaki itu akan segera menutup luka di lengan kirinya dengan daun yang sudah diramunya tadi. Dengan setia Matias menemani sahabatnya itu.

Dan benar, Daniel mulai menjerit ketika sedikit demi sedikit ramuan daun itu meresap ke dalam lukanya. Luka bekas panah itu didapatnya ketika mengejar pasukan musuh yang hendak menyerang ke gubuk-gubuk di pedalaman.

"Pejamkan matamu Daniel! Cobalah untuk tidur! Istirahat sejenak akan mempengaruhi kesembuhan lukamu."

"Hmm! Terima kasih tuan." ucapnya parau.

"Aku akan kembali berjaga-jaga. Cepatlah pulih agar kita dapat bekerjasama lagi!" ucap Matias sebelum beranjak dari dalam tenda itu.

"Tuan Matias!" seru kepala prajurit memanggil dirinya.

"Ya tuan!" Matias bergegas. Berlarian kecil menghampiri pria itu.

"Tampaknya kondisi semakin membaik. Kau juga tahu bahwa banyak pasukan musuh yang telah gugur. Dengan kerjasama yang baik, para prajurit dan pasukan pertahanan telah memukul mundur pasukan musuh yang tersisa. Meski belum seluruhnya, paling tidak jumlah pasukan musuh yang bersembunyi di pedalaman masih dapat diatasi oleh prajurit kami. Jadi... pulanglah! Kembali ke kota bersama pasukan pertahanan lainnya malam ini."

"Anda... Anda sungguh-sungguh tuan?"

"Ya! Kami sangat menghargai bantuan dan kerjasama kalian selama empat tahun ini. Sudah saatnya kalian kembali."

Dua jam kemudian, para pasukan pertahanan yang lainnya sudah berkumpul, mereka begitu terkejut dan menyambut senang ketika Matias mengumumkan bahwa malam ini juga mereka akan dikirim kembali ke kota. Daniel yang belum lama bangun dari tidurnya, langsung tertawa bahagia ketika mendengarnya. Hingga dia melupakan pedih luka di lengan kirinya.

Mereka semakin tak sabar menunggu malam tiba.

Sisa waktu yang mereka punya, dihabiskan untuk merapikan semua peralatan yang ada serta benda-benda milik mereka masing-masing.

"Bagaimana lukamu, Daniel?"

"Huh! Bahkan rasanya aku tidak tertembak panah, setelah mendengar keputusan kepala prajurit itu."

"Aku tidak bercanda, Daniel! Apakah daun itu telah bekerja sempurna mengobati lukamu?" tanyanya seraya menunduk mengamati luka itu.

"Ya! Ramuan daun ini sungguh-sungguh bekerja, Matias! Setelah bangun tidur tadi, lenganku terasa lebih ringan untuk digerakkan."

"Kita harus memetik daun ini untuk dibawa pulang."

"Apa katamu? Untuk mengobatiku disana? Aku bisa menemui dokter untuk....."

"Bukan untuk mengobatimu! Tapi, untuk mengobati luka di hati gadisku yang terlalu lama ku tinggalkan."

"Apa? Kau gila Matias?"

"Ya! Dengan daun ini, luka hatinya akan cepat mengering."

"Hahaha. Memang sebaiknya kita segera pulang, agar kau... tidak menjadi orang gila."

"Apa kau tidak merindukan adikku?"

"Hah? Apa katamu? Sepertinya aku tak perlu menjawab pertanyaan bodoh itu!"

***

Martha baru saja tiba di rumahnya, petang hari ini. Seorang pelayan laki-laki menghampiri dirinya yang sedang melangkah menuju ke kamarnya.

"Nona Martha! Tunggu nona."

Martha menoleh dan menghentikan langkah. "Ada surat untuk Anda." seraya menyodorkan sebuah amplop putih persegi panjang ke tangan Martha.

Martha menerimanya dengan senyum tipis dan membaca sekilas nama pengirimnya. "Terima kasih Rob."

Sang pelayan membungkuk hormat, kemudian beranjak pergi.

Dengan menenteng sepucuk surat itu, Martha melanjutkan langkahnya menuju ke kamar. Dia lantas duduk di kursi meja riasnya dan membuka kepala amplop itu dengan hati-hati, menggunakan sebuah pisau tipis.

"Halo Martha! Terima kasih atas balasan suratmu tempo hari. Aku cukup terkejut ketika tahu bahwa kau yang membalas suratku. Maafkan diriku yang baru bisa membalas suratmu saat ini. Bahkan mungkin surat ini baru sampai di tanganmu satu bulan setelah aku menulis balasan ini. Aku sungguh menyayangkan betapa lambatnya sistem pengiriman surat antar negara saat ini.

Terima kasih atas ucapan selamat darimu, Martha! Aku juga tidak menduga sebelumnya bahwa lukisanku patut memenangkan sebuah penghargaan.

Aku sungguh berharap Matias dan Daniel cepat kembali, dengan kondisi yang baik. Jika saja aku berada disana ketika itu, pasti... aku akan ikut berperang bersama mereka.

Jangan bersedih adikku, Martha! Danielmu pasti kembali!

Tiga bulan yang lalu, aku sudah menikah dengan gadis asli penduduk negara ini. Tapi saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa kami akan segera memiliki anak.

Dan kau tahu? Negara ini sangat indah, meskipun aku sangat merindukan negeriku, tapi... aku belum tahu kapankah diriku akan kembali kesana. Namun yang pasti, suatu hari nanti akan ku ajak istri dan anakku berkunjung ke tanah kelahiranku.

Jagalah dirimu, Martha! Jika saja kau ada disini saat aku menikah waktu itu, pasti aku telah memintamu merangkaikan banyak bunga untuk pengantinku."

Salam sahabatmu,

Rodrigues.

Martha menitihkan air matanya setelah menutup dan melipat kembali surat itu. Dia sungguh terharu, menyadari bahwa waktu dan jarak ternyata dapat merubah segalanya.

Dan andai saja tak pernah terjadi kekacauan di wilayah perbatasan, mungkin kini dirinya telah menikah dengan Daniel.

Pertama kali Rodrigues mengirim kabar, lelaki itu menuliskan suratnya untuk Matias. Namun, karena Matias tidak berada di kediamannya maka pelayan mereka menyerahkan surat itu ke tangan Martha.

Begitu mengetahui siapa pengirimnya, Martha memutuskan untuk membuka dan membacanya. Karena dia, tidak tahu kapan kakaknya dapat kembali. Setelah membacanya, Martha merasa tidak enak jika tidak membalas surat itu. Gadis itupun berpikir bahwa di kejauhan sana, pasti Rodrigues sedang menunggu-nunggu balasan suratnya dari Matias.

Maka Martha memutuskan untuk menulis surat balasannya kepada Rodrigues. Dan surat yang belum lama diterima tadi, adalah balasan atas surat Martha yang lalu.

Martha mengusap air matanya dengan punggung tangan, kemudian bangkit dari kursinya. Kini dia harus membersihkan diri, setelah hampir seharian tadi berada di kios bunganya. Dia juga harus bersiap-siap untuk makan malam nanti, bersama count Antonio dan countess Victoria.

47. Upacara Penyambutan

Pukul 8.40 pagi, David baru saja tiba di toko roti. Sebelumnya Nivea menduga kalau hari ini David tidak datang. Namun ternyata seorang pekerjanya itu terlambat karena dia sempat menghentikan langkahnya beberapa menit, untuk menyaksikan sesuatu yang menarik di depan gedung kantor pemerintahan.

"Nona.. Nona Nivea!!!" David tergesa-gesa mendorong pintu toko roti itu, melangkah cepat ke dalam bahkan sampai tidak mempedulikan Seri yang berada di meja pemesanan.

Nivea yang berada di dapur saat itu, terkejut melihat David yang datang dengan tergesa-gesa.

"Nona.. Nona...!"

"Hei David, kau kenapa?" ucapnya seraya menghentikan sejenak kegiatan tangannya mengaduk adonan roti.

"Ada apa David? Bicaralah!" lanjutnya penasaran.

"Anda tidak tahu, nona?"

"Tidak!"

"Di halaman gedung pemerintahan sedang dilakukan upacara penyambutan."

"Benarkah? Siapa yang mereka sambut?" tanya Nivea yang benar-benar tidak terpikir akan kepulangan pasukan pertahanan itu.

"Tentu saja para pemuda yang habis berperang!"

"Apa katamu? Kau.. kau bercanda David?" Nivea kian mendekat tak percaya. Sementara Clara telah menutup mulut dengan kedua tangannya, dia ikut terkejut mendengar hal itu dari David.

"Tidak nona! Sungguh!"

Nivea yang masih mengenakan apron dapurnya, langsung berlari secepatnya. Keluar dari toko itu, buru-buru dirinya memanggil tuan Willy untuk mengantarnya ke gedung pemerintahan.

Seri dan yang lainnya dibuat melongo oleh sikap nonanya. Lantas Seri ke dapur dan bertanya kepada David.

"Ada apa dengan nona?"

"Para pemuda itu sudah kembali, Seri!" jawab David.

"Apa katamu?"

"David melihat upacara penyambutan di halaman gedung pemerintahan." Clara yang bantu menjawab.

"Ah, pantas saja nona Nivea pergi begitu saja." Seri menggelengkan kepalanya dan kembali berjaga di meja pemesanan.

Sementara yang terjadi di halaman gedung pemerintahan.

Tentu saja baginda raja memberikan pidatonya pada upacara yang digelar mendadak itu, yaitu upacara penyambutan para pemuda pasukan pertahanan. Baginda raja telah berdiri di tengah sana, sementara di belakang beliau terdapat jajaran para pekerja yang sehari-harinya bekerja di gedung pemerintahan itu sendiri.

"Saya sangat bahagia dapat menyambut kedatangan kalian hari ini. Kalian telah kembali sepenuhnya dengan baik. Setelah melakukan tugas luar biasa, mempertahankan keamanan negeri ini di wilayah perbatasan. Saya dan seluruh yang ada di negeri ini menyampaikan rasa terima kasih kami yang sedalam-dalamnya untuk kerja keras dan pengorbanan kalian selama empat tahun terakhir ini. Sesungguhnya kepala prajurit di wilayah perbatasan telah mengabarkan rencana kepulangan kalian sejak satu minggu yang lalu. Namun Saya memilih menutup mulut rapat-rapat, agar kepulangan kalian dapat menjadi kejutan bagi keluarga di rumah masing-masing."

Baginda raja menutup pidatonya dengan senyum puas dan bahagia. Begitupun seluruh anggota pasukan pertahanan yang saat ini berbaris rapi di tengah halaman, langsung menggemakan tepuk tangan meriah.

Degup dadanya kian berpacu, Nivea gelisah. Sungguh ingin dapat segera melihat kekasihnya. Tak lama dirinya tersadar untuk melepas apron dapur yang masih dikenakannya sejak tadi.

Dan saatnya dia telah tiba di depan gedung pemerintahan, upacara penyambutan baru saja selesai. Yang tampak di halaman itu adalah pemandangan haru, pertemuan kembali para pemuda itu dengan salah satu keluarga mereka yang bekerja di gedung pemerintahan. Yang tentunya mengikuti upacara itu sejak awal.

Sorot kedua mata yang teduh itu, akhirnya menangkap keberadaan seorang yang sangat dikenalnya. Dari jauh, Nivea memandangi sosok Matias yang berpelukan erat dengan count Antonio. Bahkan duke Eduardo telah berdiri di samping mereka, menunggu untuk dapat memeluk Matias juga.

Setitik air mata bahagia keluar di sudut mata Nivea. Kekasihnya telah kembali.

***

Martha sedang menyelesaikan tiga buah pesanan rangkaian bunga, yang akan dikirimnya lusa. Karena itu, saat ini dirinya sangat berkonsentrasi pada bunga-bunga di tangannya. Dan kedatangan tuan Luigi, membuatnya cukup terkejut.

"Kau mengagetkanku, tuan Luigi! Kau membuka pintu tanpa bersuara."

"Maaf nona" seraya sedikit membungkuk. "Saya ingin mengatakan sesuatu."

"Ada apa?"

"Orang-orang diluar sana membicarakan tentang upacara penyambutan pasukan pertahanan."

Martha mengernyitkan dahinya, "Maksud Anda, tuan?"

"Pagi tadi telah dilaksanakan upacara penyambutan pasukan pertahanan di halaman gedung pemerintahan. Tuan Matias telah kembali, nona."

"Apa.. Apa katamu? Itu berarti... Berarti Daniel juga kembali." Martha segera bangkit dari kursinya dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja.

"Bantu aku menutup toko! Kita pulang sekarang juga." lanjutnya sambil bergerak menutup tirai dan menyabet tas tangannya.

Dalam perjalanan itu Martha dilanda kebimbangan, dia sedang berpikir siapakah yang lebih dulu harus dia temui. Kakaknya atau... kekasihnya. Namun setelah menimbang-nimbang dengan beberapa alasan, akhirnya Martha mengambil keputusan untuk menemui Daniel lebih dulu.

"Tuan Luigi, tolong berbeloklah di depan. Antarkan aku ke rumah duchess Valerie. Aku ingin menemui Daniel lebih dulu." titahnya dari sebuah jendela kecil yang membatasi dirinya dan sang kusir.

"Ah, baik nona!"

Martha tidak akan tenang, sebelum dirinya dapat melihat Daniel seutuhnya. Sedangkan Matias, bisa ditemuinya di rumah kapan saja. Maka itulah gadis itu memutuskan untuk mendahulukan Daniel dibanding Matias.

Mereka telah tiba di halaman rumah keluarga itu. Dengan degup di dadanya yang terasa tidak karuan, Martha mulai menapakkan kakinya di rerumputan. Dia pun menyampaikan maksud kedatangannya pada seorang lelaki penjaga pintu.

Belum sempat lelaki itu masuk memberitahu tuannya, Daniel tampak berjalan dari arah belakang dan itu membuat Martha terkejut.

"Daniel!!!" gadis itu berlari masuk menghampiri Daniel yang sudah membuka kedua tangannya. Bersiap menyambut tubuh Martha. Martha tenggelam dalam pelukan itu.

"Aku sangat rindu padamu, Martha!"

"Hmm! Aku juga, Daniel" ucapnya parau dengan air mata bahagianya.

"Sstt.. Jangan menangis, Martha!" seraya memundurkan kepalanya dan mengusap air mata gadisnya.

"Aku sangat senang, Daniel. Tolong jangan pergi lagi."

Daniel mengangguk pasti, "Tentu Martha!"

Martha memundurkan tubuhnya, kedua tangannya menyentuh lengan Daniel, "Kau terluka Daniel?"

Daniel mengangguk.

"Apa? Dimana lukanya?"

"Itu, yang kau pegang. Lengan kiriku."

Martha langsung mengangkat tangannya dari lengan itu, "Benarkah?"

Sebelah tangan Daniel mengangkat sedikit kaus berlengan pendek yang dikenakannya saat itu. Lelaki itu menunjukkan lukanya pada Martha.

"Apakah masih terasa sakit, Daniel? Atau... pedih? Bagaimana rasanya?"

"Ini sudah hampir kering, Martha. Kemarin seorang prajurit mengobatinya dengan ramuan dari daun-daunan. Dan kau tahu? Aku menjerit saat dia meletakkan potongan daun basah itu di luka ku."

"Ah.. pasti rasanya sangat perih."

"Tentu! Aku dapat merasakan sari-sari daun itu meresap cepat ke dalam luka ini. Lalu prajurit itu menyuruhku untuk tidur. Setelah bangun, lenganku terasa lebih ringan digerakkan. Prajurit itu benar, daunnya bekerja dengan sempurna."

"Eh? Apa kakakku juga terluka?"

"Tentu! Matias juga sempat terluka. Tapi sekarang, dia sudah baik-baik saja. Dia mendapat luka di punggungnya. Itu terjadi saat tahun kedua peperangan. Mereka juga mengobatinya dengan dedaunan."

"Wah.. Dedaunan itu sangat hebat, Daniel! Harusnya kau memetik untuk dibawa pulang!"

Daniel membulatkan kedua matanya, kemudian menggeleng heran.

"Kakak dan adik sama saja!" batinnya tak terucap.

48. Pertemuan Keluarga Kerajaan 

Kedua belah pihak keluarga itu sedang berbincang di ruang tamu yang terlihat begitu megah. Kursi-kursi kayu yang menopang tubuh para penggunanya, tampak kokoh dibalut pernis yang mengkilap.

"Kami sangat bahagia dengan kedatangan Anda dan keluarga, yang mulia."

"Ya, kami juga merasa sangat terhormat telah mendapat undangan ini, yang mulia."

"Karena perang di wilayah perbatasan itu telah membuat banyak hal menjadi tertunda. Maka saat mengetahui situasi disana telah membaik, kami memutuskan untuk segera mengundang kalian." timpal permaisuri.

Putri Nicole dan pangeran George sedari tadi saling melirik. Seolah tak peduli dengan perbincangan kedua keluarga itu. Putri dan pangeran itu malah sibuk dengan obrolannya sendiri. Obrolan yang tak kasat mata.

"Kau bertambah gemuk, Nicole!"

"Sialan! Waktu kecil, rasanya lehermu tidak sepanjang itu."

"Sebenarnya, untuk apa ayahmu mengundang kami?"

"Entahlah! Bukankah kau merasa senang bisa berkunjung kemari?"

"Tentu Nicole! Bukankah kau juga senang bisa bertemu dengan ku?!"

Di sela perbincangan baginda raja dengan kedua orang tua pangeran George, pangeran George meminta sesuatu. Dirinya sudah tidak sabar untuk berbincang berdua saja dengan putri Nicole.

"Yang mulia baginda raja, jika diberi izin... Saya ingin berbincang berdua saja dengan... tuan putri."

"Ah, tentu! Tentu aku mengizinkanmu berbincang dengannya, pangeran."

"Terima kasih yang mulia. Jadi, bolehkah jika sekarang juga Saya dan tuan putri berbincang di halaman belakang istana?"

Putri Nicole membelalak mendengar kalimat tanya itu, dirinya tak menduga pangeran George segila itu.

"Apa? Sekarang? Ah, baiklah! Silahkan saja, pangeran."

"Ayo Nicole, pergilah bersama pangeran George!" ucap permaisuri.

"Ah, baiklah Ibu!" gadis bergaun putih itu lantas bangkit dari kursinya. Bersamaan dengan pangeran George. Keduanya kompak sedikit membungkuk sopan untuk pamit.

Kini mereka telah melangkah bersisian menuju sebuah pintu besar disana. Saat harus turun melewati tangga, tangan pangeran George menadah untuk menerima tangan putri Nicole. Lelaki itu hendak membimbing gadis cantik itu menuruni anak tangga.

"Terima kasih, George!"

"Hmm! Tadi kau mengatakan aku gila?"

"Apa?" putri Nicole memundurkan wajahnya untuk melihat wajah lelaki itu.

"Tadi, saat aku mengatakan pada ayahmu... kalau aku ingin berbincang denganmu sekarang."

"Ah, benar! Kau bisa mendengarnya."

Mereka telah kembali beriringan di koridor samping istana, hendak menuju halaman di sisi belakang sana.

"Apakah... selama ini kau tidak memberitahu siapapun?"

"Apa, George? Bicaralah yang jelas!"

"Tentang kita yang bisa berkomunikasi dalam hati."

"Ah, tentu aku... tidak pernah mengatakannya pada siapapun."

"Hmm.. Lagi pula kita hanya bisa berkomunikasi seperti itu, saat kita berada dalam jarak yang tidak terlalu jauh."

"Aku sering mencobanya dengan beberapa orang yang ku temui. Aku mengira-ngira siapa tahu... aku bertemu dengan seseorang yang mempunyai kemampuan sama denganku. Tapi, itu tidak pernah berhasil George."

Pangeran mulai mengambil posisi duduknya di kursi taman, begitupun putri Nicole yang juga duduk di sampingnya.

"Huh, aku juga melakukan itu, Nicole! Aku mencobanya mulai dari orang-orang terdekatku seperti Ibu, ayah, kakak, para sepupu dan.. sampai orang lain yang ku temui, aku juga mencobanya. Dan... kau tahu bahwa itu juga tidak berhasil."

"Itu artinya... hal itu memang terjadi hanya... diantara kita berdua?"

Pangeran George mengangguk, "Hmm! Bukankah itu terdengar aneh, Nicole?"

"Aku jadi ingat, saat pertama kali kita menyadari hal itu."

"Ya! Mana mungkin aku melupakan itu, Nicole!"

"Hahaha.. Dalam hati, aku mengatakan kakimu pendek sekali. Dan kau...."

"Aku mendengarnya. Lalu aku sangat kesal padamu dan memarahimu."

"Hmm.. Waktu itu, tiba-tiba saja kau mengatakan, "Kenapa memangnya kalau kakiku pendek?" Hahaha... Lalu aku terkejut dan bertanya apa maksudmu. Dan kau mengatakan... kau bisa mendengar apa yang ku katakan dalam hati."

"Hahaha.. Waktu begitu cepat berlalu, Nicole. Saat ini... kita sudah dewasa. Nyatanya kini kakiku tidak pendek, kan? Aku telah tumbuh tinggi dengan baik. Dan kalau kau masih dapat mengingat kata-kata terakhirku di dalam hati, ketika Ibu membawaku pulang di bawah gerimis siang itu......" lalu menoleh kepada putri Nicole yang memotong kalimatnya.

"Aku ingat! Aku masih dapat mengingatnya, George. Sebelum naik ke keretamu, kau mengatakan... nanti kau akan kembali untuk menikahiku." sang putri pun menoleh kepada pangeran George.

Tatapan mereka beradu, terdiam dalam hitungan detik. Sampai salah satunya tersadar dan mengakhiri tatapannya.

"Aduh, kenapa aku mengatakannya? Harusnya aku berpura-pura lupa." batinnya tak terucap.

"Kau menyesal mengatakannya? Kenapa harusnya kau berpura-pura lupa? Kau tak akan bisa membohongiku saat aku berada di dekatmu, Nicole."

Putri Nicole menghela nafas, "Baiklah George! Maafkan aku."

"Sekarang... aku ingin menepati ucapanku. Aku ingin menikahimu."

"Apa karena sebuah ucapanmu waktu itu, kau merasa harus menepatinya? Bahkan kau mengucapkan itu saat masih berusia sembilan tahun!"

"Bukan Nicole! Bukan begitu maksudku. Aku sungguh-sungguh menyukaimu, aku jatuh cinta padamu. Rasanya... aku menderita, saat berada jauh darimu."

Putri Nicole mengedip dan... air matanya jatuh.

"Kau menangis, Nicole? Apa aku menyakitimu?" pangeran George panik melihat gadis di sampingnya menitihkan air mata.

Putri Nicole justru tertawa dan menggeleng, sambil mengusap air matanya. "Tidak! Kau tidak menyakitiku George. Aku... kau sungguh membuatku terkejut dengan kata-katamu tadi. Benarkah, kau menderita saat berada jauh dariku?" air matanya kali ini justru mengalir semakin deras saat mengulang kalimat sang pangeran.

Dan hal itu membuat pangeran George menggunakan jari-jarinya untuk menghapus air mata gadis itu.

"Kenapa kau begitu terharu, Nicole?"

"Aku... aku tak menduga bahwa ternyata diriku berharga untuk seseorang."

"Apa yang kau katakan, Nicole? Dirimu begitu berharga bagiku, bagi orang tuamu, bagi siapapun yang mengenalmu. Kau begitu berharga!"

"Terima kasih George! Terima kasih telah mengatakan hal itu padaku. Jadi, apa kau serius ingin menikahiku?"

"Tentu Nicole! Tentu saja aku tidak bercanda."

"Tentu? Aku belum bertanya apa-apa padamu."

"Tapi kau sudah bertanya di dalam hati, Nicole! Dan aku menjawabnya."

"Ah, ya.. Baiklah!"

"Jadi... kau mau kan.. menikah denganku?"

"Aku harus menjawab apa George?" yang tampak hanyalah senyum di bibir sang putri.

"Tentu kau harus menjawab "Ya"!"

"Hahaha.. kita ini sangat lucu George. Saat kita sudah menikah nanti, kita akan saling mengetahui bahwa salah satu dari kita ingin memulai pertengkaran. Lalu salah satunya menghindar, dan akhirnya... Hahaha... Entah apa yang akan terjadi George!"

"Tadi kau mengatakan... saat kita sudah menikah nanti? Apa itu artinya, kau bersedia menikah denganku, Nicole?"

"Hmm! Tentu! Pasti akan sangat seru menjadi istrimu!" jawabnya yakin seraya mengangguk-angguk.

Dan pangeran George hanya dapat tersenyum lebar, memandang wajah putri Nicole dengan tatapannya yang teramat dalam. Tatapan yang seolah menyatakan ketulusan cintanya pada putri Nicole.

49. Upacara Pernikahan

Gadis itu telah siap dengan penampilannya hari ini. Gaun putih berlengan panjang, dengan kerah V yang cukup rendah, membuatnya sungguh menawan. Rambutnya yang digelung tinggi, menampakkan leher jenjangnya yang seksi. Ditambah sebuah mahkota sederhana, menghias di kepalanya.

Sekali lagi, Nivea mematutkan dirinya di depan cermin sebelum beranjak pergi meninggalkan kamarnya.

"Ayo, ayah!" ucapnya seraya meraih lengan duke Eduardo. Dan Seri, mengekorinya di belakang.

"Kau menakjubkan, Nivea!"

"Benarkah? Kau berlebihan, Ayah."

Dengan sangat hati-hati, keduanya menaiki kereta kuda mereka. Namun kali ini, kereta yang mereka tumpangi dikemudikan oleh kusir yang lain. Sedang tuan Willy dan Seri berangkat dengan keretanya yang biasa.

"Apakah Ibu sudah tiba disana, Ayah?"

"Hmm.. Tentu! Ibumu pergi sejak kau masih berada di dalam kamar mandi."

"Ah, benar! Pasti ibu sudah sibuk menyambut tamu-tamu itu."

Duke Eduardo tak sengaja menoleh ketika Nivea sedang menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Apa? Kau menguap, Nivea? Bagaimana bisa kau mengantuk saat hari pernikahanmu?"

"Semalaman aku tidak bisa tidur, Ayah. Aku... sangat gelisah memikirkan hari ini."

"Lalu, kau baru tidur jam berapa?"

"Aku tidak tidur."

"Kau bercanda!" beliau pun menggeleng heran menanggapi jawaban itu.

Akhirnya mereka telah tiba di depan sebuah bangunan gereja yang megah.

Kedatangan mereka disambut rasa penasaran para tamu, yang telah memenuhi area depan bangunan itu. Mereka sudah tak sabar ingin melihat pengantin wanitanya.

Sayup-sayup suara terdengar mengomentari penampilan Nivea, ketika dirinya tengah melangkah beriringan dengan sang ayah. Nivea tampak tersenyum malu-malu, berusaha mengenali wajah satu persatu tamu yang telah rapi berjajar di sisi kiri dan kanannya.

Dan tampaklah lelaki itu, telah menunggunya di depan sana. Dengan tuksedo hitamnya, serta rambut yang ditata dengan sangat baik, telah membuat tampilan dirinya hari ini sungguh berbeda.

Matias mengulurkan tangannya pada Nivea. Gadis itupun menerima tangan kekasihnya, lalu bergerak pindah dari samping ayahnya mendekat kepada Matias. Dan disana lah janji setia seumur hidup itu saling terucap, di hadapan semua orang.

Akhirnya gelaran upacara serta pesta pernikahan mereka telah usai.

Nivea tidak menghias tampilan kamarnya, meski tahu kamarnya akan menjadi kamar pengantin. Kini mereka telah mengganti pakaiannya masing-masing dengan pakaian tidur. Dan telah berada di atas ranjang.

Matias masih menyandarkan punggungnya pada sandaran dipan itu, sedang Nivea telah meringkuk di sampingnya.

"Apa yang kau lakukan, Nivea?" tanyanya bernada terkejut.

"Aku sangat mengantuk." kali ini Nivea menguap. "Aku sudah mengatakan padamu kalau semalaman aku tidak tidur."

"Jangan tidur dulu, ku mohon Nivea!"

Nivea bergerak, berusaha untuk duduk. "Kau mau apa, Matias?"

"Ayolah! Apakah kau sepolos itu?"

"Apa maksudmu..?"

"Ini malam pernikahan kita. Dan seharusnya....."

"Ah, baiklah!" Nivea menepuk-nepuk bantal miliknya sendiri sambil mengatakan, "Rebahkan tubuhmu!"

"Apa?"

"Ayo! Rebahkan saja tubuhmu!"

Matias pun menuruti ucapan Nivea. Dia lantas bergerak, meletakkan kepalanya pada bantal miliknya. Begitupun Nivea, yang ikut terlentang di sampingnya.

"Ayo sekarang... Kita pejamkan mata kita masing-masing!"

Matias pun menoleh terkejut, Nivea tampak benar-benar tak ingin bergerak lagi. Dalam hitungan detik, Nivea telah terlelap. Membuat lelaki itu hanya dapat menghela nafas dan menggeleng heran.

***

Suara ombak memburu, di balik petang yang menawan telah tergoreskan luka yang dalam di hati seorang gadis. Di pinggir pantai itulah dia terlihat.

"Isabel! Tunggu Isabel!" gadis bergaun putih itu berlari kecil dalam tangisannya yang pilu. Langkahnya terhenti, dia menoleh pada seseorang yang berusaha mengejarnya.

"Kau mau apa lagi? Apa kau belum puas menyakiti hatiku?"

"Maafkan aku, Isabel. Walau aku tahu, kata maaf tak akan menyembuhkan lukamu. Tapi setidaknya, tolong mengertilah!"

"Tidak mengapa jika kau tidak menyukaiku. Tapi kenapa, kau semakin melukaiku dengan kata-katamu?"

"Aku menyesal, Isabel!"

Gadis itu berlari kembali, dia tak ingin lagi mendengar ucapan lelaki itu.

Lelaki itu terus mengejarnya, "Isabel.. Jangan pergi, Isabel! Maafkan aku!"

Hingga akhirnya lelaki itu tak sanggup berlari lagi, nafasnya terengah-engah. Dan berhenti di tempat. Dia hanya dapat menitihkan air mata penyesalannya.

Isabel masih berlari, kian mendekat kepada sosok gadis yang berwajah sama dengannya. Dia pun berhenti berlari, dengan sisa kekuatannya dia mendongak memandang wajah gadis bergaun hitam di depannya.

"Ah, kau! Kau.. nona yang cantik!"

"Hei.. Apa kau nona Isabel?"

Isabel mengangguk.

"Ada apa denganmu, nona? Kenapa kau berlarian seperti itu?"

"Dia terus mengejarku. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi darinya."

"Dia? Dia siapa, nona?"

Isabel tak menjawab, dirinya justru menarik nafas dan menghembuskannya. Untuk menemukan rasa nyaman kembali setelah berlarian cukup jauh.

"Nona yang cantik! Di kehidupan yang baru ini, dia sudah membayar lunas semua luka ku, dia sudah menghapus sakit di hatiku. Hanya saja, aku tak dapat merasakannya secara langsung terjadi padaku. Kau telah hidup menjadi aku, kau telah berhasil meraih cintanya. Jangan pernah lepaskan dia, nona! Atau kau sendiri yang akan menderita di sisa usiamu seperti aku."

Isabel membentuk sudut lengkung di bibirnya, dia melambaikan tangan dengan tatapan yang sendu. Dan perlahan lenyap, berganti kepulan asap tipis.

"Nona Isabel! Aah, kenapa kau pergi begitu saja, nona?"

Sinar mentari pagi menusuk dari balik tirai abu-abu. Nivea membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya. Senyumnya mengembang saat menoleh ke sebelah kirinya. Sungguh, pemandangan yang dilihatnya saat ini, jauh lebih indah dari pemandangan apapun yang pernah dilihatnya selama hidup.

Disana terlihat seorang lelaki tampan, dengan mata yang masih terpejam, meringkuk ke arah sini. Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Nivea, pagi harinya akan disuguhkan dengan pemandangan indah ini. Lelaki dengan piyama biru itu, terlalu menggemaskan untuk dibangunkan dari tidurnya.

Nivea terus memandangi wajah Matias. Dan dia membelai rambut depannya, yang jatuh menutupi dahi. Kedua matanya masih terus mengamati wajah suaminya, hidungnya yang mancung dan bibir tipisnya sedikit kemerahan. Benar-benar indah, batinnya.

"Apa yang kau lakukan padaku, Nivea?" tanyanya masih dengan mata yang terpejam.

"Tidak ada! Aku hanya... memandangimu." jawabnya sambil terus membelai rambut Matias.

"Apa aku... boleh membuka mata?"

"Hmm! Buka saja matamu!"

"Selamat pagi istriku.." matanya balas memandang wajah Nivea setelah dia membuka mata.

"Selamat pagi, teman baruku.."

"Apa? Teman baru?"

"Hmm! Setiap pagi, biasanya Seri yang datang ke kamar ini untuk menemani ku bersiap-siap. Tapi sekarang... aku punya teman baru disini."

"Ah, jadi begitu ya. Baiklah! Kalau begitu... kau lebih suka temanmu yang lama... atau temanmu yang baru?"

"Tentu aku menyukai kedua-duanya!"

"Tapi yang mana, yang lebih kau suka? Kau harus memilihnya salah satu!"

"Hmm... Tentu saja, aku lebih menyukai temanku yang baru!"

"Benarkah? Kenapa kau lebih menyukai ku?"

"Karena... aku bisa melakukan ini padamu!" tubuh Nivea pun bergerak naik ke atas tubuh Matias, dia menghujani wajah lelaki itu dengan ciumannya yang bertubi-tubi.

50. Sepupu David

Martha dan Daniel sedang sibuk-sibuknya, pasangan suami istri itu kebanjiran pesanan karangan bunga. Waktu itu, mereka menikah setelah dua bulan pernikahan Matias dan Nivea.

Pesanan karangan bunga yang sangat banyak ini, adalah pesanan yang datang dari keluarga kerajaan. Tak lama lagi, putri Nicole akan menggelar pesta pernikahan megahnya dengan pangeran George.

Pelataran kios bunga milik Martha, dipadati oleh bunga-bunga segar yang baru dikirim dari perkebunan. Daniel dan tuan Luigi bekerjasama memindahkan bunga-bunga itu ke dalam kios.

Di tengah ruangan kios itu, terlihat wanita cantik dengan rambut yang dikuncir kuda, duduk di atas permadani. Dia tengah berkonsentrasi pada pekerjaan tangannya merangkai bunga.

"Daniel! Kau terlalu dekat meletakkan ikatan bunga ini kepadaku. Aku tidak bisa bergerak."

"Ah, benar! Maaf. Aku akan menggesernya." seraya melangkah sangat hati-hati untuk memindahkan beberapa ikat bunga yang terlalu dekat dengan tubuh Martha.

"Kau lelah, Daniel! Beristirahatlah dulu. Aku membawa beberapa limun kesini. Ambillah di dapur. Tolong katakan pada tuan Luigi untuk mengambilnya juga. Kalian pasti haus."

"Ah, tentu Martha! Apa... aku perlu membantumu merangkai bunga yang lain?"

"Hmm.. Nanti saja, Daniel! Setelah ini, aku akan memeriksa bunga-bunga yang baru datang tadi."

Martha masih terus melanjutkan kegiatannya, wanita itu masih sangat teliti dalam melakukan pekerjaannya. Dia selalu ingin para pelanggannya merasa puas, terhadap hasil rangkaian bunganya.

Setelah beberapa menit yang cukup lama, akhirnya sebuah rangkaian bunga yang indah telah tampak disana. Martha masih harus merangkai beberapa buah lagi untuk model dan warna yang serupa, karena rangkaian bunga yang ini akan dijadikan hiasan di setiap sudut istana.

Martha menghela nafas, dia memandang pada jam kayu yang berdiri kokoh di sudut ruang kiosnya. Dia lantas bangkit saat menyadari, diluar sana matahari telah sangat tinggi.

"Daniel, kau dimana?"

"Aku di depan, Martha!" teriaknya.

Martha melangkah sangat hati-hati agar tak menginjak kelompok bunga-bunga yang belum sempat diperiksanya. Dia pun menghampiri Daniel, yang sedang duduk di kursi teras kiosnya.

"Mana tuan Luigi?"

"Aku memintanya untuk membeli roti manis."

"Ah, begitu ya. Padahal aku kesini untuk mengajakmu makan siang di rumah."

"Hmm. Apa masih sempat kalau kita kembali ke rumah setelah tuan Luigi datang?"

"Bagaimana ya? Hmm.. Aku belum memeriksa bunga-bunga itu. Aku takut waktunya tidak cukup, Daniel. Apa kau meminta tuan Luigi membeli roti lebih banyak?"

"Tentu! Aku juga memintanya membeli kue bolu."

"Ah, kalau begitu.. kita tidak usah kembali ke rumah. Kita makan roti saja, Daniel!"

"Ya! Setelah makan roti, kita bisa lanjutkan merangkai bunganya. Tenang saja, aku selalu siap membantumu!"

"Terima kasih, Daniel! Aku sangat beruntung memilikimu." jawabnya diikuti senyuman yang mengembang.

***

Sebuah kereta kuda tengah melintas diantara jajaran bangunan yang tidak terlalu tinggi. Suasana sepanjang jalan begitu tenang, hanya sedikit orang yang tampak berjalan kaki. Dan sesekali kereta kuda yang berpapasan, harus menepi salah satunya memberi jalan untuk kereta lain dapat melintas lebih dulu.

Kereta kuda itu tengah membawa Nivea dan pelayan pribadinya, siapa lagi kalau bukan Seri. Saat ini, mereka sedang menuju ke toko rotinya.

Dan beberapa jam kemudian.

"Seri, sudah bertahun-tahun kau melihatku membuat adonan roti. Apa... kau tidak berminat untuk dapat membuat roti?" tanyanya sambil berkacak pinggang.

"Ah, tidak nyonya!"

"Tidak? Hmm.. Aku kira..  kau cukup berminat untuk mencobanya sendiri."

"Tidak nyonya! Lagi pula tampaknya Saya tidak berbakat untuk itu."

"Lalu apa bakatmu?"

"Entahlah, nyonya!"

"Hahaha.. kau ini, lucu sekali Seri!"

Perbincangan mereka terjeda beberapa saat, karena Nivea harus melayani seorang pelanggan yang datang dan memesan rotinya untuk dibawa pulang.

"Apakah Anda sudah lelah membuat roti, nyonya?" lanjut Seri ketika pelanggan tadi telah menjauh pergi.

"Apa? Lelah? Kenapa kau mengatakan hal semacam itu, Seri?"

"Ah, Saya.. hanya.. menduga saja."

"Aku ingin kau dapat membuat roti agar... suatu hari nanti, itu dapat berguna untuk dirimu sendiri, Seri."

"Hmm? Bagaimana maksudnya, nyonya?"

"Ya, mungkin saja.. saat nanti kau sudah bosan bekerja untukku, kau ingin memulai usahamu sendiri. Dan kau, bisa memulainya dengan menjual roti yang kau buat."

"Apa mungkin... sebenarnya Anda yang sudah bosan pada Saya, nyonya?"

"Hahaha.. Kau sungguh pandai membuat lelucon, Seri! Aku tidak punya alasan untuk merasa bosan padamu."

Tak lama, terlihat lagi seorang pelanggan memasuki toko roti itu. Lelaki dengan topi koboi dan kemeja hitam itu, terlihat sedikit kesulitan menentukan pilihannya.

"Ah, roti dengan selai cokelat di dalam... sangat populer di toko ini, tuan. Anda bisa mencobanya." ucap Nivea mempromosikan rotinya.

Seri langsung bangkit dari kursinya di balik etalase, kala menyadari siapa lelaki yang berdiri disana. Seolah kehilangan akal, Seri bergeser dan berdiri hingga sangat dekat dengan tubuh Nivea.

"Ah, Anda tuan Douglas." diiringi senyum yang mencurigakan.

Tingkahnya sungguh membuat Nivea membelalakkan mata ke arah dirinya. Nivea yang tak mengerti, dibuatnya keheranan.

Lelaki itupun sedikit membungkuk memberi salam kepada Seri. "Ah, Anda disini, nona Seri?" dia pun membalas senyuman Seri.

Nivea memilih mundur perlahan dari samping Seri. Membiarkan gadis itu melayani pesanan lelaki tadi. Dia menunggu di dapur, hingga Seri selesai dengan tugasnya.

"Lama sekali, apa pesanannya sebanyak itu?" gerutunya sendiri yang didengar oleh Clara.

"Hmm? Siapa nyonya?"

"Ah, itu... pemuda itu. Tampaknya dia cukup mengenal Seri. Lama sekali dia berdiri disana." jawabnya seraya memanjangkan leher, menyelidik ke depan sana.

"Saya akan mengantar roti-roti ini ke etalase, nyonya." sambil memegang nampan kayunya.

"Hmm.. Baiklah Clara!"

"Kau sudah memeriksa buah-buahan di samping, David?"

"Tentu, nyonya! Saya akan pergi besok ke pasar."

Clara telah kembali, dia lantas memberitahu kepada Nivea tentang sesuatu yang diketahuinya.

"Nyonya! Pemuda itu adalah tuan Douglas. Dia sepupu David."

David menoleh kepada Clara, sedangkan Nivea justru memandang kepada David.

"Apa dia datang, Clara?"

"Ya, tadi dia kesini... tapi sekarang sudah pergi!"

"Apa kau mengenalkan Seri secara khusus pada sepupu mu itu, David?"

"Tentu, nyonya! Tampaknya Douglas... memang tertarik pada Seri."

"Apa? Sejak kapan... Ah! Maksudku, kapan kau mengenalkan mereka?"

"Hmm.. Seingat Saya, nyonya memang tidak ada di toko ketika pertama kali Douglas datang kemari."

"Ah, apakah... sepupu mu itu orang baik-baik David? Ah, maaf... bukan begitu. Maksudku... apakah sebaiknya kita mendukung jika sepupu mu mendekati Seri?"

"Tentu nyonya! Kita tidak perlu khawatir tentang apapun. Douglas belum lama ini bekerja di perkebunan anggur milik pemerintah."

"Apa? Itu artinya... Matias mengenal sepupu mu?"

"Tentu nyonya! Douglas bekerja membantu pengelola kebun mengurus keuangan. Dia seorang yang dapat dipercaya."

"Ah, benar... Sejak pekerja keuangan itu terlibat penipuan pajak, tuan Carlos cukup lama mengelola keuangan perkebunan seorang diri."

"Ya, karena itu cukup merepotkan, maka pengelola mencari pekerja keuangan yang baru."

"Ah, sejak kapan tuan Douglas bekerja disana?"

"Hmm.. Kira-kira baru tiga minggu ini, nyonya."

"Ah, baiklah! Kalau begitu... kita harus mendukung mereka!" ucapnya bersemangat.

51. Akhir Bahagia

Dua minggu berlalu.

Hari ini hampir seluruh penduduk kota itu, tumpah ruah ke jalan.

Mereka berjalan santai menuju ke halaman depan istana kerajaan. Untuk apalagi, kalau bukan untuk memenuhi rasa penasaran mereka pada gelaran pesta pernikahan sang tuan putri.

Meski tak dapat memberikan ucapan selamat secara langsung, namun setidaknya mereka berharap dapat melihat pasangan pengantin kerajaan itu dari jauh.

Iring-iringan yang membawa sang pengantin, akhirnya muncul juga.

Putri Nicole dan pangeran George tampak tersenyum bahagia, melambaikan tangan mereka ke arah kanan dan kiri bergantian. Kerumunan orang itu tentu telah diatur sedemikian rupa oleh para penjaga. Sehingga iring-iringan pengantin itu dapat melintas lancar tetap pada jalurnya.

Pasangan pengantin dan keluarga kerajaan itu baru saja tiba, setelah pelaksanaan upacara pernikahan di gereja. Kerumunan orang yang memadati halaman gereja tadi pagi, juga tak kalah banyaknya dibanding kerumunan yang ada saat ini.

Riuh suara orang saling bersahutan, berlomba-lomba memanggil putri Nicole sambil melambaikan tangannya ke arah kereta yang membawa pasangan pengantin itu. Berharap mendapat atensi dari yang mulia.

Iring-iringan itupun akhirnya berakhir ketika kereta yang membawa mereka telah sampai di pelataran istana. Berhenti untuk menurunkan para penumpangnya.

Kerumunan orang diluar sana masih setia menunggu. Hingga akhirnya putri Nicole dan pangeran George membuka pintu yang ada di balkon lantai dua. Riuh suara orang pun kembali menggema di seantero halaman istana kerajaan. Betapa antusiasnya mereka membalas lambaian tangan serta senyum bahagia sang pengantin dari atas sana.

Tiga puluh menit pun berlalu. Pasangan pengantin itu beranjak pergi dari atas sana. Mereka memulai acara perjamuannya bersama para tamu di ruang tengah istana.

Terlihat permaisuri memeluk putrinya dengan sangat erat. Padahal, beliau sudah beberapa kali memeluknya.

"Aku sangat bahagia, Nicole."

"Kau sudah mengatakannya seribu kali, Ibu."

"Benarkah?"

"Hmm! Itu benar, Ibu!"

Putri Nicole memundurkan tubuhnya, melepas pelukan itu perlahan.

"Aku akan menemui para tamu, Ibu. Kita berbincang lagi nanti."

"Hmm! Baiklah! Temui mereka!"

Dengan gaun pengantin putihnya yang menawan, putri Nicole begitu mempesona. Gerakan tubuhnya tampak anggun, menghampiri satu persatu tamu di tengah sana untuk disapanya. Begitupun pangeran George, yang terlihat sibuk menyapa tamu-tamunya yang lain.

Putri Nicole menghentikan langkahnya di hadapan kedua sahabatnya semasa di sekolah. Kedua gadis itupun bergiliran memeluknya, sebagai ungkapan kebahagiaan yang ikut mereka rasakan. Mereka juga sedikit berbincang disana.

Dan perbincangan itu terhenti, ketika seseorang menepuk lembut pundak kiri putri Nicole dari belakang. Dia pun lantas menoleh dan betapa terkejutnya putri Nicole, mengetahui siapa yang telah menepuk pundaknya. Tanpa banyak berpikir, putri Nicole langsung memeluk lelaki tampan itu.

"Kau datang, Kak? Benarkah... kau benar-benar sudah pulang?"

"Hmm! Selamat, adikku! Aku ikut bahagia dengan pernikahanmu."

Keduanya menyudahi pelukan itu, melanjutkan perbincangan mereka.

"Kau tidak akan kembali ke pengasingan kan?"

"Tidak Nicole! Bahkan ayah yang menjemputku kesana. Beliau mengatakan bahwa kau akan menikah."

"Benarkah? Jadi kapan kau tiba di kota ini?"

"Dua hari yang lalu. Ayah memintaku bermalam di penginapan."

"Apa?"

"Ya! Agar kepulanganku menjadi kejutan bagimu dan ibu."

Saat itulah permaisuri menangkap keberadaan putranya disana. Alih-alih memanggil namanya dari jauh, permaisuri melangkah menghampiri putranya.

"Edmund! Kau kah itu?"

"Ibu!" keduanya lantas berpelukan begitu eratnya.

"Kau pulang, Nak.."

"Ya Ibu! Aku sudah ada disini."

"Tolong jangan pergi lagi, Edmund!"

"Aku akan menebus kesalahanku, Ibu. Aku tidak ingin membuatmu kecewa lagi padaku."

"Berjanjilah Edmund!"

"Tentu Ibu!" angguknya meyakinkan.

***

Akhirnya kebahagiaan meliputi hati semua orang.

Hari ini sudah satu bulan, sejak pernikahan megah keluarga kerajaan itu digelar. Pangeran Edmund telah kembali ke istana dengan dirinya yang jauh lebih baik. Dia telah berhasil mengembalikan kepercayaan baginda raja dan permaisuri padanya. Membuat baginda raja menarik kata-katanya untuk menyerahkan tahta kepada adiknya.

Sore ini Nivea dengan perut buncitnya, sedang duduk pada salah satu kursi di taman Edelweis. Menanti Matias kembali membawakan botol minumnya yang tertinggal di dalam keretanya. Awan sore yang memayunginya tampak begitu teduh, keindahannya sungguh menenangkan jiwa.

Burung-burung beterbangan dengan riuh kicauannya dan kupu-kupu yang beragam warna, menari leluasa menghampiri bunga-bunga. Serta tangkai pepohonan di sekeliling mereka, tengah mengayun lembut mengikuti arah angin.

Nivea menoleh ke arah datangnya Matias, lelaki itu tersenyum. Di tangannya terdapat sebuah botol minum kaca.

"Ini, minumlah!"

"Hmm! Terima kasih Matias!" Nivea menerima botol kacanya. Sementara Matias telah duduk di sampingnya.

"Kau ingat tidak? Malam itu." lanjutnya setelah menenggak isi dalam botol minumnya.

"Hmm! Kau menungguku disini. Ah, dimana waktu itu kau duduk?" matanya menjelajahi seisi taman. "Itu dia! Disana! Di kursi yang diduduki anak itu."

"Benar. Aku... tak hanya menunggumu."

"Kau juga melamarku. Benar tidak?"

"Hmm!" Nivea menghela nafas kemudian membelai perut buncitnya.

"Aku... ingin bercerita tentang sesuatu." lanjutnya.

"Apa itu?"

"Apakah... kau percaya tentang reinkarnasi?"

"Terlahir kembali. Hmm.. Tentang itu... aku tidak yakin. Apa ceritamu ada hubungannya dengan itu?"

"Hmm! Aku... tidak akan memaksamu untuk percaya. Tapi, ketahuilah Matias... kita... adalah reinkarnasi dari dua orang yang hidup ratusan tahun lalu."

"Dari mana kau tahu itu?"

"Kakek ku. Mendiang kakek yang memberitahukan hal itu padaku."

"Benarkah? Kau... bertemu dengannya dalam tidurmu?"

"Hmm! Kau benar! Waktu itu... kakek datang beberapa kali dalam mimpiku. Sepotong mimpi pertama yang tidak ku mengerti artinya. Tapi... entah bagaimana mimpi itu akhirnya berlanjut. Aku adalah... reinkarnasi dari seorang gadis yang bekerja sebagai pelayan kerajaan. Dulu... aku mati karena membunuh diriku sendiri. Dan aku... melakukan itu karena terlalu mencintai seseorang yang tidak pernah mencintaiku."

"Lalu?"

"Ibuku dulu adalah seorang wanita tua renta yang bermulut tajam. Hatinya hancur saat aku mati, dan beliau mengutuk lelaki yang ku cintai."

Matias mengernyitkan dahi, "Mengutuk? Kutukan seperti apa?"

"Beliau mengatakan... suatu hari nanti di kehidupan mendatang, lelaki itulah yang akan tergila-gila mencintai putrinya."

"Jadi maksudmu, lelaki itu akan mati bunuh diri jika... gadis itu tidak membalas cintanya?"

"Tepat! Kakek menunjukkan sebuah lukisan padaku. Disana, aku bisa melihat wajahmu dengan jelas."

"Wajah...? Wajah siapa katamu?"

"Wajahmu! Kau... adalah reinkarnasi dari lelaki itu."

"Apa? Itu cukup sulit dipercaya, Nivea. Tapi, apa kau melamarku setelah mengalami semua mimpi itu? Apa kau... melamarku karena semata-mata tidak ingin menjadi penyebab dari kematianku?"

"Kau benar! Aku... memang takut kau mati. Tapi, alasan yang sesungguhnya adalah... Apa kau ingin tahu?"

"Hmm! Katakan padaku, kenapa kau takut jika aku mati?"

"Karena... Aku telah jatuh cinta padamu. Dan... aku tak ingin hidup di dunia ini tanpa bisa melihat dirimu lagi. Aku tulus mencintaimu, Matias! Bukan karena semua mimpi itu. Percayalah padaku!"

Matias pun mengangguk, "Aku percaya padamu, Nivea. Karena aku... selalu bisa merasakan ketulusanmu. Terima kasih telah terlahir kembali di kehidupan ini bersamaku."


Dan Nivea hanya dapat menjawab kalimat itu dengan sebuah senyum yang terpancar dari hatinya yang terdalam.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun