"Aku ingat! Aku masih dapat mengingatnya, George. Sebelum naik ke keretamu, kau mengatakan... nanti kau akan kembali untuk menikahiku." sang putri pun menoleh kepada pangeran George.
Tatapan mereka beradu, terdiam dalam hitungan detik. Sampai salah satunya tersadar dan mengakhiri tatapannya.
"Aduh, kenapa aku mengatakannya? Harusnya aku berpura-pura lupa."Â batinnya tak terucap.
"Kau menyesal mengatakannya? Kenapa harusnya kau berpura-pura lupa? Kau tak akan bisa membohongiku saat aku berada di dekatmu, Nicole."
Putri Nicole menghela nafas, "Baiklah George! Maafkan aku."
"Sekarang... aku ingin menepati ucapanku. Aku ingin menikahimu."
"Apa karena sebuah ucapanmu waktu itu, kau merasa harus menepatinya? Bahkan kau mengucapkan itu saat masih berusia sembilan tahun!"
"Bukan Nicole! Bukan begitu maksudku. Aku sungguh-sungguh menyukaimu, aku jatuh cinta padamu. Rasanya... aku menderita, saat berada jauh darimu."
Putri Nicole mengedip dan... air matanya jatuh.
"Kau menangis, Nicole? Apa aku menyakitimu?" pangeran George panik melihat gadis di sampingnya menitihkan air mata.
Putri Nicole justru tertawa dan menggeleng, sambil mengusap air matanya. "Tidak! Kau tidak menyakitiku George. Aku... kau sungguh membuatku terkejut dengan kata-katamu tadi. Benarkah, kau menderita saat berada jauh dariku?" air matanya kali ini justru mengalir semakin deras saat mengulang kalimat sang pangeran.