Isabel mengangguk.
"Ada apa denganmu, nona? Kenapa kau berlarian seperti itu?"
"Dia terus mengejarku. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi darinya."
"Dia? Dia siapa, nona?"
Isabel tak menjawab, dirinya justru menarik nafas dan menghembuskannya. Untuk menemukan rasa nyaman kembali setelah berlarian cukup jauh.
"Nona yang cantik! Di kehidupan yang baru ini, dia sudah membayar lunas semua luka ku, dia sudah menghapus sakit di hatiku. Hanya saja, aku tak dapat merasakannya secara langsung terjadi padaku. Kau telah hidup menjadi aku, kau telah berhasil meraih cintanya. Jangan pernah lepaskan dia, nona! Atau kau sendiri yang akan menderita di sisa usiamu seperti aku."
Isabel membentuk sudut lengkung di bibirnya, dia melambaikan tangan dengan tatapan yang sendu. Dan perlahan lenyap, berganti kepulan asap tipis.
"Nona Isabel! Aah, kenapa kau pergi begitu saja, nona?"
Sinar mentari pagi menusuk dari balik tirai abu-abu. Nivea membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya. Senyumnya mengembang saat menoleh ke sebelah kirinya. Sungguh, pemandangan yang dilihatnya saat ini, jauh lebih indah dari pemandangan apapun yang pernah dilihatnya selama hidup.
Disana terlihat seorang lelaki tampan, dengan mata yang masih terpejam, meringkuk ke arah sini. Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Nivea, pagi harinya akan disuguhkan dengan pemandangan indah ini. Lelaki dengan piyama biru itu, terlalu menggemaskan untuk dibangunkan dari tidurnya.
Nivea terus memandangi wajah Matias. Dan dia membelai rambut depannya, yang jatuh menutupi dahi. Kedua matanya masih terus mengamati wajah suaminya, hidungnya yang mancung dan bibir tipisnya sedikit kemerahan. Benar-benar indah, batinnya.