Jumat, 6 September 2024
"Kak Puspa, terima kasih banyak untuk sesi waktu itu", aku segera menghampiri Kak Puspa seusai kelasnya.
Aku benar-benar merasa bersalah karena meragukan sesi konseling Kak Puspa dan Kak Carissa.
"Hai, gimana kabarnya, Mba Maya?", ternyata Kak Puspa masih ingat padaku. Kukira Kak Puspa sudah lupa atau bisa jadi tidak suka padaku, karena aku langsung tidak pernah lagi muncul dihadapannya.
"Baik, Kak. Terima kasih banyak untuk sesinya. Apa yang saya lihat ternyata benar", suaraku makin melemah karena malu sekali pada Kak Puspa.
"Syukurlah, penting buat kita belajar memaafkan, anggap ini sebagai proses pendewasaan. Memang begitulah jalan Tuhan biar kita lebih dekat, mesti dihantam dulu." suara Kak Puspa begitu renyah, dan sangat damai ketika mengucapkan kata "memaafkan".
Bagaimana caranya? Dia sudah membuatku menderita.
"Kak, bagaimana cara memaafkannya?", aku benar-benar buntu untuk menyadari bagaimana cara memaafkan orang yang bertindak abusive padaku, dan hampir mencelakakan nyawa anakku.
"Tanya pada dirimu, kira-kira apa yang selama ini belum kamu maafkan, tulis sakit hatimu pada kedua orang tuamu dan suamimu, bisa juga dengan bos, dan sahabat, mungkin. Kemudian tarik garis lurusnya, disitu bisa terlihat, apa yang sebenarnya Tuhan mau kamu pelajari dari masalah hidupmu. Jadi nanti, istilahnya, kamu tidak menurunkan luka pada anak-anakmu" jelas Kak Puspa dengan penuh kesabaran.
Sakit hati.. perlukah ditulis, dipelajari, disadari? Bukankah ini ujian dari Tuhan yang harus segera dilupakan?
"Kak, saya boleh ikut sesi lagi? Saya ga paham bagaimana menarik garis lurusnya?", aku perlu belajar, aku tidak mau menarik hal yang sama lagi ke dalam hidupku.Â