Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Berselimut Guna-Guna

10 September 2024   04:18 Diperbarui: 10 September 2024   07:19 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Pexels.com/Pavel Danilyuk

Selasa, 6 Agustus 2024

Langit malam yang begitu gelap, diiringi petir dan suara guntur yang mengagetkan. 

Seharusnya aku segera saja masuk ke kamar, mendekap suamiku mencari kehangatan dan keamanan. 

Tapi aku lebih memilih disini, berada di ruang tamu, sambil menatap jendela yang memberi pemandangan hujan deras di malam hari. 

"Belum tidur?", suara suamiku, Abbas, langsung membuatku bergidik ngeri, namun aku mencoba tetap tenang, tidak mau terlalu banyak memberikan gerak respon yang mendorong dirinya melakukan hal yang lebih menakutkan.

"Belum, sebentar lagi aku akan menyusul, kamu tidur dulu saja", sahutku dengan suara setenang mungkin.

"Jangan terlalu malam, ya, tidurnya", Abbas mengingatkanku sembari mencium keningku. 

Ya, Tuhan... siapa dia sebenarnya? Mengapa detik sebelumnya sangat menakutkan, detik berikutnya begitu baik seakan tidak terjadi apa-apa?

Aku membalasnya dengan senyumnya, sembari memegang lengan atasnya, memberikan respon romantis. Respon yang harus kugunakan untuk melindungi diriku.

Beruntung ruangan ini hanya mengandalkan sinar dari lampu depan, sehingga ekspresiku sama sekali tidak terbaca. 

Sangat berbahaya kalau Abbas mengetahui sedikit saja keteganganku, maka ia akan berlaku sesuai makna namanya, singa. 

***

Rabu, 7 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB

"Jadi apa yang membuatmu bertahan?"

Kini aku duduk depan seorang psikolog keluarga.

Beruntung jabatan kerjaku sudah lumayan tinggi, sehingga aku bisa lebih leluasa untuk membuat janji dengan psikolog keluarga di sela jam kerjaku.

"Entahlah, Kak.. Dia benar-benar seperti Abbas yang dulu, kalau dia sedang sadar. Anak-anak sendiri juga sangat dekat dengan Abbas. Saya ga yakin kalau kami berpisah, saya dan anak-anak benar-benar sanggup. Saya tidak mau anak-anak nanti merasakan adanya orang tua tiri". 

"Abbas yang dulu seperti apa?"

Kak Carissa, psikolog sekaligus orang yang aku anggap sebagai kakakku, berusaha menggali lagi apa yang terngiang di hati dan pikiranku.

"Dia bisa memberikanku rasa ketenangan dan kenyamanan saat didekatnya."

Rasanya tangisku mau pecah saat mendengar jawabanku sendiri. Benarkah dia masih seperti yang dulu? Apa yang sebenarnya membuat dia begitu berubah?

"Pernah bertanya sama Abbas, mengapa dia bisa tiba-tiba ngamuk seperti itu?"

"Pernah", tiba-tiba dadaku serasa sesak, mengingat malam itu, malam dimana aku baru mengetahui kepribadian Abbas yang sebenarnya.

"Apa katanya?"

"Aku istri ga tahu diuntung, terlalu menyusahkan, sejak menikah, usaha keluarganya bangkrut, aku istri pembawa sial", aku tidak lagi bisa menahan isakanku, kejadian malam itu serasa langsung terlihat lagi didepan mataku lagi.

*

"Kenapa kamu ga ceraikan saja aku?", teriakku kepada Abbas, mengapa Abbas percaya hal takhayul seperti itu. Banyak perusahaan yang bangkrut karena pandemi, mengapa hanya aku yang disalahkan?!

"Berani ngelawan kamu!!!" pertama kalinya Abbas menamparku dengan tangannya yang kekar. Telingaku langsung sakit berdenging.

Ku kira dia akan diam, namun dia langsung menjanggut rambutku dan menendang samping kepalaku dengan dengkulnya beberapa kali, sepertinya dia melihat kepalaku seperti samsak taek won do. 

Aku hanya bisa berteriak sekali memanggil namanya, kepalaku serasa berputar dan sakit sekali. Aku memegang kedua tangannya yang menjanggut rambutku, supaya segera melepaskannya.

Tiba-tiba dia berhenti, dan memaksaku menatap matanya.

"Sakit?? Hah?! Masih berani melawan?", ku lihat wajah Abbas begitu beringas, dan matanya merah! Bola matanya merah semua, sangat menakutkan!

Belum sempat aku menjawab, dia langsung menjedukkan samping kepalaku ke tembok, berkali-kali.

Aku hanya bisa diam, karena tidak tahu harus bagaimana melawan tenaganya yang begitu kuat. Aku hanya bisa mencium darah, sepertinya darahku mulai mengalir dari kepala.

Tiba-tiba Abbas terdiam. 

Aku berlutut menyender pada tembok, begitu lemas, padahal aku ingin sekali segera bergerak menghindar dari Abbas, mumpung dia sedang terdiam. 

Baru aku mau mengumpulkan seluruh tenagaku, ku dengar tangisan.

"Mamaaa...!", itu pasti suara Fara, anak pertamaku yang baru berusia satu tahun, ya Tuhan, sejak kapan dia melihatku. Dia tidak boleh melihatku seperti ini.

Aku berusaha mengumpulkan tenaga, dan bersikap tidak ada apa-apa. Aku tidak mau anakku melihat semua ini.

"Maya...", Abbas memanggilku, sambil memegang bahuku. "Kamu kenapa?"

Belum selesai pusingku karena jedukkannya, sekarang aku dibuat bingung dengan pertanyaannya.

"Kamu kenapa, sayang?", suaranya begitu prihatin. Abbas langsung mengelap keningku. 

Aku yakin keningku sudah bersimbah darah.

"Papaa..", Fara memanggil Abbas. Walaupun usianya baru satu tahun, tapi Fara sudah bisa lancar bicara, aku hanya berharap dia masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. 

"Papa bawa mama ke rumah sakit ya, Fara sama Mba Nem dulu ya..", masih ku dengar Abbas bicara. "Mba Nem..."

*

"Jadi perangai suamimu bisa berubah sewaktu-waktu?", tanya Kak Carissa saat aku sudah kembali tenang.

"Iya, kalau sudah melihat darah, biasanya dia akan berhenti. Tapi kalau dia merasakan sedikit saja keteganganku, dia akan kembali menjadi buas". 

Tiga tahun sudah, namun aku masih dibuat bingung dengan sikap Abbas.

"Baru ketahuan setelah berapa tahun menikah, Maya?"

"Satu tahun, Kak. Setelah pernikahan kami setahun, ga lama pandemi, usaha keluarganya bangkrut. Tapi kalau dari pengaruh keluarganya, rasanya ga mungkin, Kak, karena mereka sendiri ga ada yang nyalahin saya."

Dua tahun sudah Kak Carissa tidak mencatat apa yang aku sampaikan, karena selalu berulang. Namun aku sangat perlu menuangkan segala emosiku. Aku tidak paham harus kemana lagi harus berbagi cerita.

"Maya, jujur saja ini sudah tiga tahun terjadi, dan kita sudah pernah membawa Abbas konseling, tapi masih ga ada perbaikan. Sebenarnya aku ada curiga ini berhubungan dengan masalah spiritual.."

"Maksud, Kak Carissa?"

"Bisa jadi diguna-guna,"

"Kok bisa kesimpulannya begitu, Kak?"

"Saya sudah mencocokkan dengan semua banyak kemungkinan yang seharusnya diderita oleh Abbas secara psikis. Bipolar, depresi, psikopat, dan sebagainya. Tapi ciri-cirinya banyak yang melenceng."

"Jadi saya harus apa, Kak? Apa harus ke dukun?". Ah yang benar saja, seorang psikolog percaya yang seperti ini.

"Oh, bukan begitu. Kamu mau ga kalau ikut kelas Spiritual Awakening, bareng saya? Kelas ini semancam kelas mindfulness, bisa bantu kamu keluar dari pasangan yang toxic."

"Boleh, Kak". Semoga benar sebuah kelas, bukan kelas perdukunan.

***

Kamis, 8 Agustus 2024 pukul 11.30 WIB

"Maya, gue pengen ikut sesi spiritual awakening. Lu ikut temenin gue, ya, hari Jumat jam 15.30".

Rika, rekan kerjaku yang selalu memberikan positif vibes. 

Wah, sepertinya aku memang terpanggil dengan kelas ini, sudah dua orang yang mengajakku untuk mengikuti kelas ini.

"Aku udah daftar, Rika, di Plaza Indonesia, di hari dan jam yang sama. Kelasnya itu dimana?"

"Oh, sama berarti. Kalau begitu kita berangkat bareng, yuk", keceriaannya tidak mampu membuatku menolak.

"Yuk, bareng temanku ya, Kak Carissa, namanya".

"Okeee...", senyum cerianya benar-benar menular. 

Senang sekali punya teman yang memiliki aura positif.

Rika sudah menjadi temanku sejak awal bekerja disini. 

Kami tidak pernah saling mencurahkan isi hati, entah bagaimana sulit bagiku untuk berbagi cerita dengannya. Tapi yaa.. obrolan kami bisa menstimuli keceriaanku. 

Setidaknya topik obrolan kami selalu memberikan energi bagiku untuk menghadapi masalah kepribadian suamiku yang sama sekali tidak bisa ditebak.

***

Rabu, 7 Agustus 2024 pukul 19.10 WIB

"Hari Jumat nanti aku ada dinas, kemungkinan baru pulang hari Minggu", Abbas menginformasikan saat kami makan malam di rumah. 

"Oke.. apa saja yang mesti aku siapkan?"

Dua hari ini situasi di rumah baik-baik saja. 

Ah, bisa jadi Kak Carissa hanya berpikir berlebihan. Asalkan aku tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan bersamanya, dan bersikap seperti istri yang romantis dan sangat manut, keganasan Abbas tidak akan muncul.

"Seperti biasa saja, nanti kalau dokumen kantor biar aku saja yang siapkan", Abbas menatapku dengan hangat dan penuh cinta. 

Oh, Abbas, andai kamu setiap hari seperti ini.

"Oke", balasku dengan senyuman hangat, trenyuh dengan sikapnya yang membuatku selalu teringat dengan Abbas yang kukenal.

"Terima kasih, sayang", senyumnya benar-benar menenangkanku, membuatku sejenak terlupa akan senyumannya yang bisa jadi sangat beringas.

Keberingasan yang baru kutemui satu tahun pernikahan kami. 

Beruntungnya, ia tidak pernah beringas terhadap Fara dan Fania, kedua buah hati kami. 

Ia masih berperan sebagai ayah yang baik.

Hal tersebut yang mungkin membuatku masih bertahan akan pernikahan kami, karena aku sangat memahami tidak semua orang tua tiri mampu mencintai anak orang lain seperti anak kandungnya.

***

Jumat, 8 Agustus 2024 pukul 10.30 WIB

Aku datang ke kantor begitu telat.

Yang terpenting meeting hari ini tidak batal, karena proyek besar ini harus segera terealisasi, tidak mungkin aku reschedule begitu saja.

Namun aku harus berbenah diri dan memastikan penampilanku baik-baik saja. Menutupi bekas apapun yang terlihat aku habis di KDRT.

"May...", aku segera membalikkan badan, kaget sekaligus takut, saat mendengar namaku disebut. 

Rika...

Ia segera menutup pintu toilet, dan segera mendekatiku yang berada didepan wastafel dengan tatapan penuh simpati.

"May...", ia kembali memanggil namaku, sembari pelan-pelan memegang tanganku yang bergetar.

Sikapnya yang bersimpati, tiba-tiba memecahkan benteng diriku yang berpura-pura tegar selama ini. Aku langsung menangis sesunggukkan. 

Rika langsung memelukku, memberikan kesempatan bagiku untuk menumpahkan segala kesedihanku melalui tangisan. 

"Sori ya, Rika...", kalimat yang hanya bisa aku keluarkan ketika seluruh tangisan tercurah keluar semua.

"Gapapa.. gue seneng lu akhirnya bisa mengekspresikan diri. Boleh tahu dari kapan, May?", sahut Rika. 

Aku tertegun mendengar pertanyaannya. 

Apa dia tahu aku mengalami KDRT? Bagaimana dia tahu? Apa segitu hebatnya koneksi batin kita, tanpa komunikasi dia bisa tahu semua yang aku alami?

"Gue perhatiin di lengan lu suka ada biru-biru, May. Belum lagi kadang punggung lu kalo ga sengaja disentuh, pasti muka lu kayak mengerenyit kesakitan. Dan, ya ekspresi lu kayak tadi, ketakutan", jelas Rika. 

Aku mencerna jawabannya, sebegitu gampangkah aku terlihat, atau dia saja yang terlalu jeli dalam memperhatikanku. Dan Abbas cukup pintar dalam menyiksaku, ia tidak pernah melukai bagian tubuhku yang gampang terlihat, terutama wajahku.

"Bu Bram yang awalnya perhatiin, May. Karena tau kita berdua deket, dia minta gue untuk selalu perhatiin elu.", Rika lanjut menjelaskan, seketika aku merasa seterang siang, karena dia selalu bisa menebak isi pikiranku.

Ah.. Bu Bram, atasan yang kebaikannya melebihi orangtuaku sendiri.

***

Jumat, 12 Juli 2019 

"Saya ga akan terima kalau keluar dari sini! Kalau kamu mau kerja dari rumah, atau datang seminggu dua atau tiga kali, terserah! Yang penting, saya ga mau kamu resign!", keputusan Bu Bram, atasanku, tidak bisa diganggu gugat. 

Bu Bram sudah seperti orang tuaku sendiri. Beliau lah yang membiayai seluruh pendidikan kuliahku dan memberikan dukungan penuh untuk semua hal yang berhubungan dengan pertumbuhan akademisku.

Dukungannya tidak hanya dibidang akademis, tapi juga karierku. Belum lagi kebaikannya pada kedua adikku.

Tentu aku tidak bisa mendebat keputusannya, aku berutang budi padanya.

Namun aku berat sekali menerima keputusan Bu Bram, karena aku dan Abbas sudah sepakat kalau aku cukup menjadi ibu rumah tangga saja.

"Tapi, Bu, kami sudah sepakat...", aku masih berusaha bernego dengannya.

"Ngobrol lagi sama Abbas, Maya. Saya ga mau kamu resign dari sini, enak dia bilang begitu, memang dia bisa benar-benar hidupin keluarga. Segala keputusan saja masih atas acc mama dan kakak sulungnya. Inget, Maya, kamu harus paham hidup itu butuh uang, bukan makan cinta. Saya udah pengalaman berkeluarga, jangan terbuai dengan kata hayuk susah bareng. Ga gitu konsep nemenin dari nol", oceh Bu Bram. 

"Tapi, Bu, kami sudah sepakat. Paling nanti saya akan usaha dari rumah, sekarang kan udah banyak yang seperti itu", aku masih berusaha membujuknya.

Bu Bram langsung menatapku dengan tajam, sembari menarik napas, tanda menahan amarah.

"Jangan bodoh jadi perempuan, Maya. Ya sudah, kalau kamu mau bekerja dari rumah, silakan. Tapi engga ada resign, ya.", Bu Bram berkata seolah-olah memberikan solusi.

"Saya ga enak lho, Bu, sama teman-teman, nanti mereka bilang apa?", kataku yang memang merasa tidak enak hati pada teman-teman kerjaku diperlakukan berbeda dengan yang lain.

"Ini perusahaan saya, dan saya yang memberi wewenang kamu bekerja dari rumah", kata Bu Bram keras.

Sikap Bu Bram memang seperti wanita karier lainnya, profesional, tegas, dan paham ada yang dia mau. Salutnya, diluar dari kariernya, kehidupan pernikahannya juga baik, walaupun ini pernikahan keduanya.

"Maya, saya senang kamu menikah, dan saya paham untuk keputusanmu menjadi ibu rumah tangga. Nanti kalau kamu dan Abbas benar-benar sudah cukup mapan secara mandiri, kamu silakan resign, tapi saat ini saya khawatir Abbas belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga, nanti ujungnya dia minta mamanya. Namanya rumah tangga, May, ga semua mertua bisa anggap menantunya itu anak sendiri, ipar juga belum tentu anggap seperti saudara sendiri, apalagi kalau sampai mama mertua keluar uang dalam rumah tanggamu.", jelas Bu Bram dengan nada melembut.

Aku memahami kekhawatiran Bu Bram. 

Bu Bram ada benarnya juga, karena gaji Abbas bisa dibilang UMR saja, dan dia cukup tergila-gila dengan games. 

Jauh di lubuk hati, aku khawatir juga karena hampir seluruh pengeluaran Abbas lebih besar untuk games, dia belum paham istilah "menabung" dalam hidupnya, karena selama ini selalu di provide oleh keluarganya yang memiliki background pengusaha sukses.

***

Senin, 12 Desember 2022 Pukul 14.40

"Kamu bisa cuti tiga bulan, tapi kamu tidak bisa resign", kata Bu Bram yang masih menolak pengajuan resign-ku saat aku mengajukan resign karena sudah akan melahirkan anak kedua. 

Entah apa lagi alasan Bu Bram, tapi kalau alasannya finansial, kini Abbas sudah mandiri secara finansial. 

Ia bekerja di kantor yang bergengsi, dan memiliki gaji yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

"Tapi Bu, sekarang Abbas sudah mandiri secara finansial", bujukku. Aku benar-benar sudah bingung harus bilang apa supaya Bu Bram mengizinkanku resign.

Aku tidak mau lagi menjadi korban keberingasan Abbas. 

Aku khawatir dampak buat Fara, walau usianya terbilang masih sangat kecil untuk memahaminya.

"Tolong paham, Bu, saya sudah mulai lelah", tiba-tiba tangisanku pecah begitu saja. 

Astaga, aku tidak mau Bu Bram tahu. Dia pasti ngamuk kalau tahu aku jadi samsak Abbas.

Bu Bram langsung memelukku, dan menenangkanku.

"Kamu bahagia, Maya?", tanyanya ketika tangisku mereda. 

"Bahagia, Bu", kataku pelan, agak ragu dengan perkataanku sendiri.

"Kalau kamu bersikeras, baiklah. Ambil cuti dulu selama enam bulan, setelah itu kalau kamu tetap bersikeras keluar dari pekerjaan, saya akan acc". 

Perkataan Bu Bram benar-benar membuatku menangis sesunggukkan. 

Semoga ini menjadi awal yang indah buat aku dan Abbas. Keberingasan Abbas tidak lagi muncul.

Mungkin awal mula keberingasan Abbas karena kemarahannya tertahan aku masih memilih untuk tetap bekerja.

Ditambah lagi mungkin saat pandemi, aku menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan itu sangat melukai harga diri Abbas sebagai seorang laki-laki. 

Satu sisi aku sangat marah, mengapa dia malah menyalahkanku, toh keluarganya malah berterima kasih padaku karena penghasilanku bisa mencukupi semua kebutuhan hidup keluargaku dan keluarga Abbas, terutama di saat perusahaan keluarga Abbas terpuruk.

***

Jumat, 8 Agustus 2024 pukul 15.00 WIB

Bu Bram mengambil alih meeting tersebut, aku diizinkan untuk beristirahat dan tidak perlu ke kantor untuk sementara waktu.

Bu Bram yang aku sempat salahkan sebagai pihak penyebab keberingasan Abbas, ternyata orang paling tergopoh-gopoh saat mengetahui keadaanku.

"Tenangkan dirimu, kamu tidak perlu ke kantor dulu. Kalau kamu mau bercerai dengan lelaki sialan itu, kamu kasih tau saya saja, kita sewa pengacara, ga usah pikirkan biaya! Saya sudah tahu laki seperti itu ujungnya bagaimana, makanya saya ga pernah izinin kamu berhenti. Kemana nanti kamu berlindung! Belum tentu laki itu bakal izinin kamu hubungin saya".

Kata cerai seperti memberikan energi bagiku. Ocehan beruntun Bu Bram seperti menyadarkanku, bahwa selama ini beliau berusaha melindungiku.

Benar, aku selama ini selamat karena masih bekerja. Setidaknya aku belum mati, karena masih ada kontribusi finansial dalam rumah tangga.

Aku ingin segera lepas, aku tidak mau anak-anakku menjadi korban KDRT berikutnya. Tidak mau juga orang lain kena imbasnya.

***

Sepanjang perjalanan Kak Carissa dan Rika hanya diam saja, seperti memberikanku jeda untuk menenangkan diri. 

Pagi tadi benar-benar sesuatu yang diluar nalar, menurutku.

Abbas mengamuk karena dia tidak melihat kaus kakinya dekat sepatunya. 

Dia memukul, menendang dan menjedukkan samping kepalaku ke meja berulang kali.

Disaat setengah sadar, aku melihat Fara langsung berada ditengah kami berdua. 

Sepertinya Abbas kali ini benar-benar gelap mata, ia langsung melempar Fara. 

Disana, entah kekuatan dari mana, aku yang masih pusing, langsung bisa bangun dan menangkap Fara yang melambung begitu tinggi.

Aku dan Fara langsung tersungkur. Bersyukur, sofa ruang tamu "menangkap" tubuh kami.

Mba Nem, yang biasanya diam saja sambil memeluk anak-anakku, kali ini langsung menghadang  dan mendorong sekuat tenaga Abbas yang menghampiriku ke sofa.

"Keluar, Non, bawa anak-anak!". Mba Nem langsung menyodorkan Fania dengan cepat.

Tanpa pikir panjang, aku langsung membawa Fara dan Fania. Aku tidak mau anak-anakku menjadi bulan-bulanan kebuasan Abbas.

Ya, Tuhan, semoga Abbas segera sadar, lindungi, Mba Nem, Tuhan.

Anak-anakku menangis begitu kencang. 

Aku menggendong kedua anakku dan berlari sekencang mungkin yang kubisa, sebelum Abbas bisa mengejarku dan anak-anakku.

Pikiranku hanya tertuju untuk segera ke rumah Pak RT, yang berada diujung gang. 

Aku tidak mau ada korban nyawa, keberingasan Abbas kali ini benar-benar sudah seperti bukan manusia. 

Bersyukur Pak RT dan Bu RT sedang berada di teras rumah. Bersyukur juga lingkungan rumahku berbentuk cluster, sehingga mudah diakses.

"Pak, Bu, tolong..! Tolong suami saya seperti kerasukan! Tolong, takutnya Mba Nem ada apa-apa! Tolong, Pak, Bu!"

Bapak dan Bu RT segera berdiri.

"Pa, sekalian panggil security saja", teriak Bu RT, saat suaminya segera keluar rumah tanpa banyak tanya, "Mbanya, mari masuk..". 

Bu RT segera membawaku masuk ke rumah, dan memintaku untuk duduk di ruang tamu.

Anak-anak masih kudekap. 

Ya, Tuhan, aku takut sekali terjadi apa-apa pada kedua anakku.

Aku hampir mencelakakan Fara, dengan tetap mempertahankan rumah tangga karena berpikir Abbas adalah papa yang baik.

Maafkan mama, Fara.

"Mba Maya, anak-anak biarkan duduk dulu, ya, izinkan saya mengobati luka Mba Maya". 

"Saya gak apa-apa, Bu. Sungguh. Maaf, ya, Bu, jadi mengganggu", aku benar-benar masih berusaha menenangkan diri.

"Ini teh manis hangatnya, Mba Maya, diminum dulu supaya tenang." Bu RT menyodorkan gelas yang dibawa oleh asisten rumah tangganya.

"Terima kasih banyak, Bu, maaf ya, Bu mengganggu..", aku benar-benar merasa tidak enak menganggu aktivitas orang lain apalagi karena urusan rumah tanggaku.

Jahanam, Abbas!

"Engga, kok, Mba, tenang saja. Mba sudah melakukan hal yang benar. Anak-anak biar duduk dulu ya, Mba, biar Mba nya tenang juga", Bu RT melanjutkan ketika melihat gendonganku pada anak-anak semakin erat, "Sekalian saya bersihkan ya, luka-lukanya, darahnya banyak sekali, Mba. Anak-anak pasti takut melihatnya."

Aku benar-benar lupa sebelum Abbas melempar Fara, ia terlebih dahulu menerkamku. 

Aku biarkan Bu RT mengobati lukaku, dan asisten rumah tangga segera membawa anak-anakku ke belakang. 

Bersyukur sekali asisten rumah tangga Bu RT cepat tanggap, aku tidak mau anak-anakku berlama-lama melihat luka-lukaku.

***

Aku tetap mengikuti kelas spiritual awakening. 

Aku ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak ingin kedua anakku melihat diriku begitu kacau.

Beruntung aku memiliki RT yang begitu baik.

Abbas kini berada di kantor polisi, aku sama sekali tidak mau menemuinya dulu.

Mba Nem untung aman, walaupun ada beberapa lebam biru dipunggungnya. Aku benar-benar merasa bersalah padanya, ia ikut terseret dalam urusan rumah tanggaku.

Tidak mau merepotkan Bapak Ibu RT, aku segera menyewa hotel untuk tempat tinggal Mba Nem dan anak-anak sementara.

Bersyukur juga Mba Nem masih mau bersama kami, bahkan dia bersikeras untuk tidak jauh dari anak-anak, karena khawatir Abbas gelap mata lagi.

*

"Spiritual Awakening itu biasanya terjadi di usia menjelang 30 tahun. Usia 28 atau 29 tahun itu adalah gong kesadaran kita dengan adanya masalah hidup. Kemudian kalau ga mudeng, bisa terjadi di usia 35 tahun, dan usia kelipatan 5 tahun. Tapi biasanya usia 40 tahun itu menjadi aha momen manusia untuk mengalami spiritual awakening".

"Nah, biasanya diawali dari toxic parents. Ketika kita lari dari keluarga kita, dan tidak bisa menyelesaikannya, biasanya secara tidak langsung kita menarik pasangan yang persis seperti ayah atau ibu kita. Kenapa begitu? Karena PR hidup kita belum selesai...."

Penjelasan Puspa Widyawanti, yang menjadi pembicara dalam sesi Spiritual Awakening, mengingatkanku pada kedua orang tuaku

Ya, aku sudah lama meninggalkan kedua orang tua kandungku, terutama ibuku. Ia sepertinya perlu menyelesaikan dirinya sendiri tanpa anak-anak.

Kehadiran aku dan kedua adikku sepertinya didapat dari kedua orangtuaku tidak sadarkan diri.

Ayahku seorang penjudi dan pemabuk, sudah menjadi makanan kami sehari-hari dipukul olehnya. Apalagi kalau ibuku tidak memberikan uang padanya, wahh, jangan diharap kami bisa hidup dengan tentram.

Pastinya aku sangat durhaka, ketika aku SMP, begitu senang mengetahui ayahku meninggal, karena terpeleset di kamar mandi saat mabuk.

Kukira hidup kami sekeluarga akan lebih damai. Apalagi tiga tahun setelahnya, ibuku menikahi seorang pria yang sangat baik, dan menganggap aku dan kedua adikku seperti anak sendiri.

***

"Gapapa, tenang aja, om lagi nunjukkin rasa sayang ke kamu".

"Jangan Om! Kak, tolongg!"

Aku yang sedang tidur langsung terbangun, terbelalak melihat pemandangan yang mengerikan.

Orang yang aku kira menjadi sosok papa yang baik, pada saat itu sedang menindih tubuh adikku yang pertama.

"Mamaaaa!!!" teriakku kencang-kencang.

"Diam.. atau nanti kubunuh kalian semua!" ancam pria bertubuh gempal tersebut, tubuh yang kukira berkarakter kebapakan.

Ia mulai berusaha bangun dengan sempoyongan, sepertinya ingin menangkapku. Ketika ia berdiri dengan tegak, aku segera berseru pada kedua adikku.

"Lari, Mulan! Mia!", sambil mengambil benda keras apapun yang berada disampingku. "Mamaaa!!", aku teriak lagi, mencoba memanggil ibuku, supaya segera menolongku dan lelaki itu mendekatiku dengan matanya yang merah.

Benar, bola mata merah Abbas mirip sekali dengan ayah tiriku.

Tindakan abusivenya sangat mirip dengan ayah kandungku.

Aku masih beruntung memiliki ibu yang masih memilih anak-anaknya ketimbang pasangannya. Hanya saja aku sangat menentang keinginannya untuk kembali berpasangan, setahun setelah perceraian dengan pria cabul itu.

Aku memilih merantau akhirnya, tepat setelah lulus SMA. 

Diperantauan itulah, aku melamar kerja, dan di tempat pekerjaan pertama, aku bertemu dengan Bu Bram. Akhirnya aku ditarik bekerja dengannya.

Satu tahun bekerja dengan beliau, aku ditawari untuk melanjutkan pendidikan kuliah, gajiku pun lumayan bagus, sehingga aku bisa menabung dan memboyong kedua adikku.

Bu Bram juga lah yang akhirnya membiayai pendidikan adik-adikku hingga tamat SMA, kemudian beliau menghormati keinginan kedua adikku untuk tinggal di negara lain, sembari membantu Bu Bram membuka koneksi dengan perusahaan luar negeri, sebagai tanda balas jasa yang tidak bisa kami balas dengan apapun.

Biarlah ibu bersenang-senang dengan pasangannya, aku tidak mau lagi aku dan adik-adikku menjadi samsak pasangan ibuku. 

***

Usai kelas, Kak Carissa memintaku untuk menunggu sebentar, ia ingin berdiskusi sebentar dengan Kak Puspa, yang menjadi pembicara kelas itu.

Rika sudah pulang, karena ia harus mengirimkan pesanan usaha online-nya. Benar-benar wanita yang produktif, aku salut sekali padanya.

"Maya, kenalin ini Kak Puspa", Kak Carissa memperkenalkanku dengan pembicara yang berwajah teduh ini. Tatapan matanya yang menenangkan membuatku merasa dunia akan baik-baik saja, hanya perlu sabar saja.

"Maya, kita ngobrol yuk sama Kak Puspa", Kak Carissa melanjutkan. Rasanya aku sudah lelah, tidak mampu lagi banyak ngobrol basa-basi. 

"Ia bisa bantu permasalahanmu dengan lebih clear", lanjutan kalimat Kak Clarissa memberiku tenaga lagi, ya siapa tahu aku bisa melihat masalahku dengan lebih jelas, cerai atau tidak.

"Kita lanjut ke kantor saya saja, bagaimana, Kak, supaya lebih private?" tanya Kak Clarissa pada Kak Puspa supaya aku bisa berbicara dengan lebih nyaman.

"Boleh, silakan. Pas sekali hari ini jadwal saya sedang kosong", kata Kak Puspa dengan senyuman yang menenangkan, entah mengapa aku lebih yakin ia telah membatalkan jadwal lainnya.

Apa aku merepotkan orang lain lagi? Mengapa aku selalu merepotkan orang lain dengan masalahku.

Bahasa tubuh Kak Carissa seperti mencegahku untuk menolaknya. Aku hanya bisa menghela napas.

Gapapa Maya, siapa tahu ini akan menjadi solusi, sehingga tidak perlu merepotkan orang lain lagi nantinya.

*

"Yuk, Mba Maya duduk dengan tenang, ambil posisi senyaman mungkin", Kak Puspa memberikan instruksi di ruang kantor Kak Carissa. 

Di ruangan itu Kak Puspa menyetelkan lagu untuk meditasi, sangat menenangkan, judulnya "Deep Theta Healing". 

Kak Puspa, wanita yang sangat menyenangkan dan berwawasan. 

Sepanjang perjalanan, ia terus bercerita, entah mengapa perasaanku menjadi lebih ringan mendengar seluruh pembicaraannya dengan Kak Carissa, aku hanya sekali-sekali nimbrung, dan sepertinya ia tidak masalah kalau aku tidak terlalu banyak menyahut.

Saat di ruang kantor, barulah Kak Puspa duduk dan mulai bertanya permasalahanku. 

Terbawa dengan sikapnya yang welcome dan menenangkan, aku pun membuka diri dengan menceritakan seluruh kisah rumah tanggaku.

"Tarik napas pelan-pelan, buang napas dari mulut. Lagi....", dan itu dilakukan berulang-ulang hingga aku merasa agak melayang.

"Hadirkan Abbas...", suara Kak Puspa menembus ranah theta-ku, Apa yang muncul, Maya?",

"Rika", jawabku agak terheran.

"Siapa itu Rika?", Kak Puspa menggali lebih dalam.

"Teman saya di kantor"

"Tanyakan, mengapa kamu yang muncul?", Kak Puspa memanduku, dan aku menanyakannya dalam hati.

Aku tidak mendapatkan jawaban, kemudian Abbas muncul. Ia sedang berdiri, namun ada Rika yang tiba-tiba tubuhnya membesar menggelayuti Abbas. Dan penampakan ini sangat menakutkan.

"Kak, Rika tidak menjawab, tapi dia menggelayuti tubuh Abbas dengan begitu besar. Saya takut, Kak". 

"Tahan, tanya ke Rika, mengapa dia menggelayuti Abbas?"

Rika hanya tertawa, dan itu sangat menakutkan. Dia menutup mata Abbas, tapi Abbas malah meninju kesana kemari, menjadi buas karena ketakutan. Abbas memukul apa saja yang ada didepan matanya.

"Kak, saya takut, Kak", aku benar-benar bergidik ngeri dengan apa yang aku lihat ini.

"Sabar, lihat ada pintu yang terbuka dari atas, diikuti dengan masuknya sinar cahaya putih. Rasakan cahaya tersebut menyinarimu dari atas kepala, sinar putihnya begitu besar. Sinari Abbas yang ditutup matanya oleh Rika, sinari yang banyak, terus sinari. Kemudian, tanyakan ke Rika, mau ke atas atau ke bawah?"

Aku tidak memahami maksud Kak Puspa, tapi aku mengikuti instruksinya.

"Ga akan kemana-mana sampai kamu benar-benar jatuh", tiba-tiba ucapan itu mengalir begitu saja dari mulutku.

"Wah, bahaya ini orang", kata Kak Puspa, yang kemudian dalam theta-ku, aku merasa ada energi lebih.

"Rika ditarik ke bawah, Mba Maya", kali ini nada instruksi Kak Puspa sangat tegas.

"Terus tarik ke bawah, sekuat tenaga. Bayangkan ada tali yang membantumu, tarik sekencang mungkin". Aku mengikuti seluruh instruksinya, dan tenagaku seperti mau habis menarik Rika ke bawah. 

"Bayangkan ada pintu dibawah, masukkan Rika ke bawah, Mba Maya".

"Kak Puspa, berat sekali, saya ga kuat", dalam theta-ku sulit sekali menarik Rika ke bawah. Abbas ikut terseret ke bawah, aku benar-benar tidak tega melihat Abbas ikut tertarik ke bawah bersama Rika.

"Saya bantu, Mba Maya. Terus tarik ke bawah, Mba, tarik terus, dan langsung tutup pintu dibawah kalau sudah ke bawah".

Aku menarik Rika terus ke bawah. Dia tertawa terbahak-bahak, kemudian ada energi lebih yang membuat dia terjembap, tertarik ke bawah sendirian sambil berteriak melolong, terdengar menakutkan, sekaligus memilukan.

"Kak... Abbas nangis, Kak", kulihat Abbas menangis sesunggukkan. Tapi tidak paham apa yang dia tangisi.

"Mba Maya, kasihan dengan Abbas?", tanya Kak Puspa.

"Iya, Kak. Yang nonjok itu bukan dia, dia sedang membela dirinya", rasa benciku tiba-tiba sirna saat melihat Abbas menangis sesunggukkan.

"Tanyakan pada Abbas, Mba Maya, mengapa menangis?", Kak Puspa sepertinya ingin menggali lebih dalam. 

Aku rasa aku tidak mau bertanya lagi, sepertinya Abbas menyesali perbuatannya karena sudah melukai keluarga kecilnya. Tapi, aku penasaran juga, maka aku mengikuti instruksi Kak Puspa.

"Mengapa kamu selalu membuatku hancur?! Kenapa kamu pisahin aku sama Rika?", disitu Abbas melolong, jawaban yang tidak aku sangka-sangka. 

Tidak ini aku pasti mengkhayal. Abbas, Rika? Tidak mungkin, ini pasti khayalan.

"Kumpulkan jiwa-jiwa. Kembali ke alam sadar", suara Kak Puspa seperti menarikku ke alam sadar. "Buka mata pelan-pelan ketika sudah hadir kembali ke sini".

Aku pun membuka mataku perlahan-lahan. Kurasakan pipiku begitu basah, aku pasti menangis deras tadi.

Pikiranku masih terngiang, Abbas, Rika?

"Kak Puspa, ada apa sebenarnya?", aku menanyakan kembali, aku sama sekali tidak memahami apa yang kulihat tadi.

"Mba Maya, mungkin bisa cari tahu sendiri, tapi ini sudah ada panduannya. Rika, teman kantornya Mba Maya, benci sama Mba Maya. Dia mengguna-guna Abbas, suami Mba Maya. Jadinya, karakternya Abbas gampang berubah, walaupun ga ada trigger-nya dari Mba Maya. Itu tergantung dari kapan Rika menutup matanya. Dan, sepertinya Abbas pernah punya hubungan sama Rika, dan dia belum sepenuhnya terima hubungannya sudah putus atau bisa jadi ga bisa bersama. Bisa jadi Mba Maya pelariannya dia, tapi dia ga sadar itu", jelas Kak Puspa.

"Tapi Abbas dan Rika belum pernah ketemu, Kak", aku masih mencerna apa yang aku lihat dan penjelasan Kak Puspa.

"Coba diselidiki dulu saja, May", tiba-tiba Kak Carissa, yang juga berada diruangan itu berbicara. "Kita coba kemungkinan itu, kalau ternyata tidak benar, ya sudah,  proses saja perceraiannya, supaya ga menimbulkan bahaya buat anak-anak".

Apakah benar perceraian menjadi jawaban?

***

Minggu, 1 September 2024

Hari ini aku mengajak kedua anakku dan Mba Nem pergi jalan-jalan. Berempat saja. Tanpa Abbas. 

Abbas sudah kembali ke rumah orang tuanya. 

Kedua orang tua dan kakak-kakak Abbas sangat syok mengetahui Abbas sering bertindak abusive padaku.

Bersyukur mereka tidak menyalahkanku, bahkan membawa Abbas ke psikiater. Mereka tidak mengizinkan Abbas bertemu denganku dan anak-anak, sampai Abbas benar-benar pulih. 

Namun mereka keberatan kalau aku cerai dengan Abbas. Mereka memintaku untuk memberi waktu buat Abbas memperbaiki diri, karena Abbas yang mereka kenal tidak pernah abusive.

Aku belum bisa memutuskan. 

Tapi sementara ini aku ingin berpisah dulu dengannya. 

Aku juga tidak lagi bertemu dengan Kak Carissa dan Kak Puspa. Bahaya kalau mengikuti ajaran khayalan seperti itu. Sangat tidak masuk akal Rika membenciku, dan lebih tidak masuk akal lagi Abbas dan Rika pernah menjalin hubungan.

Aku tidak pernah mengetahui siapa pacar Rika, tapi aku tahu deretan mantan pacar Abbas, bahkan saat Rika datang ke pernikahanku, ia dan Abbas seperti tidak pernah berkenalan.

*

"Mayaa..!", Rika memanggilku dengan ceria. 

Wah, kebetulan sekali bertemu di taman hiburan ini.

"Hai, Rika, sama siapa?", tanyaku, senang berjumpa dengannya. Ah, melihat wajahnya yang begitu baik padaku dan matanya selalu berbinar melihatku, sangat tidak mungkin ia membenciku.

Abbas, Rika, lebih tidak mungkin lagi.

"Sendirian. Lagi pengen jalan-jalan aja", jawaban Rika, membuatku menaikkan alis. Sendirian? Ke taman hiburan anak-anak?

Tiba-tiba seorang wanita yang membawa putranya, menghampiri Rika. 

"Rikaaa!! Bener lu, Rika?", wanita tersebut seperti sangat riang bertemu dengan Rika. Sepertinya Rika memang populer dari lahir. 

"Ciaa.. lama banget ga ketemuuu!!!" Rika dan wanita yang dipanggil Cia itu berpelukan, sambil sedikit meloncat kegirangan, tanda rindu yang amat sangat. Ah, ikut bergembira melihat pemandangan ini. 

Disini aku merasa tidak salah memilih teman. Kesalahanku adalah dalam memilih suami, dan psikolog.

"Lu gimana kabar sekarang? Udah married kan sama Abbas? Sekarang anak lu berapa, Rika???", pertanyaan Cia tiba-tiba membuatku seperti tersambar petir.

Married sama Abbas. Rika..  Abbas. Rika.

"Apaan sih lu, Cia? Aneh-aneh aja lu, ga lahhh", Rika terlihat begitu salah tingkah. Sedangkan aku masih berusaha mencerna pertanyaan Cia.

"Eh, iya kan, waktu itu lu cerita mau kawin lari sama Abbas, cuman abis itu lu ngilang, gimana sekarang?", Cia masih bertanya dengan begitu cerianya.

Bagus.... bagus, sangat bagus.

Rika tersenyum pada Cia, sembari menatapku. Aku masih menyunggingkan senyum, namun tiba-tiba aku merasakan kebencian yang amat sangat.

Penipu! Pantas selama ini dia sangat memperhatikanku dengan sangat detail. Bahkan bisa tahu ada KDRT. Haha... gila.. benar-benar gila...

***

"Benar dulu Abbas pernah mau menikahi wanita, namanya Rika", penjelasan yang langsung muncul keluar dari mulut kakak sulung Abbas, Abhimanyu. Perbedaan usianya terpaut sepuluh tahun lebih.

"Tapi ga mungkin kami setuju, satu, usia Abbas waktu itu masih SMA, kedua Rika demen banget ke dukun. Kami curiga Abbas tergila-gila sama Rika karena dipelet."

Keluarga Abbas berisi orang-orang logis yang sepertinya tidak pernah percaya dengan dunia mistis seperti ini. Tapi kalau mereka sampai percaya, pasti ada buktinya.

"Buktinya apa, Mas, Rika ini senang ke dukun?", tanyaku.

"Kami menyelidikinya, karena berulang kali Abbas sampai kabur dari rumah. Bahkan berani mencuri uang kami demi menghidupi Rika. Gila kali sebandel-bandelnya anak SMA, pasti tidak ada yang seperti itu", Mas Abhimanyu mengambil sebuah foto yang ditaruhnya dalam laci meja kerja paling bawah, kemudian menunjukan padaku, "ini foto mereka berdua dulu, baru kemarin saat beberes ketemu, heran saya mengapa dari dulu ga dibuang".

Foto Abbas yang tertawa begitu sumringah dengan Rika yang tersenyum dengan manis sangat menohokku.

Ternyata benar apa yang aku lihat saat sesi konseling dengan Kak Puspa.

Abbas. Rika. Guna-guna.

Lantas mengapa Rika berteman denganku? Ingin lebih dekat dengan Abbas? Ingin mendapatkan informasi tentang Abbas, supaya Abbas segera meninggalkanku?

Aku benar-benar tidak mau bertanya-tanya lagi. 

Informasi ini sudah cukup, aku akan melepaskan Abbas. Kalau Abbas mau kembali dengan Rika, silakan. 

Aku akan pergi sejauh mungkin dari mereka, membawa kedua anakku.

Tidak, Abbas tidak boleh lagi menyentuh kedua anakku.

*

Jumat, 6 September 2024

"Kak Puspa, terima kasih banyak untuk sesi waktu itu", aku segera menghampiri Kak Puspa seusai kelasnya.

Aku benar-benar merasa bersalah karena meragukan sesi konseling Kak Puspa dan Kak Carissa.

"Hai, gimana kabarnya, Mba Maya?", ternyata Kak Puspa masih ingat padaku. Kukira Kak Puspa sudah lupa atau bisa jadi tidak suka padaku, karena aku langsung tidak pernah lagi muncul dihadapannya.

"Baik, Kak. Terima kasih banyak untuk sesinya. Apa yang saya lihat ternyata benar", suaraku makin melemah karena malu sekali pada Kak Puspa.

"Syukurlah, penting buat kita belajar memaafkan, anggap ini sebagai proses pendewasaan. Memang begitulah jalan Tuhan biar kita lebih dekat, mesti dihantam dulu." suara Kak Puspa begitu renyah, dan sangat damai ketika mengucapkan kata "memaafkan".

Bagaimana caranya? Dia sudah membuatku menderita.

"Kak, bagaimana cara memaafkannya?", aku benar-benar buntu untuk menyadari bagaimana cara memaafkan orang yang bertindak abusive padaku, dan hampir mencelakakan nyawa anakku.

"Tanya pada dirimu, kira-kira apa yang selama ini belum kamu maafkan, tulis sakit hatimu pada kedua orang tuamu dan suamimu, bisa juga dengan bos, dan sahabat, mungkin. Kemudian tarik garis lurusnya, disitu bisa terlihat, apa yang sebenarnya Tuhan mau kamu pelajari dari masalah hidupmu. Jadi nanti, istilahnya, kamu tidak menurunkan luka pada anak-anakmu" jelas Kak Puspa dengan penuh kesabaran.

Sakit hati.. perlukah ditulis, dipelajari, disadari? Bukankah ini ujian dari Tuhan yang harus segera dilupakan?

"Kak, saya boleh ikut sesi lagi? Saya ga paham bagaimana menarik garis lurusnya?", aku perlu belajar, aku tidak mau menarik hal yang sama lagi ke dalam hidupku. 

Cukup sudah aku menjadi samsak laki-laki, aku tidak mau anak-anakku mengalami hal yang sama. Aku ingin memutus tali kekerasan ini.

**cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita. Itu adalah kebetulan semata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun