"Sori ya, Rika...", kalimat yang hanya bisa aku keluarkan ketika seluruh tangisan tercurah keluar semua.
"Gapapa.. gue seneng lu akhirnya bisa mengekspresikan diri. Boleh tahu dari kapan, May?", sahut Rika.Â
Aku tertegun mendengar pertanyaannya.Â
Apa dia tahu aku mengalami KDRT? Bagaimana dia tahu? Apa segitu hebatnya koneksi batin kita, tanpa komunikasi dia bisa tahu semua yang aku alami?
"Gue perhatiin di lengan lu suka ada biru-biru, May. Belum lagi kadang punggung lu kalo ga sengaja disentuh, pasti muka lu kayak mengerenyit kesakitan. Dan, ya ekspresi lu kayak tadi, ketakutan", jelas Rika.Â
Aku mencerna jawabannya, sebegitu gampangkah aku terlihat, atau dia saja yang terlalu jeli dalam memperhatikanku. Dan Abbas cukup pintar dalam menyiksaku, ia tidak pernah melukai bagian tubuhku yang gampang terlihat, terutama wajahku.
"Bu Bram yang awalnya perhatiin, May. Karena tau kita berdua deket, dia minta gue untuk selalu perhatiin elu.", Rika lanjut menjelaskan, seketika aku merasa seterang siang, karena dia selalu bisa menebak isi pikiranku.
Ah.. Bu Bram, atasan yang kebaikannya melebihi orangtuaku sendiri.
***
Jumat, 12 Juli 2019Â
"Saya ga akan terima kalau keluar dari sini! Kalau kamu mau kerja dari rumah, atau datang seminggu dua atau tiga kali, terserah! Yang penting, saya ga mau kamu resign!", keputusan Bu Bram, atasanku, tidak bisa diganggu gugat.Â