Bu Bram sudah seperti orang tuaku sendiri. Beliau lah yang membiayai seluruh pendidikan kuliahku dan memberikan dukungan penuh untuk semua hal yang berhubungan dengan pertumbuhan akademisku.
Dukungannya tidak hanya dibidang akademis, tapi juga karierku. Belum lagi kebaikannya pada kedua adikku.
Tentu aku tidak bisa mendebat keputusannya, aku berutang budi padanya.
Namun aku berat sekali menerima keputusan Bu Bram, karena aku dan Abbas sudah sepakat kalau aku cukup menjadi ibu rumah tangga saja.
"Tapi, Bu, kami sudah sepakat...", aku masih berusaha bernego dengannya.
"Ngobrol lagi sama Abbas, Maya. Saya ga mau kamu resign dari sini, enak dia bilang begitu, memang dia bisa benar-benar hidupin keluarga. Segala keputusan saja masih atas acc mama dan kakak sulungnya. Inget, Maya, kamu harus paham hidup itu butuh uang, bukan makan cinta. Saya udah pengalaman berkeluarga, jangan terbuai dengan kata hayuk susah bareng. Ga gitu konsep nemenin dari nol", oceh Bu Bram.Â
"Tapi, Bu, kami sudah sepakat. Paling nanti saya akan usaha dari rumah, sekarang kan udah banyak yang seperti itu", aku masih berusaha membujuknya.
Bu Bram langsung menatapku dengan tajam, sembari menarik napas, tanda menahan amarah.
"Jangan bodoh jadi perempuan, Maya. Ya sudah, kalau kamu mau bekerja dari rumah, silakan. Tapi engga ada resign, ya.", Bu Bram berkata seolah-olah memberikan solusi.
"Saya ga enak lho, Bu, sama teman-teman, nanti mereka bilang apa?", kataku yang memang merasa tidak enak hati pada teman-teman kerjaku diperlakukan berbeda dengan yang lain.
"Ini perusahaan saya, dan saya yang memberi wewenang kamu bekerja dari rumah", kata Bu Bram keras.