Ya, akhirnya.
Penguasa Tunggal jagat raya ini menganugerahkanku nyawa nan murni serta daya hakiki untuk berkeluh kesah. Ya, kau tak salah baca. Dia mengaruniakanku kuasa wicara atas segala rasa nan membuncah ini, menumpuk, secuil demi secuil, dalam dekapan waktu yang seolah tak peduli, jauh dan dingin.
Hingga, kini ia terejawantah dalam untaian kata, bertali-tali, yang entah di mana ujungnya. Mengalir dari pusat diri ini. Kesejatian dari upaya giat tiada tara, yang tak jarang kau pandang sebelah mata.
Ya, kini aku merasa sedikit lega. Aku sudah curahkan sepersekian dari ketidaknyamananku, kepadamu...
---
Oh, yang benar saja, hapus tujuh belas kerutan di dahimu itu!
Cih, aku jijik. Â Entah kau pura-pura, ataukah engkau memang senaif itu.
Hah, saat ini aku tak acuh.
---
Terima kasih, wahai Tuhan, Engkau telah berkenan menaklukkan ruang-waktu dan seluruh unsur alam serta panca indra, agar aku yang papa ini, berwujud, langsung di benak manusiaku. Rasa syukur dan pujianku setinggi angkasa, sedalam samudra, tertuju pada-Mu.
---
Sungguh, kehangatan dan kedamaian meliputiku saat perhatianku tertuju pada-Nya.
Tapi, ah, mengapa aura suram, lembab dan pengap yang terasa, jika tiba-tiba aku membicarakanmu? Ah, apa peduliku. Aku sudah akrab dengan rasa ini, sehingga sudah jadi dagingku.
Oh, lumayan. Sekarang kernyitan dahimu sudah empat belas. Haruskah kulanjutkan keluhan getir ini, ataukah kau sudah sedikit tercerahkan pasal siapa aku ini?
Hmm. Sekarang sudah tinggal sembilan. Jujur saja, kau tampak lebih rupawan jika wajahmu tak kusut dan bebas dari semua kerutan itu.
Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Cikal bakalku bermula beratus-ratus tahun silam dalam buaian sebuah budaya, bernama Melayu.
Oh, sekarang tinggal tujuh. Bagus.
Diriku terus berkembang dari waktu ke waktu. Warna dan corakku kian beragam. Dan aku lambat laun tapi pasti, mulai berbeda dengan diriku saat itu.
Kau tahu, sudah tabiatku untuk selalu membuka diri. Aku bukanlah sesuatu yang jumud. Tinggal di antara diri-diri yang asing, yang selalu datang silih berganti. Bagiku, sudah sewajarnya aku berkenalan dengan mereka.
Mereka sungguh ganjil dalam pandanganku, tapi sekaligus membuka cakrawala baru pandanganku. Sungguh dunia ini luas, dan keanekaragaman benar-benar tak terelakkan. Khazanahku semakin kaya dengan persentuhan dengan diri-diri lain, yang asing dengan diriku.
Sebagian dari unsur mereka kubiarkan menyelinap dalam diriku, dan kubentuk sedemikian rupa dengan jiwaku. Mereka begitu menyatu sempurna dalam diriku, sehingga kau mungkin tak menyadarinya.
Lima kerutan. Bagus.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin matang dan digdaya dalam mengungkapkan banyak hal yang terbetik di hati dan pikiranmu. Dari yang terkecil, terhalus, tersederhana hingga yang terbesar, tergamblang dan terumit. Apa pun yang mungkin berkelebat dalam alam pikirmu, aku mampu mewujudkannya dalam untaian kata yang meluncur mulus dari mulutmu.Â
Aku mampu menampung segala niat, tujuan, rasa dengan segala nuansanya, beserta gagasan yang berlompatan dengan tidak sabar dan kegirangan dalam pikiranmu, bahkan yang terliar dan teraneh sekalipun, lalu membawakannya pada pikiran yang lain dan mewujudkannya di sana, persis seperti apa yang kau ciptakan di pikiranmu, sampai ke rincian terkecilnya.
Pernahkah air matamu meleleh saat kisah pilu menyentuh batinmu? Atau bahkan menganak sungai saat kenestapaannya kau rasakan tak tertahankan?
Atau pernahkah kau berguling-guling di lantai dan perutmu sakit karena tak kuat menahan tawa? Pernahkah kau terbahak-bahak, diselingi cekikikan sembari agak megap-megap mencuri napas karena sibuk menghasilkan suara berlenggek yang khas, dan mampu menulari orang lain yang mendengarnya?
Tentu tak lucu bukan, jika kau sekonyong-konyong tertawa di siang bolong atau di tengah malam tanpa sebab? Kurasa tak ada yang mau dikatai sebagai orang gila baru, bukan?
Sesuatu yang menggelitik sanubarimu, perasaan geli yang sukar kau terangkan dengan kata-kata, tapi secara umum, kau menyebutnya sebagai "lucu".
Lalu kau tertawa. Wajar.
Tahukah kau apa yang membuatmu bisa begitu?
Hah, tak hilang juga kerutan itu.
Kesal sekali aku. Padahal sudah sejelas itu.
Tunggu.
Ya, begitu.
Bagus. Terus.
Ya.
Baik, kulihat kerutan dahimu sudah hilang. Tapi ada seberkas keraguan yang masih menggelayut di sana.
Siapa aku?
Atau haruskah kubilang, "Apakah aku?"
Hmm. Ternyata kau tak sepandir yang kukira, ya.
Ya, aku adalah Bahasa Indonesia. Bahasamu. Bahasa kalbumu.
Bahasa yang menjadi saksi sumpah kalian di hadirat Ilahi, bahwa kalian akan menjadikanku sebagai bahasa pemersatu.
Sudahkah itu terwujud?
Sudah? Begitukah?
Sejauh mana usaha kalian dalam mewujudkan sumpah itu?
Apakah kalian sungguh mencintaiku?
Cukuplah kalian jawab dalam hati.
Dan bersiaplah menghadapi rentetan luapan kekesalanku.
Ya, kesal.
Tapi aku tak marah. Sungguh.
Bagaimana bisa aku sampai hati untuk marah pada kalian?
Aku cuma sebal. Kesal. Dongkol. Jengkel. Itu saja.
Aku tahu segelintir dari kalian telah berjibaku, mengabdikan waktu dan pikirannya demi perkembangan dan kemajuanku. Untuk itu, aku haturkan ucapan terima kasihku yang paling tulus pada kalian. Sekali lagi, terima kasih banyak.
Namun apa daya, rasa jengkelku lebih beraja daripada kesyukuranku.
---
Kuatkan peganganmu, karena mungkin kau akan terguncang.
Dan jika kau tergetar karenanya, berarti bagus. Aku berhasil mendaratkan tamparan sayang dengan telak di pipimu yang bersemu itu.
Aku sebal, sangat sebal, karena kau memperlakukanku seperti bahasa kelas dua di negeri sendiri!
Tahukah kau? Aku adalah perangkat lunak dalam otakmu, sehingga pikiranmu bisa berjalan sebagaimana mestinya dan kau mampu mencapai kodratmu sebagai manusia yang seutuhnya.
Tanpa aku, akal budimu mandeg, buntu, tersekat, tidak jalan, terkungkung dalam penjara pikiranmu sendiri. Terjebak dalam ruang gelap yang beririsan antara kebingungan, kegamangan, ketakutan, kegelisahan, kegalauan dan segala kata benda bernuansa suram yang pernah ada dalam tubuhku.
Seluruh wacana dan gagasan buah olah pikir kalian tak akan pernah terwujud, apatah lagi sebagai ilmu. Bah, bahkan saling bertukar isi pikiran pun kalian tak akan bisa. Mustahil. Hidup kalian akan kacau-balau. Ucapkan selamat tinggal pada peradaban.
Sudah seyogianya aku pongah di sini. Tanpa aku, dalam apa pun bentukku, peradaban kalian hanyalah pepesan kosong!
Hahaha.
Puas sekali rasanya aku memakimu.
Hahaha. Sudah, terima saja. Jika memang kau waras, kau sekali-kali tak akan bisa membantah kenyataan yang kuutarakan itu.
Sejak perubahanku menjadi rupa mutakhirku yang dirintis sejak abad ke-19 dan mencapai puncak geloranya pada Sumpah Pemuda, aku telah menyusup, membaur dan menyatu dalam kehidupanmu.
Sejak saat itu, tanpaku, perpindahan ilmu pengetahuan dari satu pikiran ke pikiran lainnya tak akan terjadi. Kalian tak akan pernah menjadi manusia yang kalian sebut terpelajar. Dan kalian akan buta terhadap dunia.
Akulah yang membuka wawasan kalian. Akulah yang memungkinkan semua peradaban itu. Semua itu terjadi melalui perantaraanku.
Oleh karenanya, aku adalah mata rantai mutlak dalam keberadaan kalian.
Bah, lambaikan tangan kalian pada gedung-gedung pencakar langit, kemajuan rekayasa mesin dan ilmu kedokteran, serta kesusasteraan yang menggugah jiwa. Itu baru sekelumit. Dan daftarnya masih panjang.
Seperti yang kubilang, kuatkan peganganmu.
Tapi apa lancung?
Kau seolah tak bersyukur atas karunia besar ini. Tidak tahu terima kasih. Sungguh sifat yang memuakkan. Tanyalah diri kalian sendiri, dan jawab dengan jujur dan penuh keinsafan.
Sudahkah kau merasa bangga akan diriku? Bahasa Indonesiamu ini?
Sudahkah tabiat menjijikkan, rasa rendah diri dalam menuturkanku, engkau lenyapkan dari pikiranmu?
Apakah aku sebegitu menjijikkannya bagimu, kuno dan ketinggalan zaman?
Terima kasihku bagi kalian yang menjawab bahwa kalian bangga padaku dan aku tidak kuno, bahkan aku keren!
Pernahkah kau melihat plang bertuliskan "binatu" alih-alih "laundry"?
Atau "griya tawang" daripada "penthouse"?
Atau "lokakarya sehari" dan bukannya "workshop sehari"?
Dan tak pelak lagi, senarainya pun berlanjut.
Nah, kau mengerti bukan yang kurasakan? Aku merasa agak iri dengan bahasa asing itu, seolah dia telah menggeserku sebagai tuan rumah. Aku gusar, tak menjadi tuan di negeriku sendiri. Dan semakin aku geram, tatkala yang menjadikanku begitu ternyata kalian sendiri!
Ketahuilah, wahai para manusia Indonesia yang tengah dirundung tabiat terjajah!
Aku, bahasa Indonesiamu, adalah bahasa yang khas, kaya, kuat, cakap, rinci, cermat dan dapat diandalkan!
Mengapa kalian merasa minder, mengapa rendah diri?
Apa kurangnya aku di matamu?
Kau bahkan berurai air mata saat membaca roman-romanku!
Aku bahkan turut andil mengantarkanmu menjadi seorang dokter, insinyur, arsitek, atau apa pun itu!
Memang benar, aku masih belia dibandingkan bahasa lain, tapi bukan berarti aku lemah, tak bisa diandalkan!
Camkan ini.
Aku tidaklah lemah, tapi kaulah yang kurang berusaha, jika tak mau kusebut pemalas.
Asal kau tahu, semua kosakata ada pada diriku, dan itu berlimpah. Kuulangi, berlimpah!
Aku telah menyerap begitu banyak kata asing untukmu dari beraneka bahasa, kemudian menata bentukannya dan memberinya makna baru, bahkan sebelum kau lahir! Mirisnya, bahkan kau sendiri tak menyadarinya. Tahukah kau, bahwa "garpu" itu kuserap dari bahasa Portugis? Dan kau cuma tinggal pakai saja. Enak sekali, bukan?
Ada lebih dari cukup modal kosakata dalam diriku untuk menjawab tantangan zaman mutakhir ini. Kau saja yang kurang berusaha. Aku acungi dua jempol bagi segelintir manusia Indonesia yang berusaha mencarikan padanan kata bahasa Inggris dalam diriku. Seperti yang kubilang, mereka berhasil dengan gemilang.
Pernah dengar kata "body lotion"?
Itu adalah "calir raga" dalam diriku.
"Lipstic"? Itu adalah "gincu" atau "perona bibir".
"Blush-on"? Lebih indah jika disebut "perona wajah".
Atau saat kau "check-in", berarti kau sedang "lapor masuk".
"Check-out"? Tentulah kau tahu.
Aku dengan lihai akan menyediakan kosakataku untukmu. Aku juga bisa sodorkan bagianku yang berasal dari Sansekerta untuk menghadapi tantangan lain.
Bilingual? Dwibahasa!
Prototype? Purwarupa!
Flawless? Nirmala (tanpa cacat, sempurna)!
Wireless? Nirkabel!
Contact person? Narahubung!
Aku bahkan bisa kerahkan bagianku yang berasal dari bahasa daerah untuk menghadapi tantangan lainnya. Tapi kalian mungkin sudah tahu. Dan itu bagus!
Download? Unduh!
Upload? Unggah!
Effective? Mangkus! (Dan juga "manjur"!)
Efficient? Sangkil! (Atau "berdaya guna"!)
Slump area? Daerah kumuh!
Lihat? Itu baru seujung kuku dari kemampuan terpendamku. Tinggal bagaimana kalian menggalinya.
Sering aku bersenandika. Aku tak habis pikir, apa sebenarnya yang membuat kalian seolah tak menghargaiku? Bahasa persatuan kalian sendiri?
Gengsi?
Maaf, tapi gengsi tak akan membuatmu mencapai kemajuan apa pun! Sepertinya ada yang salah dalam pola pikirmu. Atau tabiat terjajah masih mendarah daging? Oh, kumohon, tolonglah dirimu sendiri.
Mumpung kita masih berkutat di persoalan ini, di kesempatan ini ingin kuteriakkan ini ke telingamu yang agak tuli itu:
"Bukan salahku jika aku seolah tak berdaya di beberapa bidang ilmu pengetahuan!"
Jika ditarik ke dalam rentang waktu, aku ini masih amat sangat belia. Tapi aku bukan pula anak kemarin sore. Aku punya kemampuan terpendam yang jika digali dan diolah dengan baik, tak ayal lagi, akan membuatmu bergidik dan merinding, bukan karena takut, tapi karena takjub tingkat dewa kepadaku. Haha.
Hampir semua terobosan terbaru dikemas dalam bahasa Inggris, yang kalian agung-agungkan itu.
Dan aku seperti terpaksa memungut semua kepingan istilah yang tercecer dari mulut-mulut berbahasa Inggris dan memadankannya dengan kosakata dalam diriku.
Aku gusar!
Aku muak memunguti barang orang lain!
Tapi apa daya, dunia memang bukan soal adil atau tidak. Siapa yang berdaya cipta dengan cepat, dialah yang menang!
Aduh, ke mana saja kalian, wahai para manusia Indonesia!
Apa saja yang kalian kerjakan? Bergosip? Atau berleha-leha dengan hal-hal nirguna?
Kalian lihat? Yang itu juga bukan salahku, tapi salah kalian!
Ya, kalian. Aku blak-blakan menuding kalian.
Andai saja, sejarah berbeda, dan para manusia Indonesiaku adalah para penggagas dan perintis dari terobosan-terobosan hebat di dunia, maka aku bisa menyalurkan daya cipta terpendamku, sebaik-baiknya hingga dunia bertekuk lutut, semata-mata karena sifat bawaanku yang begitu lentur dan luwes.
Jika terserah padaku, maka pernahkah terbayangkan olehmu, kata-kata berikut, akan seperti ini?
Program: rekasandi
Komputer: pemerhitung, pemerkira, rekahitung, rekakira
Proses: garap, olah
Lalu kalimat bahasa Inggris ini:
"By employing the program, the computer will process those inputs into readable realtime analytics."
Tentu dengan enteng akan jadi begini:
"Dengan menggunakan rekasandi itu, pemerhitung akan mengolah semua masukan menjadi telaahan seketika yang terbaca."
Lihat?
Itu baru sejumput peragaan kemampuan terpendam yang kumiliki. Kesempatan terbuka luas untuk menelisik setiap relung-relung gudang kosakataku dan tinggal menerapkan sedikit daya cipta padanya.
Lalu apa? Mengapa aku seolah begitu buruk dalam pandanganmu?
Aku tahu. Seperti kebanyakan kisah cinta, selalu ada bagian yang menyiratkan "tak kenal maka tak sayang". Dan pada perihalku, inilah contoh nyata dari ungkapan itu. Kau tak mengenalku, meskipun kau pelajari aku sejak kau balita hingga kakek-nenek. Namun, benarkah kau mengenalku?
Padahal aku merasa berhak atas cinta kasihmu. Bukan yang lain. Tak peduli meskipun aku adalah bahasa keduamu, tapi setidaknya kau akan selalu berhubungan denganku, mau tidak mau. Untuk setiap gagasan niskala yang susah kau ungkapkan dalam bahasa ibumu, di sanalah aku hadir sebagai penyelamatmu. Dan kau tak bisa pungkiri itu.
Baiklah, mari kita jegal satu per satu masalah ini.
Mungkinkah kau merasa aku tak lengkap?
Jika ya, maka seperti yang kujelaskan tadi, setidaknya anggapan salah ini seharusnya sudah runtuh dalam benakmu.
Aku lengkap, paripurna, kaya dan berdaya cipta. Â Bagian-bagian diriku berasal dari leluhur yang berbeda-beda. Kurasa itu sudah lebih dari cukup sebagai pengaya khazanah kosakataku. Agar kau tak lagi menudingku tak lengkap, maka kuberi perbandingan mencolok, sehingga kau mengerti.
Tahukah kau? Ada bahasa-bahasa tertentu yang bisa disebut tak lengkap, karena tidak memiliki kata untuk mengungkapkan gagasan yang mendasar dalam kehidupan manusia. Misalnya, ada bahasa yang tak mengenal gagasan angka. Ya, angka yang kita gunakan untuk berhitung, mereka tidak punya. Beberapa di antaranya yaitu bahasa Piraha dan Munduruku di pedalaman Amazon sana. Tak percaya? Silakan tanya Google. Semudah itu.
Nah, itukah yang kalian tudingkan padaku dengan sebutan "tak lengkap"? Semoga tidak. Tidak, bukan itu tudingan kalian. Dan tidak, karena tudingan itu sama sekali tak terlintas di benak kalian. Apa pun itu, itu bagus. Karena kenyataannya, itu tak benar sama sekali.
Mungkin yang lebih mengena, anggapanmu begitu karena bisa jadi kau tak menemukan padanan kata yang tepat saat ingin menerjemahkan sebuah kata, yang biasanya dari bahasa Inggris, menuju diriku, dan kau tak menemukan kata itu pada diriku.
Yah, setelah cukup panjang lebar kubahas tadi, seharusnya kau tak menyalahkanku. Aku bersikukuh pada pernyataanku. Bukan salahku, tapi karena kau yang tak becus menemukannya. Semuanya ada dalam diriku! Titik.
Kau tinggal mencarinya dalam tumpukan jerami kosakataku. Lalu kau otak-atik sana-sini sampai kau dapatkan nilai rasa yang pas. Yang jelas, jika kau menunjukku dengan telunjukmu, empat jarimu yang lain tanpa tedeng aling-aling menunjuk dirimu. Paham maksudku? Jika kau perlu kambing hitam, kuberikan satu untukmu. Salahkan pekamus. Itu sudah tugasnya.
Beres, bukan?
Haha.
Jika kau jawab "beres" atau "ya", aku bahkan tak pasti harus iba pada yang mana, pekamusnya ataukah dirimu? Sungguh miris dan membuat orang yang mendayagunakan akal budinya mengelus dada.
---
Sudah, sudah. Aku tak mau terseret dalam sawala konyol yang sebenarnya tak punya ketaksaan dalam perihalnya sama sekali.
Intinya, jika kau memakaiku dalam bertutur, maka itu adalah kewajibanmu dan tanggung jawabmu untuk mengenaliku, menjagaku dan mengembangkanku ke puncak cakrawala tertinggi yang menembus angkasa, nun jauh di atas mega. Saujana.
Ah, jangan bilang kau tak tahu apa itu "saujana".
Pantas saja kau tak cinta padaku.
Baiklah, berhenti.
Tak usah kau tanya Google. Sini kuberi tahu.
"Saujana" berarti sejauh mata memandang.
Tampak sekali kau tiada punya renjana terhadapku.
Oh, tidak. Yang ini, kau tanya Google. Aku lelah menyuapimu.
---
Aku tak akan hiraukan jika kau bosan mendengar celotehku.
Aku akan katakan satu hal yang bakal membuatmu berpikir ulang terhadapku, bahkan membuatmu terpesona akan diriku ke tingkat tertinggi.
Simak baik-baik. Dan jangan tertawa. Pikiranmu akan meronta pada awalnya, tapi seraya nalarmu mencerna kau akan mengaminkannya.
Perhatikan dengan saksama.
Jika seandainya makhluk asing berperdaban maju (atau lazim yang dunia sebut dengan "alien") itu ada, tahukah kau, bahwa mereka akan berhubungan dengan manusia bumi melalui aku!
Sudahkah tawamu meledak?
Atau senyum sinis tersungging di bibirmu?
Ya, kau tak salah baca.
Akan kubuat seringkas mungkin biar kau paham.
Makhluk asing, sesuai namanya, mereka sama sekali tak berlatar belakang yang sama dengan kita. Mereka tak berbagi sejarah dan budaya dengan kita. Sehingga, semua bias, anggapan dan kecenderungan kita tak berlaku bagi mereka.
Secara nalar, mereka tentu perlu memilih satu bahasa di bumi yang secara gamblang, mudah dikuasai dan kuat, berdaya guna, kokoh sekaligus luwes untuk dijadikan wadah penyampai pesan dan gagasan. Itu saja. Tanpa ada tetek-bengek lainnya.
Aku akan terkesan sombong di sini, tapi apa peduliku, karena yang kukatakan adalah kenyataan.
Bisa kupastikan, jika persyaratannya seperti yang tadi, akulah bahasa yang makhluk asing itu cari. Meskipun penuturku, baik yang asli maupun sebagai penutur bahasa kedua, atau pun yang terpapar denganku hanya sekitar 280 jutaan saja. Haha, cukup "sedikit", bukan?
Ya, tak salah lagi, aku adalah bahasa pemersatu pada artian yang sebenarnya.
Dibandingkan bahasa lain, akulah yang termudah untuk dipelajari. Meskipun demikian, bukan berarti aku bermutu rendah. Bahkan sebaliknya. Nanti kujelaskan.
Aku yang termudah dipelajari, karena aku menganut pola umum dari setiap bahasa: S-P-O (Subjek-Prediket-Objek) atau dalam istilah yang lebih kusukai: Pelaku-Kata Kerja-Sasaran.
Misalnya, "aku makan nasi". Agar akrab di telinga orang Indonesia.
Sederhana, tanpa tambahan apa pun dan mengena. Dan kalimat itu sudah masuk akal dan dapat dipahami.
Bahasa Inggris pun menganut hal yang sama. Bandingkan dengan bahasa Jepang, Korea dan Hindi yang kata kerjanya di belakang, atau menganut pola S-O-P. Haha.
Aku yang termudah, karena tak ada perubahan kata karena pengaruh unsur apa pun, baik itu karena waktu, misalnya tenses pada bahasa Inggris. Seperti yang kau tahu, kata kerjaku akan tetap, meskipun perbuatannya dilakukan kemarin, sekarang atau pun besok.
Kemarin aku makan.
Hari ini aku makan.
Besok aku makan.
Kata "makan" tak berubah.
Bandingkan dengan bahasa Inggris yang mengubah-ubah kata kerjanya berdasarkan waktu. Belum lagi perubahan karena pelaku tunggal atau pun jamak. Kukira tak perlulah kujelaskan, karena aku yakin pelajaran bahasa Inggrismu di bangku sekolah dulu masih membekas di benakmu.
Lanjut. Atau pun perubahan bentukan kalimat karena anggapan bahwa benda memiliki jenis kelamin, dan imbasnya kalimat penyusunnya harus berubah karena jenis kelamin benda itu.
Aneh? Hmm, aku tak pernah bilang begitu, ya.
Bahasa yang seperti itu misalnya bahasa Jerman dan Prancis.
Nah, sekarang kau paham, kan, betapa mudahnya aku?
Intinya, tata bahasaku mudah dipelajari, tidaklah sesulit bahasa-bahasa lain karena aku cenderung sederhana dan langsung pada intinya, tanpa embel-embel lain yang memberatkan dan tak perlu. Jika ada jalan yang lurus menuju suatu tempat, kenapa harus tempuh jalan yang berkelok-kelok? Paham maksudku? Ini masuk akal.
Berikutnya, kata-kataku, tak pelak lagi sangat mudah diucapkan.
Tahukah kalian, bahwa kata-kataku begitu enteng diucapkan tanpa membuat lidah keseleo?
Apakah pertandanya?
Mudah saja. Abjadku hanya ada 26 dan itu sudah bisa mewakili semua suara yang dihasilkan dalam bahasa Indonesia. Tak ada pengucapan yang aneh-aneh. Tak ada bunyi sengau, bunyi bergumam atau bunyi letupan di langit-langit atau pun getaran keras di belakang anak lidah, dan bunyi aneh lainnya.
Pengucapanku mudah, sehingga tak meninggalkan logat saat berbicara dalam bahasa lain, seharusnya.
Rata-rata orang Indonesia yang memakaiku sebagai bahasa utamanya atau bahasa yang sejenis denganku, maka saat dia berbicara dalam bahasa lain, dia akan berbicara dengan pengucapan yang bagus, bahkan di atas rata-rata untuk ukuran seorang penutur asing. Mendekati sempurna atau bahkan sempurna jika dia berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengucapkannya. Yang gagal dalam anggapan umum seperti ini adalah mereka-mereka yang kurang usaha atau cenderung malas dalam mempelajari pengucapan yang benar dari bahasa sasaran.
Bandingkan dengan penutur asli bahasa Jepang, Cina, Hindi dalam berbahasa Inggris. Kau akan dapati mereka sangat bersusah payah dalam pengucapannya. Itu karena pengucapan bahasa mereka begitu kental, sehingga logatnya terbawa-bawa saat berbahasa Inggris.
Lanjut.
Penulisanku sangat masuk akal. Apa yang tertulis, itulah yang kau baca.
Dan seharusnya kau bersyukur, mendapatiku sebagai bahasamu.
Kapan aku mewajibkanmu menghapal ejaan setiap kata?
Tak pernah, bukan?
Bahkan ada anak SD yang baru kelas satu saja sudah mahir membacaku.
Tak jarang kalian mengabaikan hal yang terlihat sepele ini, padahal tidak.
Lihatlah anak-anak di negara berbahasa Inggris yang berjibaku siang malam menghapal ejaan masing-masing kata. Dan konyolnya lagi, agar mereka terpacu untuk menghapal ejaan kosakata bahasa Inggris itu, di Amerika Serikat, kau akan lihat ada perlombaan mengeja kata yang bernama "Spelling Bee". Secara harfiah berarti "Lebah yang Mengeja". Itu pun pada kalangan orang dewasa mereka, masih sering salah dalam menulis kata. Menggelikan, bukan?
Sejujurnya, ya.
Oh, jangan buat aku mulai membahas yang lebih parahnya lagi.
Kau tahu?
Bahasa Cina. Penuturnya menggunakan aksara gambar. Jadi, tak ada yang namanya huruf dalam penulisan mereka, yang ada cuma aksara yang mewakili suatu kata, kurang lebih begitu. Aksara mereka lebih menyerupai gambar. Jadi, satu "gambar" mewakili suatu gagasan.
Jangan harap bisa mengeja kata "orang", menjadi o-r-a-n-g, dalam bahasa Cina. Bahkan, tak ada yang namanya mengeja dalam bahasa Cina.
Kau tahu berapa aksara Cina yang orang Cina harus kuasai agar setidaknya mampu memahami media pada umumnya? Dua ribu!
Itu artinya mereka harus hapal dan ingat bagaimana bentuk dan setiap garis dalam setiap aksara gambarnya. Terbayang betapa sulitnya anak-anak di Cina harus belajar agar fasih baca tulis?
Hmm, dan kau tahu? Vietnam tampaknya tak mau  repot ikut terlibat dalam semua kerumitan itu. Mereka memintasnya dengan menggunakan abjad latin seperti abjad kita, tapi dengan harga mahal yang harus dibayar.
Ya, abjad mereka penuh dengan tanda baca tambahan dan huruf-huruf abjad yang terkesan ganjil yang cukup membuat kerutan dahimu yang tujuh belas itu kembali menari kegirangan di wajahmu.
Silakan pulihkan dulu perhatianmu, karena aku sadar omelanku ini sungguh panjang, mungkin yang terpanjang di dunia. Dan terima kasih sudah bersabar membacanya hingga detik ini. Kau luar biasa. Kuakui itu.
Baiklah. Selanjutnya.
Mengapa itu aku? Â Itu karena tata bahasaku, susunan kalimatku yang paripurna, tapi tetap sederhana dan kuat sebagai penyampai makna. Namun, di saat bersamaan aku luwes bin lentur. Tak banyak aturan tambahan yang aneh atau pengecualian, sehingga aku lebih baku, Â lebih berpola, lebih teratur. Itu semua adalah kunci kemudahan dalam mempelajari sebuah bahasa dalam waktu yang singkat. Dan itu sepadan dengan apa yang kau dapatkan.
Kau tinggal menghapal kata-kata dasarku.
Dan biarkan unsur ajaibku yang menangani selebihnya: imbuhan.
Kau ingat saat kubilang, "aku tidaklah lemah, bahkan sebaliknya."?
(Jika kau teliti, sebenarnya aku tak pernah berkata begitu, tapi kalimat yang senada dengan itu. Haha.)
Inilah dia. Aku kuat, kokoh dan cermat serta rinci dalam menyampaikan makna hingga nuansa terhalusnya sekali pun. Dengan perpaduan imbuhanku, baik awalan, akhiran atau pun sisipan, aku bisa menciptakan makna baru yang bisa jadi jauh berbeda dengan kata dasarku.
Dengan imbuhanku, aku memberikan kebebasan berdaya cipta untuk kau jelajahi. Hanya khayalanmu sendirilah batasnya. Kau bisa meniupkan napas baru dalam sebuah bentukan kata yang pada mulanya terdengar asing.
Seperti yang pernah kuutarakan sebelumnya, kata dasar "hitung" bisa menjadi pengganti kata "komputer" jika kalian mau dan sepakat, jika ia disulap menjadi "pemerhitung".
Kau mengerti maksudku?
Kosakata baru dapat tercipta dengan olahan berdaya cipta ini.
Seorang pejabat terkait tentang aku di negeri ini pernah berkata, yang intinya bahwa aku fakir kosakata. Aku "hanya" punya 100.000 kosakata. Ya, aku sangat miskin, bukan?
Ya, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang katanya perlente itu, yang membanggakan satu juta kosakatanya tersebut. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, rata-rata hanya sekitar 20 ribu kata saja yang seorang penutur bahasa Inggris dewasa ketahui dan termasuk yang pernah didengar. Bahkan kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari jauh lebih sedikit daripada itu.
 Jadi, 980 ribu kata yang selebihnya dikemanakan? Apakah untuk berbangga diri sebagai pemilik kamus tertebal di dunia? Atau sesekali untuk memikat seseorang (wanita) dengan menyelipkan satu atau dua patah kata yang sangat tidak umum, agar terkesan terpelajar? Sepertinya hanya Tuhan yang tahu.
Dalam pandanganku, tak ada gunanya punya sejuta kosakata, tapi yang digunakan dalam kenyataan sehari-hari hanyalah sepersekian dari secuilnya saja.
Tapi, dengan berkata begitu, bukan berarti aku berdalih bahwa banyaknya kosakata tidak penting. Tidak, banyaknya kosakata itu penting.
Bagaimana kau bisa menjelaskan sebuah gagasan jika tak ada kata yang bisa menampung gagasan tersebut, sehingga gagasan itu tak terungkapkan?
Dalam pandanganku, bukan persamaan kata yang artinya persis sama yang perlu diperbanyak, tapi kosakata dengan berbagai nuansa maknalah yang harus diperbanyak.
Aku merasa, bahasa Inggris jatuh ke dalam "perangkap" seperti ini. Bahasa itu kaya akan persamaan-persamaan kata yang bermakna sama persis. Tapi aku juga tak menafikan barangkali ada banyak kosakata dengan nuansa yang mirip-mirip maknanya pada bahasa Inggris.
Â
Mungkin kau sudah tak sabar untuk sampai ke intinya, bukan?
Aku mengujimu. Jika kau memang peduli padaku, kau akan ikuti curahan hatiku ini sampai akhir. Dan kuberitahukan padamu, kita sudah dekat.
Satu hal yang ingin kuungkapkan.
Entah kau sadar atau tidak, selain aku memang masih belia untuk ukuran sebuah bahasa, tahukah kau bahwa sebenarnya aku adalah bahasa buatan paling berhasil yang pernah ada di muka bumi ini?
Ya, aku pada hakikatnya bukanlah bahasa alami seperti bahasa-bahasa pada umumnya di dunia ini, yang tumbuh berkembang seiring bergulirnya waktu dan sudah berusia setidaknya ratusan tahun. Ya, seperti bahasa Inggris, dan bahasa-bahasa Eropa lainnya, dan bahasa Jepang, Cina, Korea, Arab dan sebagainya. Mereka adalah bahasa-bahasa yang lebih dulu ada daripada aku, dan umurnya jauh melebihi umurku. Mereka tumbuh dan berkembang secara alami di bawah tempaan waktu, dalam masa yang begitu panjang.
Sedangkan aku?
Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu.
Aku kini berbeda dengan aku yang di masa-masa awal zaman Sumpah Pemuda dulu, apatah lagi dengan diriku yang beratus-ratus tahun silam, di saat aku masih berbentuk bahasa Melayu. Tapi, Â saat kuingat diriku yang dulu, sungguh bergemuruh sanubari ini.
Aku bangga dalam diriku mengalir darah Melayu. Namun jati diriku tak hanya terbentuk dari bahasa Melayu, tapi dari berbagai kepingan zamrud yang kupungut dan kukumpulkan di dalam perjalananku. Kadang kepingan zamrud itu kupungut dari bahasa Sansekerta. Kadang dari Persia. Terkadang dari Hindi. Kadang-kadang dari Gujarati. Kupungut pula dari bahasa Arab. Tak terlewatkan juga dari bahasa Portugis dan Belanda.
Semakin ke sini, aku mulai memunguti kepingan zamrud itu dari bahasa-bahasa daerah. Kupungut dari bahasa Minang, Jawa, Palembang, Aceh, Sunda bahkan sampai ke Maluku nun jauh di sana. Dan aku tak bisa mengatakan dengan pasti dari bahasa mana lagi aku memunguti kepingan zamrud itu. Aku yakin ada yang tak tersebutkan olehku. Tapi mereka tetaplah bagian dari jati diriku. Dan aku bangga. Terima kasih.
Aku, Bahasa Indonesia, sejatinya bukanlah bahasa alami. Namun aku adalah segelintir dari bahasa yang hampir bersifat buatan. Arah perkembanganku direka secara matang oleh tangan-tangan dingin para pakar bahasa kala itu. Aku dibakukan, ejaan dan penulisanku berangsur-angsur disempurnakan. Tata bahasaku makin kokoh. Kosakataku bertambah pesat dengan penyerapan dan pembentukan kata baru yang telah diindonesiakan dengan kaidah tertentu.
Aku meliputi setiap segi kehidupan berbangsa dan bernegara kalian. Aku menyatukan 260 juta manusia Indonesia dengan lebih dari 700 lebih bahasa setempatnya, beserta segala pesona dan ciri khasnya. Aku menjadi bahasa pemersatu kalian.
Aku hadir di setiap ruang khalayak. Bahkan, bagi sebagian dari kalian, aku hadir dalam mimpi-mimpi terindah dan terliar kalian.
Aku telah menaklukkan waktu untuk mampu menjadi bahasa yang dapat diandalkan dalam waktu singkat. Bahkan aku mengungguli mereka, bahasa-bahasa alami, dalam hal kemudahan penguasaan, kemangkusan dan kesangkilan untuk menyampaikan makna secara cermat.
Tak ada bahasa lain, baik alami atau pun buatan, yang punya prestasi secemerlang diriku. Muncul dari bahasa daerah yang bukan terbesar, bertahan di zaman penjajahan, lalu aku berhasil menyingkirkan bahasa penjajah Belanda dari khayalak dan mengukuhkan kedudukanku sebagai bahasa pemersatu di Indonesia yang begitu luas dan besar ini. Bahkan bahasa Jepang sekalipun juga tak mampu menggoyahkan kedudukanku. Sementara bahasa-bahasa yang terjajah, tetap terjajah oleh bahasa penjajahnya di berbagai belahan dunia, justru di sanalah aku bersinar dengan gemilang. Aku bersinar sebagai pemenang dan aku menjadi pemersatu.
Akulah bahasa pemersatu dalam arti yang sesungguhnya.
---
Kembali pada soal kekuatan. Aku adalah bahasa yang kuat. Sejatinya, aku punya amat sangat banyak kosakata. Ya, lebih dari 100 ribu itu.
Karena apa? Karena yang 100 ribu itu, semata-mata hanyalah kata dasarku saja. Belum terhitung untuk semua kata yang dapat terbentuk dari unsur ajaibku: imbuhan. Sesungguhnya, setiap bentukan baru hasil perimbuhan dari kata dasarku adalah juga sebuah kata, karena memiliki nuansa makna yang berbeda dari kata dasarnya.
Perhatikan contoh sederhana ini.
Kata "ajar" bisa kusulap menjadi kata-kata baru, karena telah punya nuansa makna tersendiri.
Ajar.
Ajaran. Ajari. Belajar. Berajaran. Belajar. Mengajar. Mengajarkan. Mengajari. Diajar. Diajarkan. Diajari. Mempelajari. Dipelajari. Pelajar. Pelajaran. Pengajar. Pengajaran. Pembelajar. Pembelajaran. Terajar. Terajarkan. Terpelajar. Berpelajaran. Berpengajar. Berpelajar. Berpengajaran. Berpembelajar. Berpembelajaran.
Dari kata dasar "ajar" terbentuk 28 kata baru, yang masing-masingnya punya nuansa makna tersendiri. Ada yang nuansanya begitu halus, sehingga perlu kepekaan yang cukup tinggi untuk membedakannya.
Apakah kata yang tepat untuk menggambarkan kenyataan ini?
Kata kuat, cermat, berdaya cipta, dapat diandalkan, menyeruak begitu saja ke dalam benak.
Lihat betapa gamblangnya keadaan ini.
Buka matamu lebar-lebar!
Sentakkan tirai usang berdebu yang menghalangi pandanganmu!
Resapi dan sadari ini di lubuk hatimu yang paling dalam. Kau sungguh mujur terlahir sebagai orang Indonesia. Di dalam ceruk dan celah otakmu, aku bersemayam, memberimu segala pengertian dan pemahaman. Menerjemahkan segala gagasanmu yang terbersit di sana.
Dan karena sudah terbiasa dan terlaksana dengan sendirinya, nikmat yang besar ini pun acap kali tak terasakan apatah lagi terhargai.
Coba perhatikan kembali kata "ajar" itu berikut keduapuluh delapan kata baru turunannya.
Pernahkan terpikirkan olehmu, barang sejenak, jika semua kata itu akan terasa sangat sulit dipahami oleh orang asing, yang bahkan bersungguh-sungguh belajar bahasa Indonesia sekalipun?
Bah, bahkan kau sendiri saat diminta menjelaskan nuansa makna masing-masing kata itu, tidaklah mampu. Kau hanya sanggup merasakannya dan paham, tapi kesulitan menjelaskan nilai rasa yang terkandung di dalam setiap kata itu.
Lihat?
Kau saja sebagai penuturku kesulitan menjelaskannya, saking begitu halus dan eloknya nuansa makna yang terkandung pada masing-masing kataku tersebut. Apatah lagi mereka, para orang asing itu, tentu mereka tertatih-tatih dalam usaha mereka mencernanya. Mungkin tak terbayang olehmu begitu terjalnya jalan yang harus mereka daki, agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang seperti pemahamanmu dalam memahami keduapuluh delapan kata tersebut, yang dengan mudahnya kau dapatkan, tanpa usaha keras, karena kau adalah penuturku.
Kau tahu betapa melelahkannya itu bagi mereka?
Ya, tentu kau tahu.
Dan seharusnya itu membuatmu bersyukur, karena aku sebagai peranti lunak dalam pikiranmu, telah tertanam secara alami, bahkan tanpa kau sadari.
---
Kulanjutkan. Sebab aku tak penat dan tak jemu-jemu.
Jika dari setiap satu kata dasar, punya 5 saja kata baru yang terbentuk dari keajaiban perimbuhanku, maka setidaknya akan ada 500 ribu kosakata Bahasa Indonesia.
Apakah ini yang disebut miskin itu?
Bah, bahkan kini aku lebih kaya kosakata daripada bahasa Prancis, Portugis, Jerman, Spanyol, Italia, Jepang, Cina dan Korea dan sebagainya. Dan itu pun mungkin belum mencakup kosakataku yang direka khusus untuk bidang-bidang tertentu.
Itu baru dengan anggapan setiap kata dasar menurunkan 5 kata baru.
Bagaimana jika menurunkan 10 atau 12 atau 17 kata baru? Bukankah aku lebih kaya daripada bahasa Inggris yang orang bilang berkosakata sejuta itu? Tapi bagiku itu bukanlah perhatian utamaku.
Yang jelas, setidaknya kini kalian menyadari, betapa kuatnya aku, dan betapa besarnya kemampuan terpendamku yang menanti sentuhan tangan-tangan dingin kalian, wahai para manusia Indonesia!
Sudah?
Belum. Aku belum selesai.
Perlu beruntai-untai kata untuk menawar semua racun buruk yang merasuk dalam pemikiran para penuturku.
Berikutnya.
Kami dan kita.
Ya, hal yang sebenarnya besar dan penting, tapi lagi-lagi kau pandang sebelah mata.
Kau tentu sudah tak asing dan paham benar apa maknanya, bukan?
Jika tiga orang berbincang-bincang dengan hangat, dan tiba-tiba salah seorang dari mereka berseloroh:
"Kita pengecut."
Maka masuk akal jika yang berdua lagi merasa keberatan dan membantahnya dengan:
"Tidak, kau (kalian) saja yang seperti itu. Aku tidak."
Bandingkan tanggapan mereka, jika seseorang tadi mengatakan:
"Kami pengecut."
Maka yang berdua lagi bisa saja diam sambil mengangguk, atau boleh jadi berkata,
"Ya, tak diragukan lagi." Atau yang semacamnya.
Lihat? Tak ada bantahan, bukan?
Karena maksud yang dinyatakan jelas, tanpa perlu keterangan tambahan lagi.
Nah, bayangkan jika itu diucapkan oleh penutur bahasa Inggris misalnya, dalam keadaan yang sama, tanpa tambahan bahasa isyarat.
"We are cowards."
Maka tanggapan pertama yang pasti kau dapati adalah: kerutan dahi yang aku tak yakin apakah berjumlah tujuh belas, di wajah yang dua lagi itu.
Karena di benak mereka, kata "we" tak ada bedanya antara "kami" dan "kita".
Sekarang, kau paham maksudku?
Bayangkan, jika orang salah tanggap dengan kata "we" ini, karena tak tepat menempatkan makna "kami" ataukah "kita", maka dalam keadaan tertentu yang agak peka, hal ini bisa mengundang masalah besar akibat kesalahpahaman.
Dan tahukah kalian?
Hanya ada segelintir bahasa yang punya kata "kami" dan "kita".
Aku termasuk salah satunya. Dan sudah sepantasnyalah kalian bersyukur.
Itu sajakah?
Ternyata tidak. Aku juga punya "kau" dan "kalian" yang dalam ocehanku ini, sering kupakai berselang-seling, jika kau menyadarinya.
Dalam bahasa lain seperti bahasa Inggris, cuma ada kata "you" saja untuk kata "kau" dan "kalian".
Sekali lagi. Bersyukurlah.
Nah, meskipun begitu, kuperhatikan masih saja banyak di antara kalian yang serampangan menerapkannya. Dan tak jarang itu membuatku gemas. Peristiwa ini sering kujumpai di masyarakat Jakarta, yang agaknya adalah ibu kota Indonesia tercinta ini.
Sungguh miris.
Ambillah teguran miring dariku ini, dan perbaikilah ketidaktepatan itu. Karena pembiaran adalah bentuk ketidakpedulian terbesar, dan sungguh aku tersakiti karenanya.
Ingatlah akan sumpahmu untuk menjadikanku bahasa persatuan, bahasa pemersatu berikut segala tanggung jawab yang tersirat di dalamnya.
---
Dan omong-omong, sadarkah kau jika aku menata semua kata-kataku di sini bersih dari cemaran susupan kata asing zaman mutakhir ini, terutama dari bahasa Inggris yang begitu menggurita?
Tidak? Coba cermati sekali lagi.
Aku sengaja melakukannya untuk membuktikan sesuatu kepadamu. Bahwa aku sungguh paripurna, kaya, kuat, cermat, berdaya cipta dan dapat diandalkan. Sehingga aku tak perlu satu pun kata serapan dari bahasa Inggris untuk merangkai semua kalimatku ini dan menghadirkan apa yang kurasakan, di kepalamu.Â
Tidakkah kau tergugah?
Baiklah. Cukup? Selesai?
Hoho, tentu tidak. Jangan pancing aku soal bagaimana serampangannya kalian dalam menggunakanku, mengacak-acakku dengan ala "suka-suka aku".
Cih, begitu abai dan tidak indah.
Tidak semua memang, tapi kebanyakan.
Tapi apa daya, aku sudah begitu lelah.
Kurasa itu bisa jadi pembahasan panjang tersendiri.
---
Dan dengarkanlah ini.
Sesungguhnya, aku sayang pada kalian. Aku tak pernah benci. Tapi sesekali, ya, aku kesal. Dan tulisan panjang menjulai-julaiku ini adalah bentuk luapan rasa kesalku, sekaligus rupa dari kasih sayangku pada kalian, yang tak bertepi dan tak lekang oleh zaman.
Semoga kita bisa menjadi lebih baik.
Aku selalu bersamamu...
Salam sayangku,
Bahasamu, Bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H