Kuatkan peganganmu, karena mungkin kau akan terguncang.
Dan jika kau tergetar karenanya, berarti bagus. Aku berhasil mendaratkan tamparan sayang dengan telak di pipimu yang bersemu itu.
Aku sebal, sangat sebal, karena kau memperlakukanku seperti bahasa kelas dua di negeri sendiri!
Tahukah kau? Aku adalah perangkat lunak dalam otakmu, sehingga pikiranmu bisa berjalan sebagaimana mestinya dan kau mampu mencapai kodratmu sebagai manusia yang seutuhnya.
Tanpa aku, akal budimu mandeg, buntu, tersekat, tidak jalan, terkungkung dalam penjara pikiranmu sendiri. Terjebak dalam ruang gelap yang beririsan antara kebingungan, kegamangan, ketakutan, kegelisahan, kegalauan dan segala kata benda bernuansa suram yang pernah ada dalam tubuhku.
Seluruh wacana dan gagasan buah olah pikir kalian tak akan pernah terwujud, apatah lagi sebagai ilmu. Bah, bahkan saling bertukar isi pikiran pun kalian tak akan bisa. Mustahil. Hidup kalian akan kacau-balau. Ucapkan selamat tinggal pada peradaban.
Sudah seyogianya aku pongah di sini. Tanpa aku, dalam apa pun bentukku, peradaban kalian hanyalah pepesan kosong!
Hahaha.
Puas sekali rasanya aku memakimu.
Hahaha. Sudah, terima saja. Jika memang kau waras, kau sekali-kali tak akan bisa membantah kenyataan yang kuutarakan itu.
Sejak perubahanku menjadi rupa mutakhirku yang dirintis sejak abad ke-19 dan mencapai puncak geloranya pada Sumpah Pemuda, aku telah menyusup, membaur dan menyatu dalam kehidupanmu.