Sungguh, kehangatan dan kedamaian meliputiku saat perhatianku tertuju pada-Nya.
Tapi, ah, mengapa aura suram, lembab dan pengap yang terasa, jika tiba-tiba aku membicarakanmu? Ah, apa peduliku. Aku sudah akrab dengan rasa ini, sehingga sudah jadi dagingku.
Oh, lumayan. Sekarang kernyitan dahimu sudah empat belas. Haruskah kulanjutkan keluhan getir ini, ataukah kau sudah sedikit tercerahkan pasal siapa aku ini?
Hmm. Sekarang sudah tinggal sembilan. Jujur saja, kau tampak lebih rupawan jika wajahmu tak kusut dan bebas dari semua kerutan itu.
Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Cikal bakalku bermula beratus-ratus tahun silam dalam buaian sebuah budaya, bernama Melayu.
Oh, sekarang tinggal tujuh. Bagus.
Diriku terus berkembang dari waktu ke waktu. Warna dan corakku kian beragam. Dan aku lambat laun tapi pasti, mulai berbeda dengan diriku saat itu.
Kau tahu, sudah tabiatku untuk selalu membuka diri. Aku bukanlah sesuatu yang jumud. Tinggal di antara diri-diri yang asing, yang selalu datang silih berganti. Bagiku, sudah sewajarnya aku berkenalan dengan mereka.
Mereka sungguh ganjil dalam pandanganku, tapi sekaligus membuka cakrawala baru pandanganku. Sungguh dunia ini luas, dan keanekaragaman benar-benar tak terelakkan. Khazanahku semakin kaya dengan persentuhan dengan diri-diri lain, yang asing dengan diriku.
Sebagian dari unsur mereka kubiarkan menyelinap dalam diriku, dan kubentuk sedemikian rupa dengan jiwaku. Mereka begitu menyatu sempurna dalam diriku, sehingga kau mungkin tak menyadarinya.
Lima kerutan. Bagus.