"Ya, kami tidak mau ketularan sial dari kamu!"
"Pergi bangsat! Bau badanmu membuatku mau muntah."
"Ibu...." Jaka Pening menutupi kepalanya mengingat semua itu. "Jaka ingin ikut Ibu... bawa Jaka pergi, Bu."
Â
      15 tahun, mungkin usia yang terlalu muda bagi seorang remaja seperti Jaka Pening untuk berdamai dengan kenyataan pahit hidupnya. Namun sejatinya, memang tidak akan ada waktu yang tepat jika hanya mengukur usia. Kehidupan sejatinya memang hanya hiasan, begitu pun segala ceritanya. Sayangnya manusia hanyalah makhluk yang lemah. Semua punya waktu dan keterbatasannya masing-masing, dalam segala hal. Termasuk kesabaran. Yatim-piatu penyakitan itu menyadari, harapan hidupnya nyaris sirna. Ia sendiri tak tahu harus ke mana lagi. Namun kehidupan harus tetap berjalan apa pun yang terjadi, sampai pada waktunya kehidupan itu berakhir di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Â
      Jaka Pening mengusap pelan air matanya, membiarkan hatinya remuk seiring badai. Manakala tiba-tiba bumi di sekitarnya bergerak. Berguncang. Pemuda kecil itu terkesiap. Gempa! Jaka Pening mulai panik.
Â
"Ya Tuhan, jika takdirku harus mati karena gempa ini.... aku pasrahkan segala nasibku kepada-Mu."
Â
Sebuah suara menggelegar menyahut ucapannya....