"BARU KLINTHING"
~LEGENDA RAWA PENING~
            sumber gambar: pinterest
Â
Diceritakan kembali oleh: Fawwaz Andhika Yılmaz
Â
Telomoyo, Jawa Tengah, Abad 16 Masehi~
  ~Hujan turun begitu deras, seakan membersamai kesunyian hati. Angin menderu kencang, menerbangkan air hujan laksana badai. Hutan lebat di lereng gunung itu semakin suram, sesuram hati dan ratapan manusia yang terbuang seumpama bangkai yang hina. Anak laki-laki bertubuh kurus itu berlarian sekuat tenaganya mencari tempat berteduh, mendudukkan diri di bawah sebuah pohon rindang. Sekuat tenaga pula ia menahan sakit di sekujur tubuhnya yang memar. Borok di tubuh dan wajahnya mengeluarkan darah dan nanah, terasa perih terbasuh air hujan. Baju putih panjang dan celana hitam sebatas betis yang dikenakannya, kotor dan kusut di mana-mana. Air matanya seperti hampir habis.
Â
"Ibu...." Isaknya. "Bawa Jaka pergi, Bu."
Â
      Anak laki-laki berumur 15 tahun itu tak mengerti. Mengapa dunia seakan gemar sekali menertawakannya? Dirinya adalah tumpahan kesalahan dan permainan manusia. Segala yang ada pada dirinya adalah kesalahan. Kesialan! Dirinya hidup dibenci dan dihina orang. Jaka Pening, nama remaja itu. Kelahirannya bahkan telah dianggap petaka bagi seluruh warga desa. Tak seorang pun sudi menatap apalagi mendekatinya. Ia sendirian, kesepian, terhina dan tersiksa. Tak ada yang ia miliki di dunia ini selain sang ibunda dan seekor kerbau peliharaannya.
Â
"Jaka Pening... Kamu tahu Ngger, kenapa Ibu memberikan nama itu padamu? Karena Ibu selalu berharap, kamu tumbuh menjadi pemuda yang berhati bening. Menjadi orang yang bersih dan jujur. Kehidupan memang tidak adil kepadamu sejak kamu lahir, tapi semua itu bukan salahmu, anakku. Kamu adalah korban dari mereka yang sewenang-wenang kepada sesama manusia. Harta dan kedudukan membutakan mata dan menenggelamkan pikiran manusia. Dan kesombongan, bisa menjadi milik siapa saja yang kehilangan cahaya di hatinya." Begitulah nasihat yang disampaikan ibunya.
"Siapa sebenarnya bapak Jaka, Bu?"
"Bapakmu tidak lain adalah kepala Desa Pathok, Ki Seladharma. Ya, mungkin saja. Dulu Ibu dan orang tua Ibu tinggal di Desa Pathok. Dan semasa mudanya, Seladharma adalah lelaki yang gemar main perempuan. Dia sering merayu Ibu untuk menjadi gundiknya, tapi tidak pernah Ibu tanggapi. Sampai suatu hari saat pulang dari sawah mengantarkan makanan untuk kakekmu, Ibu dicegat dan dipukuli oleh Seladharma dan kedua anak buahnya. Bajingan itu memerkosa Ibu di sebuah gubuk tua di pinggir hutan, lalu Ibu diserahkan kepada Karta dan Sujiman, kedua anak buahnya itu. Dan mereka bergantian menodai Ibu sebagaimana majikan mereka....
      Nenekmu sudah lama meninggal sejak Ibu masih kecil. Kakekmu sangat murka mengetahui perbuatan anak kepala desa itu. Tapi tak seorang pun membela kami. Ki Sela Kuncoro, ayahnya Seladharma malah menghina Ibu sebagai wanita murahan yang ingin mendekati anaknya demi harta. Seluruh warga desa menghina Ibu dan kakekmu habis-habisan, padahal mereka tahu sifat Seladharma yang suka main perempuan dan membuat kerusuhan. Kakekmu meninggal karena sakit pada jantungnya. Ibu kemudian memutuskan pindah ke Desa Wingit ini. Sampai kemudian Ibu hamil, dan melahirkan kamu."
"Jadi.... itu artinya aku anak haram! Anak yang tidak jelas siapa bapak kandungnya. Hikss... Jadi benar yang dikatakan orang-orang, Bu? Jaka anak haram?!"
"Tidak... anakku! Kamu adalah anak Ibu. Kamu milik Ibu, dan sejatinya kamu milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada anak haram di dunia ini! Kamu sama dengan manusia lainnya yang berharga dan patut dihargai. Dan kamu bukanlah anaknya Seladharma yang telah mencampakkan kita. Karena sejak Ibu mengandung dan melahirkan kamu, Ibu telah berjanji bahwa kau adalah anakku. Hanya anakku seorang. Tak perlu kau ingat tentang bajingan-bajingan itu.
Maafkan Ibu anakku, karena sejak kamu lahir... warga desa ini telah memandangmu sebagai pembawa sial. Hanya karena kamu lahir tanpa seorang bapak, dan kelahiranmu disertai gempa. Serta penyakit kulit yang kamu miliki sejak lahir. Anakku, kehidupan ini memang seringkali tidak adil. Tetapi bukan tugas manusia untuk mengatur tentang takdir, biarlah suatu hari nanti Tuhan membalas semuanya. Kejahatan mungkin bisa menang dan menertawakan kita, tapi tidak akan bisa berkuasa selamanya. Biarlah suatu saat Tuhan menenggelamkan mereka, hingga mereka mati oleh kesombongannya sendiri."
Â
Jaka Pening kembali bersedih. Itu adalah percakapan terakhir dirinya dengan ibunya ketika beliau sakit keras dan berujung kematiannya setahun yang lalu. Bahkan saat kematian ibunya pun, tak seorang pun warga desa yang sudi menolongnya. Semua mengusirnya dengan umpatan dan makian kotor saat ia mengetuk pintu rumah warga dan menangis meminta tolong, bahkan tak segan mereka melemparinya dengan batu atau mengacungkan senjata tajam. Tak seorang pun sudi mendekati gubuknya yang terletak di pinggir desa itu, apalagi menyentuh mayat ibunya, lantaran takut terkena sial. Anak itu adalah pembawa penyakit dan kesialan sejak hari kelahirannya, begitulah yang mereka pahami dari Ki Balapati, dukun yang disegani di Desa Wingit tersebut. Jaka Pening akhirnya menguburkan jasad ibunya sendirian di belakang rumahnya.
Â
Sejak saat itu sampai hari ini ia sendirian, hanya bertemankan Slamet, kerbau jantan peliharaannya sejak sang ibu masih hidup. Dan sekarang Slamet menghilang entah ke mana. Saat tadi ia menggembalakan kerbaunya itu di dekat kaki bukit usai membajak sawahnya yang tidak seberapa di dekat rumahnya, para remaja seusianya yang juga menggembalakan ternaknya melihatnya dan begitu marah. Mereka memukulinya beramai-ramai hingga ia terkapar di tanah, kemudian melemparinya dengan batu. Pada saat itulah, Slamet melarikan diri entah ke mana.
Â
"Pergi kamu dari sini! Anak haram pembawa sial."
"Jangan pernah menunjukkan wajah burukmu itu di hadapan kami, kami tidak mau ketularan penyakitmu yang menjijikkan itu!"
"Ttt..tapi... aku tidak bermaksud mendekati kalian, aku hanya... menggembalakan kerbauku di sini. Kk..kalian yang.. mendekatiku dan memukulku."
"Hei bangsat! Masih berani ngoceh ternyata."
Bugh... Plaks!
"Kau itu cuma manusia rendahan! Anak paling hina, pembawa sial. Anak setan! Kamu tidak pantas menjawab ucapan kami! Kami lebih mulia dari kamu."
"Pergi dari sini, kalau perlu tinggalkan desa ini!"
"Ya, kami tidak mau ketularan sial dari kamu!"
"Pergi bangsat! Bau badanmu membuatku mau muntah."
"Ibu...." Jaka Pening menutupi kepalanya mengingat semua itu. "Jaka ingin ikut Ibu... bawa Jaka pergi, Bu."
Â
      15 tahun, mungkin usia yang terlalu muda bagi seorang remaja seperti Jaka Pening untuk berdamai dengan kenyataan pahit hidupnya. Namun sejatinya, memang tidak akan ada waktu yang tepat jika hanya mengukur usia. Kehidupan sejatinya memang hanya hiasan, begitu pun segala ceritanya. Sayangnya manusia hanyalah makhluk yang lemah. Semua punya waktu dan keterbatasannya masing-masing, dalam segala hal. Termasuk kesabaran. Yatim-piatu penyakitan itu menyadari, harapan hidupnya nyaris sirna. Ia sendiri tak tahu harus ke mana lagi. Namun kehidupan harus tetap berjalan apa pun yang terjadi, sampai pada waktunya kehidupan itu berakhir di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Â
      Jaka Pening mengusap pelan air matanya, membiarkan hatinya remuk seiring badai. Manakala tiba-tiba bumi di sekitarnya bergerak. Berguncang. Pemuda kecil itu terkesiap. Gempa! Jaka Pening mulai panik.
Â
"Ya Tuhan, jika takdirku harus mati karena gempa ini.... aku pasrahkan segala nasibku kepada-Mu."
Â
Sebuah suara menggelegar menyahut ucapannya....
Â
"Tidak anak manis! Kau tidak boleh menyerah, betapa pun tidak berdayanya dirimu. Manusia diciptakan di dunia ini untuk memperjuangkan hidupnya di jalan kebenaran. Engkau boleh pasrah hanya kepada Yang Maha Kuasa, namun Tuhan menghendaki manusia untuk senantiasa berusaha. Sampai pada titik terakhirnya."
Â
Jaka Pening terkesiap. "Sss... si.. siapa kamu?!"
Â
"Aku juga makhluk ciptaan Tuhan, sama seperti kamu. Aku adalah penunggu Gunung Telomoyo ini. Kesedihan hati dan ratapanmu telah mengusik tapaku. Adapun gempa yang barusan kau rasakan, adalah pergerakan dari tubuhku."
"Siapa kamu sebenarnya?!"
"Aku tidak bisa menunjukkan wujudku di hadapanmu. Selain karena aku sedang bertapa, kau akan sangat ketakutan melihat wujudku. Saat ini aku berbicara melalui suara bathinku kepadamu. Anak yang baik, aku telah menerawang kisah hidupmu melalui mata bathinku. Dan aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku juga memiliki cerita dan kesedihan sejak aku lahir. Dan sekarang aku menjalani hukuman atas kesalahan yang pernah kuperbuat. Percayalah, bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan hamba-hamba-Nya. Berserah dirilah, dan biarkan Tuhan membalas mereka yang telah membuatmu menderita."
Â
"Eh, eh... lihat! Itu kan si anak aneh." Terdengar sebuah suara dari agak kejauhan. Jaka Pening menoleh, para remaja yang tadi memukulinya bersama hewan-hewan ternak mereka.
"Ngapain dia di situ?"
"Alaah... biarkan saja. Dia memang aneh."
"Lebih baik sekarang kita cari tempat berteduh."
"Lihat! Ada goa, gedhe tenan ya (besar sekali ya)."Â
"Ayok, kita masuk ke situ saja!"
Â
      Para remaja laki-laki itu menarik kambing dan sapi mereka masuk ke dalam goa besar itu. Jaka Pening hanya melihatnya dari kejauhan tanpa mau bergabung, atau mereka akan melemparinya dengan batu. Namun kemudian ia merasa aneh. Tunggu...! Goa? Sejak kapan ada goa sebesar itu di sana? Ia sering bermain dan menyendiri di hutan itu, namun ia tak pernah tahu ada goa sebesar itu. Yang ia lihat tempat itu hanya dataran tinggi dan bebatuan yang ditumbuhi lumut dan rerumputan.
Â
"Hei... tunggu! Jangan ke sana..."
Â
BLAAMMM....!!!!
Â
      Oh tidak! Jaka Pening terperanjat bak disambar petir. Nyaris mati di tempatnya berdiri, tatkala anak-anak belia itu masuk ke dalam goa dan goa itu menutup begitu cepat. Seperti mulut yang tadinya menganga dan kini menutup dengan cepat. Ia bahkan tidak mendengar apakah anak-anak itu berteriak atau tidak, pun suara hewan ternaknya. Apakah saking besar dan tebalnya goa batu itu, hingga suara dari dalam tidak terdengar ke luar? Ataukah anak-anak itu langsung mati terhimpit bebatuan?! Tidak. Dugaan Jaka Pening tidak salah. Itu bukanlah goa, tapi apa...?! Sekarang yang ia lihat di sana hanyalah dataran tinggi bebatuan dan rerumputan. Bersamaan dengan itu gempa kembali terasa, meski hanya sesaat. Jaka Pening berbaring tiarap di tanah lapang itu sembari menutupi kepalanya. Ketakutan. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Bagaimana jika ia disalahkan atas nasib anak-anak itu? Tidak, ini bukan salahnya!
Â
"Ya Tuhan.... apa yang sebenarnya terjadi??" Isaknya.
Â
Hujan belum berhenti. Dan ketakutan itu terus merayap. Hening. Lama sekali.
Â
^^^^^^^
Â
Entah berapa lama Jaka Pening tak sadarkan diri akibat ketakutannya. Cahaya matahari pagi menyilaukan matanya tatkala pelan-pelan ia tersadar. Suara kerumunan manusia mengusik pendengarannya.
Â
"Lihat, dia mulai sadar!"
"Jangan dekat-dekat! Lihat penyakitnya, nanti kau ketularan penyakit kulitnya."
"Iya, badannya bau sekali."
"Jangan-jangan, anak pembawa sial ini diusir dari Desa Wingit."
"Kamu kenal anak ini, Darsam?"
"Iya, Ki. Namanya Jaka Pening, dari Desa Wingit. Saya tahu dia waktu mengunjungi budhe saya di sana. Menurut warga sana, dia anak pembawa sial sejak kelahirannya. Dan... dia anaknya Ginarsih, Ki."
"Ginarsih...?"
"Iya Ki, Ginarsih anaknya Pak Martowo. Yang dulu hamil di luar nikah dan... nyuwun pangapura (mohon maaf), menuduh Ki Sela yang menghamilinya. Dia pindah ke Desa Wingit dan melahirkan anak haram ini. Dan kabarnya, Ginarsih sudah meninggal setahun lalu."
"Oh iya, saya juga sudah dengar tentang Jaka Pening. Anak haram pembawa sial dari Desa Wingit itu. Menurut Ki Balapati, dukun sana, dia ini lahir dengan membawa kutukan. Awas jangan dekat-dekat dia!"
Â
Jaka Pening yang baru tersadarkan masih mampu mendengar kata-kata hinaan itu. Tuhan... bahkan dalam keadaan seperti ini ia masih dipersalahkan. Belum sempat anak itu bangkit, sebuah tangan kekar nan perkasa menarik bajunya kasar hingga ia terkejut dan terpaksa berdiri.
Â
"Hei... anak haram! Bangun, jangan pura-pura tidur!" Bentak laki-laki agak tua dengan tatapan tajam dan wajah mengerikan. Tampaknya ia tetua dari orang-orang itu.
"Sss... siapa kau?! Jangan sakiti aku..."
"Aku Seladharma, kepala Desa Pathok. Sejak kemarin anak-anakku belum pulang dari menggembalakan ternaknya di sekitar sini. Pasti kamu yang mencelakai mereka kan?!"
Â
Jaka Pening terkejut, ia balas menatap laki-laki di depannya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Â
"Ki... Seladharma?" Ucapnya lirih. "Kamu... bapakku?"
Â
Ki Seladharma terperanjat, melotot dengan wajah membara.
Â
"Bangsat!!"
Bugh... Plaks!
"Ampun, Pak..."
Â
"Jangan sebut aku bapakmu, anak haram keturunan setan! Aku tidak mungkin punya anak sepertimu."
Â
"Sudah Ki, sudah..." Beberapa orang mencoba menenangkan kepala desa itu. "Jangan bunuh dia, Ki. Setidaknya untuk sekarang. Kita tanya dulu, apakah dia tahu di mana Purnomo dan Suwito. Mereka lebih penting sekarang."
Â
"Heh... anak sial! Bangun, jangan pura-pura sakit!" Seorang lelaki bertubuh kekar menarik rambut Jaka Pening hingga anak itu terpaksa bangun, kepalanya seakan mau copot.
Â
Ki Seladharma mengatur napasnya, menatap Jaka Pening tajam.
Â
"Aku mencari kedua putraku, Purnomo dan Suwito. Kemarin sore mereka menggembalakan ternaknya bersama ketujuh temannya di sekitar sini. Apakah kamu melihat mereka?"
"Mungkin.... mereka yang kalian cari..." Jaka Pening terengah-engah, dipegangi dua pria kekar. "Kemarin... beberapa remaja bersama hewan ternaknya masuk ke goa itu."
"Goa?" Seorang pemuda bertanya. "Di sekitar sini tidak ada goa. Jangan mengada-ada kamu!"
"Aku tidak bohong!" Jaka Pening berucap sedikit keras. "Mereka masuk ke dalam goa batu itu, lalu goa itu menutup dengan sendirinya. Dan aku tidak tahu apa-apa."
"Di mana kamu melihat goanya? Tunjukkan!" Ki Seladharma menarik dan mengempaskan tubuh Jaka Pening dengan tidak sabar. Jaka Pening tertelungkup di tanah.
Â
"Hei, anjing kurap! Jangan pura-pura sakit, cepat bangun bangsat!"
"Cepat jalan atau kulemparkan kepalamu biar dimakan anjing hutan?!"
"Ayo jalan! Bodoh."
Â
      Pemuda kecil itu berjalan lunglai dengan sisa-sisa kesadarannya. Berkali-kali ia dicaci, ditendangi, diludahi. Luka di tubuhnya semakin berdarah dan bernanah. Orang-orang itu tak sudi menyentuhnya, kecuali untuk memukul dan menyiksa.
Â
"Ini dia... goanya." Ucap Jaka Pening saat mereka tiba di depan bongkahan batu besar dan tinggi. Seperti sebuah bukit.
Â
"Ini cuma bukit batu. Mana goanya, setan!"
"Aku tidak bohong, ini goa yang kemarin aku lihat. Mulut goa ini tertutup saat anak-anak itu masuk."
"Keparat! Kau membunuh anakku...." Teriak seorang pria berbadan gempal sembari membacok Jaka Pening dengan goloknya.
Â
Crasss...!!
Â
"AAAAAKHH....!!!"
Â
      Jaka Pening ambruk ke tanah, bahunya mengalirkan darah segar. Bapak-bapak yang lain menariknya berdiri dan memukulinya bersama-sama. Jaka Pening tak dapat melawan. Bahkan saat akhirnya, Ki Seladharma yang tadinya diam terpaku dengan hati membara, menarik Jaka Pening ke arahnya dan menghunjamkan kerisnya ke ulu hati anak itu.
Â
Craass..!!
Â
Darah segar muncrat dari sana. Jaka Pening terkesiap, tak mampu lagi berteriak. Ia nyaris mati rasa. Begitu pun perasaannya. Ditatapnya wajah Ki Seladharma yang juga menatapnya tajam penuh kebencian, dan segenap perasaan lain yang laki-laki itu sendiri tak tahu pasti. Jaka Pening menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Â
"Ba..pak...." Ucapnya lirih. "Aku anakmu... Paak.."
Â
Deess...!!
Â
Ki Seladharma menarik kerisnya kembali dan menerjang tubuh Jaka Pening sekuat tenaga. Pemuda kecil itu terpelanting jauh dan menabrak bebatuan. Terkapar, telungkup di atas tanah.
Â
Wajahnya menyiratkan luka, matanya sembab. Menatap semua orang termasuk Ki Seladharma untuk terakhir kalinya. Dan menangis pula untuk terakhir kalinya.
Â
"Ibu... aku datang." Bathinnya. "Jemput aku, Ibu."
Â
      Begitulah lembaran itu akhirnya terselesaikan. Anak yang malang sejak kelahirannya itu, akhirnya menemukan kebebasannya dari apa yang memberatinya selama ini. Kini Jaka Pening menutup mata selama-lamanya, di tangan manusia-manusia biadab yang menumpahkan semua kesalahan dan kesialan kepadanya. Sejatinya bukan dunia yang tidak adil, namun manusialah yang membuat semuanya demikian. Namun hukum dan kesewenang-wenangan manusia tiada berarti di hadapan Yang Maha Tinggi, Tuhan Semesta Alam Yang Maha Kuasa. Keadilan-Nya ada di atas segalanya.
Â
Semua manusia sejatinya menginginkan kebahagiaan dalam hidup ini. Namun terkadang, kebahagiaan hanya datang pada saat batas yang telah ditentukan. Yaitu... kematian.Â
Â
"Heeaaaakhhh....!!" Ki Seladharma yang kalap menghunjamkan kerisnya ke bebatuan besar di hadapannya itu. Namun...
Â
Crrasss...!!
Â
      Darah segar mengalir dari dinding goa batu itu. Tunggu, apa?! Semua orang membelalakkan matanya. Bagaimana bisa goa batu itu mengeluarkan darah? Jangan-jangan....
Â
"Goa ini.... berdarah?" Ucap seorang lelaki setengah baya. "Jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Pak Sena?" Tanya temannya.
"Sebentar..." Pak Sena mengeluarkan goloknya yang besar dan tajam. Ia hunjamkan dengan cepat ke dinding goa besar itu. Dan benar saja, darah segar muncrat dari sana, bersamaan dengan bau amis yang menyengat. Pak Sena menghunjamkan goloknya berkali-kali. Darah segar terus mengalir.
Â
      Mendadak bumi di sekitar mereka terasa bergetar. Getaran yang cukup hebat. Ki Seladharma yang warganya panik beberapa saat. Pada saat itulah, Ki Seladharma melihat bahwa goa batu di hadapan mereka tampak bergerak-gerak seakan hidup. Mereka sempat ketakutan dan berpegangan, namun hanya beberapa saat hingga gempa itu berhenti.
Â
"Dugaanku sepertinya tepat." Ujar Pak Sena kembali. "Bapak-bapak, ini bukanlah goa. Tampaknya ini seekor ular."
"ULAAARR...?!!" Pekik mereka berbarengan.
Â
"Iya, seekor ular yang sangat besar." Kata Pak Sena. "Biasanya, ular yang sudah sangat tua dan tubuhnya sangat besar, lebih besar dari pohon kelapa. Dia sudah tidak mampu lagi bergerak bebas mencari mangsa. Jadi dia akan diam di satu tempat, dan membuka mulutnya dengan lebar sehingga ada hewan atau manusia yang masuk ke mulutnya dan menjadi santapannya. Ular ini pasti sudah sangat tua dan sangat lama berdiam di sini, sampai tubuhnya menyatu dengan tanah dan tumbuhan di sini. Makanya terlihat seperti bukit atau goa."
Â
"Berarti ular raksasa ini yang sudah memangsa anakku..." Desis seorang bapak. "Biar aku bunuh ular ini!"
"Ya, setuju. Mari Ki Sela, kita bunuh ular ini beramai-ramai!"
Â
Ki Seladharma menatap bukit batu yang mereka pikir ular raksasa itu, dengan wajah membara dan mata berkaca-kaca. Penuh dendam.
Â
"Purnomo, Suwito... akan Bapak balaskan kematian kalian." Ki Seladharma menarik pedangnya yang ia bawa. "Kita bunuh ular raksasa ini!"
Â
"Ayo....! Ayo....!!"
Â
      Seperti orang kesetanan, Ki Seladharma dan para warganya yang sudah dirasuki amarah itu menghunjam dan membacok goa di hadapan mereka dengan sangat ganas. Terutama Ki Seladharma dan para bapak-bapak yang kehilangan anak mereka. Jiwa mereka yang keras itu semakin diliputi hawa dendam yang membunuh. Memanggil-manggil nama anak mereka. Darah segar muncrat, mengalir ke mana-mana. Sebagian warga dari Desa Pathok itu tampak senang karena mereka mendapatkan daging segar yang melimpah. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka telah membangkitkan sebuah jiwa yang tidak mereka sangka-sangka. Sesosok makhluk dengan sepasang mata besar dan tajam, bersinar seperti matahari yang membara. Terdengar suara burung kedasih bercicit nyaring. Kata orang tua dahulu, suara burung kedasih bisa menandakan aura mistis di suatu tempat.
Â
"AAAAAAAAAKKKHHHH......!!!!!"
Â
      Bersamaan dengan teriakan misterius yang menggelegar itu, bumi di sekitar mereka kembali bergetar. Dan kali ini lebih hebat. Disertai suara mendesis yang mengerikan. Dugaan mereka sepertinya tidak salah, itu adalah ular raksasa. Ki Seladharma dan para warganya panik. Buru-buru menjauhi tubuh ular itu.
Â
"Suara teriakan itu...." Ucap Ki Seladharma tertegun.
Â
"Jangan-jangan.... ini ular jadi-jadian. Ular siluman!" Pekik seorang pemuda.
Â
DREESSS.....!!!
Â
      Halilintar menyambar-nyambar di langit yang tiba-tiba mendung. Hujan turun dengan derasnya disertai badai menderu-deru. Alam seakan mengamuk. Orang-orang itu panik dan kebingungan. Pertanda apakah ini?
Â
      Namun napsu dan amarah lebih membutakan mata hati mereka. Mereka pun memilih untuk melanjutkan kegiatan mereka memotong-motong ular raksasa tersebut. Kali ini mereka semakin menggila. Apalagi saat mereka berhasil membelah perut ular itu dan menemukan jasad anak-anak mereka yang masih utuh. Ratapan dan tangisan meraung-raung dari bapak-bapak yang kehilangan anaknya itu, sembari memeluk jasad anak mereka. Yang lain malah tertawa senang karena mendapatkan banyak daging. Sementara Ki Seladharma semakin bernapsu membunuh ular raksasa itu, melampiaskan semua amarahnya. Darah membasahi wajah dan pakaiannya. Bau amis menyeruak ke mana-mana.
Â
"Cukup sampai di sini!" Kata Ki Seladharma, dengan napas memburu. "Kita pulang sekarang. Kita kuburkan jasad anak-anak kita. Dan daging ini, kita bawa ke pendapa desa. Kita akan mengadakan selamatan dan pesta di sana."
Â
"Lantas bagaimana dengan anak pembawa sial itu, Ki?" Tanya salah seorang dari mereka.
Â
Ki Seladharma menatap jasad Jaka Pening yang masih ada di sana, di dekat bebatuan tempatnya jatuh. Matanya tampak berkaca-kaca, namun ia sendiri tak tahu apa yang ia rasakan. Ia berusaha menepis perasaannya.
Â
"Biarkan saja! Biar jasadnya dimakan binatang buas." Ucapnya.
Â
^^^^^^^
Â
      Dua hari telah berlalu sejak peristiwa yang menggemparkan Desa Pathok itu. Ada kesedihan, dan ada kesenangan keduanya seperti gelap dan terang berdampingan. Ratapan dan tangisan masih terasa atas orang-orang tua yang kehilangan anak-anak mereka. Tak terkecuali Ki Seladharma dan istrinya yang kehilangan kedua anak pertamanya. Namun kehidupan di desa itu tetap berjalan. Sebagaimana yang diucapkan Ki Seladharma, mereka mengadakan pesta besar di pendapa desa. Daging yang mereka dapatkan itu dimasak dan dimakan bersama-sama. Daging itu terlalu banyak untuk dihabiskan dalam dua hari oleh penduduk desa. Pesta itu juga dimeriahkan dengan musik gamelan, tarian, dan tembang-tembang sukacita. Ada pula pertunjukan wayang kulit. Orang dewasa, anak-anak, pria, wanita, tua, muda. Semuanya bersukacita menikmati pesta.
Â
Ki Seladharma berdiri di depan tangga pendapa. Tatapannya datar. Kedua anak buah setianya menghampirinya. Karta dan Sujiman.
Â
"Pestanya sangat meriah, Ndara." Kata Sujiman. Bandara (dibaca: bendoro) adalah panggilan untuk orang terhormat terutama bangsawan di Jawa. Keluarga Seladharma memang terkenal sebagai juragan terkaya di desanya. Memiliki rumah mewah, tanah, sawah dan perkebunan di mana-mana. Tak seorang pun berani mencari masalah dengan keluarga tersebut. Dan tidak sedikit warga desa yang mencari muka dengannya.
Â
"Hmm..." Ki Seladharma hanya menyahut singkat.
"Ndara tidak mau ikut minum? Ndara Putri Sumirah juga tampaknya masih berduka, walau sudah mau berbaur dan berbincang dengan ibu-ibu yang lain." Ujar Karta. Sumirah adalah istri Ki Seladharma.
"Kalian saja yang minum, aku sedang tidak ingin." Jawab Ki Seladharma. "Aku senang, istriku sudah terlihat lebih baik. Sejak kemarin ia tidak mau bicara."
Â
"Nyuwun pangapura (Mohon maaf), Ndara. Bagaimana soal... Jaka Pening?" Tanya Karta tiba-tiba. "Ndara tidak ingin memakamkannya juga, bagaimana pun dia anak Ndara juga bukan?"
Â
Ki Seladharma menatapnya tajam. Namun kemudian tersenyum sinis.
Â
"Apa peduliku dengan anak sial itu? Aku tidak sudi punya anak penyakitan dan pembawa sial seperti dia." Ucapnya dingin dan datar. "Lagipula... belum tentu juga dia anakku. Apa kalian lupa? Karta dan Sujiman, kalian juga ikut menodai Ginarsih setelah aku yang melakukannya. Bisa saja anak itu dari benih kalian."
"Maaf, Ndara." Ucap Karta.
"Sudahlah, lupakan soal anak pembawa sial itu. Kita seharusnya senang dia mati, daripada hidup dan merepotkan kita. Benar kan?"
"Iya, benar Ndara." Jawab Karta dan Sujiman.
Â
Pesta terus berjalan meriah. Semua orang tenggelam, tenggelam dalam kesenangan duniawi.
Â
^^^^^^^
Â
Di tempat lain, yakni di tengah hutan belantara. Di antara rerumputan dan bebatuan, sesosok tubuh manusia tampak bersinar. Tubuh itu bergerak perlahan. Bangkit dan membuka mata untuk pertama kalinya. Bersamaan dengan cahaya yang memancar, entah dari mana bunga-bunga kamboja berguguran menghujani tubuh manusia itu perlahan. Sesosok pemuda belia, matanya terbuka untuk pertama kalinya. Sebelah tangannya spontan menutupi matanya yang silau oleh matahari. Detik itu juga ia tertegun, terkesima. Melihat kedua tangan yang ia miliki untuk pertama kalinya. Memandangi tubuh yang ia miliki sekarang. Meraba wajahnya. Berdiri perlahan.
Â
"Aku mendapatkan tubuh manusia...." Ucapnya. "Aku mendapatkan tubuh manusia. Sekarang aku menjadi manusia. Aku telah menjadi manusia...."
Â
Ia menyatukan kedua telapak tangannya. Memejamkan mata.
Â
"Terima kasih Tuhan.... sekarang aku menjadi manusia. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali ke wujud asliku sesekali, tapi aku senang.... sekarang aku memiliki tubuh manusia. Tubuh yang indah. Romo, Biyung.... tapaku berhasil. Baru Klinthing putra kalian telah menjadi manusia." Ucapnya. Romo dan Biyung adalah termasuk panggilan ayah dan ibu dalam bahasa Jawa.
Â
      Ya, sosok itu bernama Baru Klinthing. Putra Ki Ageng Mangir Wanabaya dari Desa Mangir, Kademangan Mangiran. Seorang putra yang lahir dalam wujud seekor naga. Dan tubuh yang ia miliki sekarang tidak lain adalah tubuh Jaka Pening. Pemuda malang yang meninggal akibat kebiadaban manusia kepadanya. Baru Klinthing sebelumnya telah mati, tubuh naganya dipotong-potong oleh warga Desa Pathok. Namun kematiannya hanyalah kematian semu, belum sampai pada ajal yang sebenarnya. Jiwanya secara ajaib merasuk ke dalam tubuh Jaka Pening yang telah ia kenal. Dan dengan pengaruh kesaktiannya, tubuh itu kini bangkit tanpa kurang satu apa pun.
Â
      Tak ada luka tusukan atau pukulan, tak ada memar atau sakit lainnya. Tubuh yang sebelumnya lemah, berpenyakitan dengan kulit dipenuhi kudis, kadas, panu dan kurap itu sekarang sehat dan bersih sempurna. Kulitnya bersih, langsat terang dan halus. Tak ada lagi bau anyir dari tubuh itu, berganti dengan harum bunga kamboja. Wajahnya tampan bersinar, ia terlihat sebagai remaja yang manis. Sorot matanya sendu, namun tajam dan tegas. Matanya indah bersinar. Rambutnya yang sedikit panjang sebahu, tampak halus indah dihiasi ikat kepala putih. Baju putih dan celana hitam yang dikenakannya sekarang menjadi bersih dan wangi. Cahaya menerangi tubuhnya.
Â
Dan kini... Baru Klinthing dalam tubuh Jaka Pening beranjak meneruskan perjalanannya.
Â
Tapi siapakah Baru Klinthing sebenarnya? Mari kita telusuri kisahnya.~
Â
~~~~~
Â
      Alkisah, di Desa Mangir, hidup seorang pertapa sakti yang sangat disegani. Orang-orang mengenalnya sebagai Ki Ageng Mangir Wanabaya. Seorang tetua yang dihormati. Desa Mangir sendiri terletak di Kademangan Mangiran, di wilayah Kadipaten Mataram. Ya, pada saat itu Mataram adalah sebuah kadipaten atau keadipatian di bawah Kesultanan Pajang. Pemimpin Kadipaten Mataram saat itu adalah Panembahan Senapati atau Danang Sutawijaya. Baik Ki Ageng Mangir maupun Panembahan Senapati sendiri, merupakan keturunan dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Bagus Wanabaya (nama asli Ki Ageng Mangir Wanabaya), adalah keturunan dari Lembu Peteng atau Bondan Kejawan, putra Prabu Brawijaya yang menikahi Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub (Jaka Tarub) dan Dewi Nawang Wulan.
Â
      Meski masih saudara, namun Ki Ageng Mangir memilih untuk tidak terlibat apalagi takluk kepada Panembahan Senapati yang ingin memberontak Kesultanan Pajang. Ki Ageng Mangir sendiri terkenal sebagai pertapa sakti mandraguna dan sulit dikalahkan. Ia juga memiliki banyak pusaka sakti. Salah satu pusaka kebanggaannya adalah sebuah keris penjelmaan dari siluman naga. Keris itu memiliki hawa maut dan kekuatan yang luar biasa.
Â
      Suatu hari, datanglah Endang Sawitri, kembang Desa Mangir yang cantik rupawan. Putri Ki Demang Taliwangsa, sesepuh Kademangan Mangiran. Endang Sawitri datang menemui Ki Ageng Mangir dengan maksud hendak meminjam keris pusaka untuk upacara bersih desa yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Semula Ki Ageng merasa ragu untuk meminjamkannya, namun Endang Sawitri terus memohon.
Â
"Saya mohon dengan sangat, Ki Ageng sudi meminjamkan keris pusaka itu. Romo membutuhkan keris pusaka tersebut, untuk keperluan ritual dalam upacara bersih desa nanti. Ini penting sekali." Kata Endang Sawitri.
"Baiklah, Nini. Saya akan pinjamkan keris pusaka itu. Tapi Nini harus menjaganya dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Dan ingatlah pantangannya, jangan sekali-kali keris itu diletakkan di pangkuan seorang perawan!"
"Baik Ki Ageng, akan saya ingat pantangan itu. Terima kasih."
Â
      Dan begitulah, Endang Sawitri pulang ke rumahnya dengan membawa keris pusaka tersebut. Begitu ia sampai di rumahnya, orang-orang sudah sibuk bergotong-royong mempersiapkan upacara merti desa (bersih desa). Sebuah tradisi syukuran sekaligus berdo`a menolak bala, yang diadakan setiap bulan Sapar (Safar) sebelum musim panen tiba. Para pria sibuk mempersiapkan tempat dan peralatan upacara. Para wanita mempersiapkan makanan dari hasil bumi untuk diarak. Keluarga Ki Demang tampak sangat sibuk, begitu pun para tetangga semuanya saling membantu.
Â
"Witri, kamu sudah pulang Nduk?" Nyi Demang melihat anaknya sampai di teras rumah.
"Iya Yung, lihatlah... Ki Ageng bersedia meminjamkan pusaka ini.?"
"Ah... syukurlah."
"Di mana Romo, Yung."
"Romomu sedang ikut rapat dengan dewan desa. Sebentar lagi juga pulang. Lebih baik sekarang kamu bantu budhe dan bulikmu dulu ya, Biyung mau ke dapur dulu." Ucap Nyi Demang seraya beranjak ke dapur. Budhe adalah panggilan bibi untuk kakak perempuan ayah dan ibu. Sedangkan bulik adalah panggilan bibi untuk adik perempuan ayah dan ibu.
Â
      Endang Sawitri pun duduk di teras bersama para bibi dan sepupunya, memotong-motong daun pisang dan menyusun makanan. Ah... keris pusaka itu agak merepotkannya. Takut juga mau diletakkan sembarangan. Pada saat itulah, Endang Sawitri lupa akan pantangan yang dikatakan oleh Ki Ageng Mangir. Keris itu ia letakkan begitu saja di atas selendang dan jariknya, tepat di pangkuannya. Semula gadis itu tak merasakan apa-apa, sampai kemudian matanya membelalak melihat keris itu berubah menjadi cahaya putih dan menghilang. Seperti... seperti masuk ke dalam perutnya. Dan ia tidak merasakan apa-apa.
Â
      Gadis cantik itu pucat dan berteriak panik. Bagaimana jika ayahnya dan Ki Ageng Mangir sampai tahu kelalaiannya? Para wanita di sekelilingnya yang melihatnya panik kebingungan dan mendekatinya. Endang Sawitri tak tahu harus bagaimana, harus berkata apa. Ia pun pingsan karena ketakutannya. Nyi Demang panik luar biasa melihat putri semata wayangnya begitu. Tepat beberapa saat kemudian Ki Demang Taliwangsa pulang. Endang Sawitri dibawa ke kamar, dipanggilkan seorang tabib. Dan di sinilah, hal mengejutkan itu terjadi. Tabib mengatakan bahwa Endang Sawitri hamil. Kandungannya masih sangat muda.
Â
      Ki Demang dan istrinya bak disambar petir. Mustahil putri mereka berbuat zina. Sebelum semuanya menjadi kacau, tiba-tiba datanglah Ki Ageng Mangir Wanabaya. Ki Ageng Mangir rupanya telah mendapatkan penglihatan atas apa yang menimpa Endang Sawitri.
Â
"Ketahuilah Ki Demang, putrimu memang tidak melakukan apa-apa. Bayi yang ada pada rahim anakmu, adalah penjelmaan dari penunggu pusakaku. Endang Sawitri telah melanggar pantanganku, untuk tidak meletakkan keris itu di pangkuan seorang perawan. Sedangkan dia termasuk perawan itu sendiri. Dan begitulah, penunggu pusaka itu memilih putrimu sebagai ibunya untuk dirinya dilahirkan kembali." Jelas Ki Ageng Wanabaya dengan tenang, tanpa ada kemarahan atau kepanikan sama sekali.
Â
"Tolong maafkan kelalaian putri saya Ki Ageng. Lantas kami harus bagaimana, Ki? Bagaimanapun Witri masih perawan, tentu akan menjadi aib bila orang-orang tahu dia hamil di luar nikah. Aku bahkan telah menyuap tabib tadi untuk tidak memberitahukannya kepada siapa-siapa." Ki Demang tampak bingung dan sedih.
"Bagaimanapun, aku juga bertanggung jawab atas hal ini Ki Demang. Sebagai bentuk tanggung jawabku, aku akan menikahi anakmu. Apalagi janin yang ia kandung adalah penjelmaan pusakaku, bisa dikatakan bayi itu adalah anakku. Tapi itu jika Endang Sawitri bersedia."
Â
      Tak ada jalan lain. Peristiwa ini tak boleh menjadi aib. Endang Sawitri pun bersedia menikah dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Pernikahan mereka diadakan bersamaan dengan acara merti desa. Mereka pun menikah dengan cara Islam sebagaimana pernikahan di masa Kesultanan Pajang dan Mataram. Ki Ageng Mangir sendiri menganut agama Islam dengan aliran Syekh Siti Jenar. Waktu terus berlalu. Tak terasa, kandungan Endang Sawitri semakin besar. Hati Endang Sawitri cukup terhibur karena kasih sayang Ki Ageng Mangir yang tulus dan senantiasa menjaganya. Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di saat kandungan Endang Sawitri sampai tujuh bulan, Ki Ageng Mangir pamit pergi untuk meneruskan pertapaannya di Gunung Merbabu. Meski dengan berat hati, Endang Sawitri melepas kepergian suaminya.
Â
      Sampailah saat Endang Sawitri melahirkan. Ia dibantu keluarganya. Endang Sawitri melahirkan dengan selamat. Namun alangkah terkejutnya mereka sekeluarga, karena bayi yang lahir bukanlah manusia. Melainkan seekor ular naga kecil, warnanya keemasan. Mereka tak berani berkomentar apa-apa, sebab mereka sudah tahu kalau bayi naga itu adalah penjelmaan dari penunggu pusaka Ki Ageng Mangir yang masuk ke rahim Endang Sawitri. Endang Sawitri tetap merawat dan menyusui bayi naga itu dengan penuh kasih sayang. Naga itu tampak sangat jinak dengan ibunya. Seluruh warga desa yang mengetahui hal itu juga tidak berani berkata apa-apa.Â
      Semakin hari bayi naga itu tumbuh besar. Ajaibnya, ia bisa bicara layaknya manusia, layaknya anak laki-laki. Endang Sawitri memberinya nama "Baru Klinthing". Baru diambil dari kata "bra", artinya orang yang berkedudukan tinggi. Sedangkan klinthing berarti lonceng. Lonceng merupakan lambang langit atau kebijaksanaan.
Â
      Suatu hari, Baru Klinthing melihat ibunya bersedih. Rupanya Endang Sawitri merindukan suaminya, Ki Ageng Mangir. Baru Klinthing pun mohon izin kepada biyungnya, untuk menyusul romonya ke Gunung Merbabu. Meski semula ragu dan berat hati, Endang Sawitri akhirnya mengizinkan anaknya pergi menemui ayahnya. Baru Klinthing menyadari bahwa ia terlahir dengan kesaktian luar biasa. Meski tanpa sayap, ia mampu terbang menyusuri langit untuk mencari ayahnya. Namun kekuatannya belum tumbuh sepenuhnya. Baru Klinthing menceburkan dirinya ke dalam Kali Progo. Mencoba melewati jalan air. Tanpa ia duga, kekuatannya menjadi berlipat-lipat saat tubuhnya menyentuh air sungai. Baru Klinthing keluar dari sungai dengan perubahan luar biasa. Ia menjadi naga raksasa yang sangat kuat dan mengerikan. Sisiknya keemasan, bertanduk, bergigi runcing. Matanya seperti sepasang matahari. Suaranya menggelegar, pergerakannya mengguncang setiap tempat.
Â
      Baru Klinting kini menjadi kelaparan. Jika biasanya ia makan telur atau ayam dan bebek hidup, kali ini napsu makannya tidak terkendali. Hawa jahat dan haus darah merasuki dirinya, keganasannya. Baru Klinthing kini mulai memangsa manusia yang ia temui di sekitar Kali Progo. Tukang sampan di kali itu pun bernasib malang, menjadi santapannya. Semua  orang ketakutan melihatnya. Baru Klinthing kini menjadi petaka di kawasan Mataram. Sampailah hal itu dalam penerawangan Ki Ageng Mangir Wanabaya di pertapaannya. Ki Ageng Mangir tahu, Baru Klinthing adalah penjelmaan keris pusakanya yang merasuk ke dalam perut Endang Sawitri. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, Panembahan Senapati takkan segan mengincar kepala Ki Ageng Mangir karena dianggap gembongnya perusuh. Semua orang tahu Endang Sawitri adalah istri Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Â
      Sampailah Baru Klinthing di kaki Merbabu. Ki Ageng Mangir telah berdiri tegak menunggunya sambil memegang tongkatnya. Wajahnya dingin, namun tetap tampak berwibawa, seakan mampu menggenggam waktu dengan ketenangannya. Auranya memancar begitu kuat. Baru Klinthing langsung bisa merasakan aura itu. Ia pun menjatuhkan dirinya, bersujud sembah kepada sang romo. Dalam ketenangannya, Ki Ageng Mangir sebetulnya sangat murka mengetahui Baru Klinthing telah memangsa manusia. Membuat keributan dan ketakutan mengerikan di seantero Mataram.
Â
"Baru Klinthing, jika kau ingin aku akui sebagai putraku... maka tunjukkanlah baktimu sekarang. Kau harus menebus dosamu karena telah membunuh manusia-manusia yang tidak bersalah." Ucap Ki Ageng Mangir penuh penekanan.
Â
"Apa yang harus Ananda lakukan, Romo?" Tanya Baru Klinthing penuh penyesalan.
Â
"Menjauhlah dari tempat ini! Pergilah ke Gunung Telomoyo, dan bertapalah di sana sampai pada waktu yang tidak ditentukan. Kau harus bertapa dengan melingkari Gunung Telomoyo dengan tubuhmu yang besar dan panjang itu, hingga kepala dan ekormu menyatu. Kelak akan ada waktunya, kau mendapatkan wujud manusia."
Â
"Ananda siap menjalankan titah Romo."
Â
      Dan begitulah jalannya. Baru Klinthing mematuhi perintah sang romo, demi menebus dosa dan menunjukkan baktinya. Ia bertapa dengan melingkarkan tubuhnya di Gunung Telomoyo. Namun perut gunung itu terlalu besar, tak cukup untuk mempertemukan kepala dengan ekornya. Baru Klinthing akhirnya menjulurkan lidahnya yang panjang menyentuh ekornya.Â
      Ki Ageng Mangir merapal mantra, dan mengarahkan tangannya memotong lidah Baru Klinthing dengan kekuatannya, tanpa Baru Klinthing merasakan sakit sama sekali. Lidah itu menjelma menjadi sebuah tombak pusaka sakti. Ki Ageng Mangir membawa tombak pusaka itu yang ia beri nama "Tombak Kiai Baru Klinthing". Baru Klinthing cukup senang, setidaknya bagian tubuhnya bermanfaat bagi ayahnya. Sesuai perintah ayahnya, Baru Klinthing tetap meneruskan pertapaan sampai kelak menjadi manusia. Dan Tombak Kiai Baru Klinthing itu dibawa oleh Ki Ageng Mangir ke Mataram. Konon, tombak itu sama saktinya dengan "Tombak Kiai Pleret" milik Panembahan Senapati.
Â
~~~~~
Â
      Demikianlah, kisah dari Baru Klinthing itu sendiri. Selama beberapa tahun ia bertapa melingkari Gunung Telomoyo itu, hingga hari ini ia hidup kembali sebagai anak manusia yang tampan, melalui tubuh Jaka Pening yang telah tiada. Baru Klinthing cukup senang dengan tubuh barunya. Kini ia mulai meninggalkan hutan, berjalan menuju pedesaan yang terletak di lembah, di lereng Gunung Telomoyo ini. Menuju Desa Pathok yang terdekat dengannya sekarang, bersebelahan dengan Desa Wingit.Â
       Hatinya masih merasa teriris saat penerawangannya menangkap ingatan Jaka Pening semasa hidupnya. Baik Desa Wingit maupun Desa Pathok, penduduknya begitu kejam dan angkuh. Baik yang kaya maupun yang miskin, semua sama saja. Egois dan tinggi hati. Apa yang harus Baru Klinthing lakukan sekarang? Ia kurang yakin. Namun sekarang ia memutuskan turun ke desa, mulai berbaur dengan kehidupan manusia. Baru Klinthing melihat kerumunan pesta di pendapa desa. Dan sekarang ia kelaparan.
Â
"Hei orang asing! Siapa kamu? Mau apa kamu ke sini?" Hardik Sujiman saat Baru Klinthing berniat masuk ke gedung pendapa.
Â
"Aku Jaka Pening, Tuan. Tuan tidak mengenalku?" Kata Baru Klinthing. "Aku anak yang kemarin menunjukkan goa itu kepada kalian. Lalu kalian meninggalkanku begitu saja dalam keadaan pingsan."
Â
Semua orang terkejut.
Â
"Jangan bohong! Jaka Pening sudah mati, kalau pun selamat dia tidak mungkin kembali dalam keadaan sehat secepat ini." Ucap Karta tidak percaya.
"Iya benar, lagipula Jaka Pening itu punya penyakit kulit. Dia jelek, bau, buruk rupa. Tidak setampan kamu." Ucap seorang ibu-ibu.
Â
"Tapi inilah kenyataannya. Lihat! Aku masih hidup. Tuhan menghidupkan aku kembali dalam keadaan sehat sentosa." Jawab Baru Klinthing ringan.
Â
"Oh... aku mengerti sekarang." Ucap seorang bapak-bapak. "Kalian ingat kan? Jaka Pening anak pembawa sial dan kutukan. Jangan-jangan dia keturunan setan, makanya bisa hidup lagi walaupun sudah kita bunuh kemarin."
"Iya benar, dia pasti keturunan setan! Ginarsih berhubungan dengan siluman sampai hamil."
"Awas, jangan dekat-dekat dia! Nanti bisa kena sial."
"Jauhi dia!"
Â
Semua orang terus mencaci dan menghina Baru Klinthing dalam tubuh Jaka Pening.
Â
"Tuan, aku datang kemari bukan untuk membuat keributan. Aku kelaparan. Berilah aku sedikit makanan yang kalian punya, makanan sisa pun tidak apa. Kalau kalian tidak mau dekat denganku, aku akan makan di luar saja. Aku janji tidak akan masuk." Pinta Baru Klinthing memohon.
Â
"Jangan banyak bicara, pergi! Kami tidak mau terkena sial karena kamu."
Â
"Ya, pergi sana! Kamu hanya membawa kutukan di mana-mana."
Â
"Tinggalkan desa ini!"
Â
"Kami tidak sudi membagi makanan dengan orang asing, apalagi anak haram pembawa sial seperti kamu!"
Â
"Pergi kamu!"
Â
      Orang-orang menghina dan meludahinya, menyeret dan menendangnya keluar. Orang-orang tua dan anak-anak kecil melemparinya dengan batu. Baru Klinthing segera lari dengan hati pedih. Mungkin ini juga perasaan Jaka Pening yang masih tertinggal di sana. Dapat ia lihat dari kejauhan, Ki Seladharma memerhatikannya dari jauh dengan tatapan dingin dan datar. Laki-laki iblis itu tak melakukan apa pun. Dan untuk apa juga Baru Klinthing harus peduli?
Â
      Baru Klinthing pergi, menjauh dari pendapa desa. Hatinya kini dipenuhi kebencian dan dendam kepada warga kedua desa ini. Ia bersumpah akan menghukum perbuatan mereka. Sekarang ia harus ke mana? Di dekatnya berdiri, ada sebuah gubuk tua. Seorang nenek tua duduk menampi beras dalam tampah bambu. Baru Klinthing mendekatinya.
Â
"Kula nuwun (Permisi)...." Ucapnya. "Maaf mengganggu, Nyai."
Â
"Eh, ada apa cah bagus (anak tampan)?" Sahut nenek itu.
Â
"Saya kelaparan, Nyi. Saya belum makan sudah beberapa hari ini. Bisakah saya minta sedikit makanan?"
"Kamu bukan orang sini, tho? Kok saya baru lihat?"
"Nama saya Jaka Pening, Nyi. Saya dari desa sebelah."
"Oalah, Gusti. Kamu anak yang sejak kemarin dibicarakan warga itu, tho?! Sini masuk dulu, Ngger..." Ucapnya ramah. "Saya Nyi Latung. Kamu kenapa ndak ke pendapa desa saja? Semua orang pada pesta daging di sana. Nyai lagi ndak enak badan, makanya di rumah. Apakah... mereka mengusirmu, Ngger?"
Â
"Iya, Nyi. Mereka mengusir dan memukuli saya. Nyai mungkin sudah mendengar tentang saya dari orang-orang. Saya dianggap pembawa sial dan kutukan."
Â
"Jahat sekali orang-orang itu! Kamu ndak usah heran. Warga desa sini memang begitu. Jahat, kikir, tamak, sombong, suka seenaknya. Apalagi kepala desanya juga suka begitu dari muda, tukang mabuk, judi, suka main perempuan. Lihat saja, anak mereka baru meninggal tapi sudah bisa berpesta seperti itu. Hati mereka mungkin sekeras batu.
Nyai juga sering merasakan hinaan mereka, makanya Nyai juga jarang bergaul sama warga desa. Nyai juga tahu, kamu anaknya Ginarsih tho?"
Â
"Nyai.... kenal ibu saya."
"Kenal sekali, Ngger. Kakek kamu dulu orang baik, sering bantuin Nyai kalau kesusahan. Ibumu dulu kembang desa. Cantik, baik pula. Suka ngunjungin Nyai dan bantuin Nyai di sini. Dia sudah seperti anak Nyai sendiri. Sayangnya, kehormatannya dirusak oleh binatang-binatang itu. Sudah, Jaka ndak usah pikirkan semua itu lagi. Biarkan Tuhan yang membalasnya. Jaka lapar 'kan? Nyai masih punya makanan, ayo makan!"
Â
      Untuk pertama kalinya, Baru Klinthing merasakan makanan manusia. Nyi Latung menyediakan makanan. Meski cukup sederhana, nasi, sayur lodeh, tempe goreng, dan sambal. Baru Klinthing sangat menikmatinya. Ia makan dengan lahap. Nyi Latung senang melihat Jaka Pening lahap makan, ia menuangkan air minum dari kendi ke sebuah gelas kayu.
Â
"Pelan-pelan saja, nanti tersedak." Kata Nyi Latung.
"Masakan Nyai enak sekali, Jaka baru pertama kali makan seperti ini?" Kata Baru Klinthing di sela makannya.
"Memang, ibumu ndak pernah masak tho Ngger?"
"Ini pertama kalinya aku makan makanan manusia."
"Haah...?!"
"Eh, eee... maksud Jaka, ini pertama kalinya Jaka makan enak sejak Ibu meninggal. Apalagi berhari-hari kemarin Jaka kelaparan di hutan."
Â
"Kasihan kamu, Ngger. Anak seganteng kamu kok hidupnya sengsara sekali. Sudah, kalau Jaka ndak punya tempat tinggal dan bingung mau ke mana, Jaka tinggal di sini saja. Nyai juga sendirian di sini. Tidak punya anak. Suami Nyai juga sudah lama meninggal. Nyai ndak punya keluarga."
Â
"Terima kasih banyak, Nyi." Ucap Baru Klinthing terharu. "Tapi mungkin... setelah ini aku harus pergi."
"Lho... pergi ke mana?"
"Ada sesuatu yang harus aku selesaikan, Nyi. Termasuk menghukum para penduduk desa."
"Haah...?!"
Â
Baru Klinthing menyelesaikan makan-minumnya. Ia menatap Nyi Latung secara mendalam. "Nyai, terima kasih atas pertolongan Nyai. Ketahuilah, aku sebenarnya adalah jiwa lain yang merasuk ke dalam tubuh Jaka Pening untuk membalaskan dendamnya. Namaku Baru Klinthing. Jaka Pening sendiri sudah mati di tangan manusia-manusia biadab itu. Dan sebentar lagi.... mereka semua akan menerima balasannya.
Â
Nyi Latung. Sebentar lagi akan ada banjir besar menenggelamkan desa ini. Selamatkanlah diri Nyai dengan sebuah lesung, bersiaplah dari sekarang. Selamat tinggal, Nyai."
Â
Nyi Latung masih terpaku di tempatnya, manakala sosok Baru Klinthing itu menjelma menjadi cahaya putih dan lenyap ke langit. Suara Baru Klinthing seperti masih menggema. Terutama peringatannya.
Â
"Persiapkanlah dirimu, Nyai. Sekarang juga! Sebentar lagi desa ini akan tenggelam, bersama dengan kesombongan mereka."
Â
"Oh... Gusti!" Ucap Nyi Latung. "Apakah aku sedang bermimpi? Tidak, apa yang akan terjadi setelah ini?"
Â
^^^^^^^
Â
      Siang yang cerah. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk sebuah petaka. Namun lagi dan lagi takkan pernah ada waktu yang bisa dibilang tepat. Para warga desa di pendapa itu masih menikmati pesta, manakala sosok Baru Klinthing muncul kembali. Berdiri di depan pendapa desa dengan tatapan tajam membunuh. Tangan kanannya memegang sebuah lidi yang panjang dan kokoh.
Â
"Hari ini juga, lenyaplah kesombongan kalian."Â
Â
"Hei, anak haram! Mau apa lagi kamu ke sini?" Hardik seorang bapak-bapak.
"Mau bikin keributan lagi kamu?!"
"Pergi! Kami tidak mau terkena sial gara-gara kamu."
 "Walaupun sekarang kamu sudah tidak penyakitan lagi, kamu tetap anak pembawa sial. Anak haram!"
"Iya, pergi sana!"
Orang-orang mulai mengerumuni Baru Klinthing. Baru Klinthing tersenyum sinis.
Â
"Sabar, Tuan-Tuan semua. Tenanglah..." Ucapnya ringan. "Aku datang kemari bukan untuk membuat keributan. Tapi aku punya permainan menarik, berikut hadiahnya. Mari kita bermain!"
Â
"Permainan apa?!" Tanya seorang pemuda tidak sabar.
Â
Baru Klinthing menunjukkan sebuah kantung hitam yang cukup besar di tangannya. Ia tunjukkan isinya sekilas. Warga desa itu heboh, seketika itu juga keluarlah sifat tamak mereka. Begitu banyaknya koin emas dalam kantung kain hitam itu. Koin emas yang tidak lain adalah penjelmaan sisik naga Baru Klinthing. Baru Klinthing mengambil beberapa koin dan melemparkannya ke tanah. Sontak para warga berebut mengambil koin emas itu.Â
Baru Klinthing tersenyum sinis. Dasar jiwa-jiwa pengemis..!
Â
"Kalian lihat lidi di tanganku ini?" Ucap Baru Klinthing dengan suara lantang. "Ini bukan lidi sembarangan. Aku akan tancapkan lidi ini di tanah. Dan barangsiapa dari kalian yang berhasil mencabut lidi ini, akan kuberikan seluruh koin emasku ini kepadanya."
Â
Baru Klinthing diam-diam merapal mantra, menyalurkan kekuatannya ke dalam lidi yang ia pegang. Ia tancapkan lidi itu sekuat tenaga ke dalam tanah. Warga desa itu takjub. Tak seorang pun mengira Jaka Pening memiliki kekayaan berupa koin-koin emas yang banyak. Lebih lagi tak seorang pun mengira bahwa Baru Klinthing telah menggunakan kesaktiannya melalui lidi bambu itu.
Â
"Halaaah.... apa sih susahnya cuman nyabut lidi?! Aku juga bisa." Ucap seorang ibu-ibu muda dengan angkuhnya. Namun begitu terkejutnya saat ia rasakan lidi yang ia pegang tak hanya kuat menancap di tanah, namun juga terasa berat.
Â
"Biar aku saja!" Kata seorang pemuda. Namun ia pun sama terkejutnya, begitu berat lidi itu ia rasakan. Pemuda itu sampai jatuh ke belakang.
Â
"Halaah... apa ini?! Nyabut lidi aja tenaganya pada kayak lemper." Seorang bapak berbadan tambun mendekat dengan penuh kesombongan. Namun kesombongan itu pun lenyap manakala ia sampai jatuh tersungkur saking tidak kuatnya menarik lidi itu.
Â
Satu, dua, tiga, semua orang akhirnya berebut dan bersama-sama mencabut lidi itu. Orang dewasa, remaja, hingga anak-anak. Pria dan wanita. Namun semuanya gagal hingga jatuh tersungkur. Wajah mereka merah padam menahan malu dan amarah.
Seorang dukun desa mencoba menggunakan ajiannya untuk mencabut lidi aneh itu. Namun ia seperti dihantam kekuatan yang lebih besar. Tubuhnya terasa remuk dan memuntahkan darah. Ia menatap wajah Baru Klinthing yang juga menatapnya tajam. Baru Klinthing tersenyum kejam ke arahnya.
Â
"Dia benar-benar bukan anak manusia, dia anak setan!" Ucap seorang ibu-ibu. Baru Klinthing tersenyum sinis mendengarnya.
Â
"Bagaimana? Sudah menyerah?" Ucapnya. "Atau masih mau mencoba?"
Â
Para warga desa itu hanya menatapnya dengan beragam ekspresi. Mereka pun tak tahu harus berkata apa. Sebagian warga desa yang lain masih asyik berpesta dalam gedung, tak menghiraukan kerumunan itu.
Â
"Sudah kuduga. Kalian tidak akan bisa mencabut lidi yang aku mantrai ini. Hanya orang berhati bersih dan tulus yang mampu mencabutnya. Sedangkan kalian, bukan orang seperti itu." Ucap Baru Klinthing tanpa beban.
Â
"Maksud kamu apa?!" Teriak seorang ibu-ibu.
Â
"Kalian adalah orang-orang yang tamak, kikir, sombong, dan berjiwa kejam. Hingga kalian tega menyengsarakan seorang anak yang tidak bersalah hanya melalui pandangan kalian saja. Ketahuilah, Jaka Pening yang kalian kenal itu sudah tidak ada. Kalian telah membunuhnya. Dan sekarang, jiwa yang lain telah datang menggantikannya untuk membalaskan dendamnya." Jawab Baru Klinthing dengan suara lantang seperti menggema.
Â
"Apa maksud kamu? Kamu mau balas dendam kepada kami?"
"Memangnya kamu itu siapa?!"
"Kamu itu cuma anak haram, manusia rendahan."
"Dasar anak keturunan setan."
"Kami lebih baik dan mulia daripada kamu, anak haram!"
Â
Baru Klinthing tertawa menyeramkan. Orang-orang desa itu terkesiap.
Â
"Jadi kalian menantangku? Baik... sekarang juga terimalah hukuman kalian!" Ucapnya.
"Hukuman apa?! Ayo buktikan, jangan banyak omong!"
"Dasar anak tidak tahu diri."
"Anak kemaren sore saja, ngocehnya banyak."
"Yang ada setelah ini kamu yang akan kami bunuh."
"Ayo, mana hukumannya? Kamu cuma omong besar."
"Huuuuuuu........!!!!!"
Â
      Baru Klinthing merapal mantra, menggerakkan tangannya secara ringan mencabut lidi itu. Halilintar seketika menyambar-nyambar di langit. Para warga terkejut. Lebih terkejut lagi saat dari bekas tancapan lidi itu memancar air yang sangat deras dan tinggi dari dalam bumi. Air itu mengalir tiada henti, membanjir ke mana-mana.
      Tanah di sekitar mereka mendadak bergetar hebat. Bumi seakan mengamuk. Tanah-tanah itu terkikis mengeluarkan air. Semua orang panik luar biasa, berteriak dan berlarian ke sana ke mari menyelamatkan diri. Begitu pula orang-orang di dalam gedung. Ki Seladharma bersama istri dan anaknya keluar dari gedung pendapa. Pesta menjadi kacau balau.
Â
      Baru Klinthing dalam tubuh Jaka Pening masih berdiri tegak di tempatnya. Tersenyum kejam menatap semua orang. Kedua matanya berkilat tajam, memancarkan cahaya kekuningan. Taring dan lidahnya memanjang sebagaimana ular naga, menatap Ki Seladharma dari kejauhan yang juga menatapnya. Baru Klinthing mengeluarkan kekuatannya, seluruh desa di lembah itu dihujani api. Begitu pula rumah dukun Ki Balapati di Desa Wingit yang sekarang panik rumahnya kebakaran. Ia pun tak sempat menyelamatkan diri. Semua tanah di lembah itu terkikis, air membanjiri semuanya dan semakin tinggi.Â
      Baru Klinthing akhirnya kembali ke wujud aslinya, seekor ular naga raksasa yang sangat mengerikan. Suaranya mendesis menyeramkan. Orang-orang yang melihatnya hampir mati ketakutan.
Â
      Baru Klinthing dalam wujud naganya terbang di langit-langit. Menatap kehancuran itu secara perlahan, pasti. Semuanya hancur, tenggelam tak bersisa. Suara teriakan dan tangisan terdengar bersahut-sahutan, lama-kelamaan hilang ditelan air bah. Banjir itu menenggelamkan rumah bahkan pohon kelapa yang paling tinggi. Tak seorang pun dari mereka yang selamat, selain Nyi Latung nenek baik hati itu. Nyi Latung yang sudah bersiap kini berperahu dengan lesung padinya, mendayung dengan pemukul padi dan centong nasinya. Ia hanya bisa menatap sedih semua warga desanya yang tidak selamat.Â
Begitu hebatnya kesombongan menenggelamkan manusia sampai pada ajalnya...
Â
      Konon, sampai hari ini ular naga Baru Klinthing masih menghuni tempat yang kini menjadi danau besar berair bening itu. Danau itu di kemudian hari dikenal sebagai "Rawa Pening", terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Panjangnya melintasi Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Melintasi Gunung Telomoyo, Ungaran, hingga Merbabu. Sungguh suatu jalan dan pelajaran dalam hidup, bahwa kesombongan manusia tidak berarti di hadapan Yang Maha Kuasa. Demikianlah, kisah Baru Klinthing dan perjalanannya.~
Cerita oleh: Fawwaz Andhika YılmazÂ
Â
  Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H