Â
      Orang-orang menghina dan meludahinya, menyeret dan menendangnya keluar. Orang-orang tua dan anak-anak kecil melemparinya dengan batu. Baru Klinthing segera lari dengan hati pedih. Mungkin ini juga perasaan Jaka Pening yang masih tertinggal di sana. Dapat ia lihat dari kejauhan, Ki Seladharma memerhatikannya dari jauh dengan tatapan dingin dan datar. Laki-laki iblis itu tak melakukan apa pun. Dan untuk apa juga Baru Klinthing harus peduli?
Â
      Baru Klinthing pergi, menjauh dari pendapa desa. Hatinya kini dipenuhi kebencian dan dendam kepada warga kedua desa ini. Ia bersumpah akan menghukum perbuatan mereka. Sekarang ia harus ke mana? Di dekatnya berdiri, ada sebuah gubuk tua. Seorang nenek tua duduk menampi beras dalam tampah bambu. Baru Klinthing mendekatinya.
Â
"Kula nuwun (Permisi)...." Ucapnya. "Maaf mengganggu, Nyai."
Â
"Eh, ada apa cah bagus (anak tampan)?" Sahut nenek itu.
Â
"Saya kelaparan, Nyi. Saya belum makan sudah beberapa hari ini. Bisakah saya minta sedikit makanan?"
"Kamu bukan orang sini, tho? Kok saya baru lihat?"