Â
      Gadis cantik itu pucat dan berteriak panik. Bagaimana jika ayahnya dan Ki Ageng Mangir sampai tahu kelalaiannya? Para wanita di sekelilingnya yang melihatnya panik kebingungan dan mendekatinya. Endang Sawitri tak tahu harus bagaimana, harus berkata apa. Ia pun pingsan karena ketakutannya. Nyi Demang panik luar biasa melihat putri semata wayangnya begitu. Tepat beberapa saat kemudian Ki Demang Taliwangsa pulang. Endang Sawitri dibawa ke kamar, dipanggilkan seorang tabib. Dan di sinilah, hal mengejutkan itu terjadi. Tabib mengatakan bahwa Endang Sawitri hamil. Kandungannya masih sangat muda.
Â
      Ki Demang dan istrinya bak disambar petir. Mustahil putri mereka berbuat zina. Sebelum semuanya menjadi kacau, tiba-tiba datanglah Ki Ageng Mangir Wanabaya. Ki Ageng Mangir rupanya telah mendapatkan penglihatan atas apa yang menimpa Endang Sawitri.
Â
"Ketahuilah Ki Demang, putrimu memang tidak melakukan apa-apa. Bayi yang ada pada rahim anakmu, adalah penjelmaan dari penunggu pusakaku. Endang Sawitri telah melanggar pantanganku, untuk tidak meletakkan keris itu di pangkuan seorang perawan. Sedangkan dia termasuk perawan itu sendiri. Dan begitulah, penunggu pusaka itu memilih putrimu sebagai ibunya untuk dirinya dilahirkan kembali." Jelas Ki Ageng Wanabaya dengan tenang, tanpa ada kemarahan atau kepanikan sama sekali.
Â
"Tolong maafkan kelalaian putri saya Ki Ageng. Lantas kami harus bagaimana, Ki? Bagaimanapun Witri masih perawan, tentu akan menjadi aib bila orang-orang tahu dia hamil di luar nikah. Aku bahkan telah menyuap tabib tadi untuk tidak memberitahukannya kepada siapa-siapa." Ki Demang tampak bingung dan sedih.
"Bagaimanapun, aku juga bertanggung jawab atas hal ini Ki Demang. Sebagai bentuk tanggung jawabku, aku akan menikahi anakmu. Apalagi janin yang ia kandung adalah penjelmaan pusakaku, bisa dikatakan bayi itu adalah anakku. Tapi itu jika Endang Sawitri bersedia."
Â
      Tak ada jalan lain. Peristiwa ini tak boleh menjadi aib. Endang Sawitri pun bersedia menikah dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya. Pernikahan mereka diadakan bersamaan dengan acara merti desa. Mereka pun menikah dengan cara Islam sebagaimana pernikahan di masa Kesultanan Pajang dan Mataram. Ki Ageng Mangir sendiri menganut agama Islam dengan aliran Syekh Siti Jenar. Waktu terus berlalu. Tak terasa, kandungan Endang Sawitri semakin besar. Hati Endang Sawitri cukup terhibur karena kasih sayang Ki Ageng Mangir yang tulus dan senantiasa menjaganya. Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di saat kandungan Endang Sawitri sampai tujuh bulan, Ki Ageng Mangir pamit pergi untuk meneruskan pertapaannya di Gunung Merbabu. Meski dengan berat hati, Endang Sawitri melepas kepergian suaminya.