Â
      Anak laki-laki berumur 15 tahun itu tak mengerti. Mengapa dunia seakan gemar sekali menertawakannya? Dirinya adalah tumpahan kesalahan dan permainan manusia. Segala yang ada pada dirinya adalah kesalahan. Kesialan! Dirinya hidup dibenci dan dihina orang. Jaka Pening, nama remaja itu. Kelahirannya bahkan telah dianggap petaka bagi seluruh warga desa. Tak seorang pun sudi menatap apalagi mendekatinya. Ia sendirian, kesepian, terhina dan tersiksa. Tak ada yang ia miliki di dunia ini selain sang ibunda dan seekor kerbau peliharaannya.
Â
"Jaka Pening... Kamu tahu Ngger, kenapa Ibu memberikan nama itu padamu? Karena Ibu selalu berharap, kamu tumbuh menjadi pemuda yang berhati bening. Menjadi orang yang bersih dan jujur. Kehidupan memang tidak adil kepadamu sejak kamu lahir, tapi semua itu bukan salahmu, anakku. Kamu adalah korban dari mereka yang sewenang-wenang kepada sesama manusia. Harta dan kedudukan membutakan mata dan menenggelamkan pikiran manusia. Dan kesombongan, bisa menjadi milik siapa saja yang kehilangan cahaya di hatinya." Begitulah nasihat yang disampaikan ibunya.
"Siapa sebenarnya bapak Jaka, Bu?"
"Bapakmu tidak lain adalah kepala Desa Pathok, Ki Seladharma. Ya, mungkin saja. Dulu Ibu dan orang tua Ibu tinggal di Desa Pathok. Dan semasa mudanya, Seladharma adalah lelaki yang gemar main perempuan. Dia sering merayu Ibu untuk menjadi gundiknya, tapi tidak pernah Ibu tanggapi. Sampai suatu hari saat pulang dari sawah mengantarkan makanan untuk kakekmu, Ibu dicegat dan dipukuli oleh Seladharma dan kedua anak buahnya. Bajingan itu memerkosa Ibu di sebuah gubuk tua di pinggir hutan, lalu Ibu diserahkan kepada Karta dan Sujiman, kedua anak buahnya itu. Dan mereka bergantian menodai Ibu sebagaimana majikan mereka....
      Nenekmu sudah lama meninggal sejak Ibu masih kecil. Kakekmu sangat murka mengetahui perbuatan anak kepala desa itu. Tapi tak seorang pun membela kami. Ki Sela Kuncoro, ayahnya Seladharma malah menghina Ibu sebagai wanita murahan yang ingin mendekati anaknya demi harta. Seluruh warga desa menghina Ibu dan kakekmu habis-habisan, padahal mereka tahu sifat Seladharma yang suka main perempuan dan membuat kerusuhan. Kakekmu meninggal karena sakit pada jantungnya. Ibu kemudian memutuskan pindah ke Desa Wingit ini. Sampai kemudian Ibu hamil, dan melahirkan kamu."
"Jadi.... itu artinya aku anak haram! Anak yang tidak jelas siapa bapak kandungnya. Hikss... Jadi benar yang dikatakan orang-orang, Bu? Jaka anak haram?!"
"Tidak... anakku! Kamu adalah anak Ibu. Kamu milik Ibu, dan sejatinya kamu milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada anak haram di dunia ini! Kamu sama dengan manusia lainnya yang berharga dan patut dihargai. Dan kamu bukanlah anaknya Seladharma yang telah mencampakkan kita. Karena sejak Ibu mengandung dan melahirkan kamu, Ibu telah berjanji bahwa kau adalah anakku. Hanya anakku seorang. Tak perlu kau ingat tentang bajingan-bajingan itu.
Maafkan Ibu anakku, karena sejak kamu lahir... warga desa ini telah memandangmu sebagai pembawa sial. Hanya karena kamu lahir tanpa seorang bapak, dan kelahiranmu disertai gempa. Serta penyakit kulit yang kamu miliki sejak lahir. Anakku, kehidupan ini memang seringkali tidak adil. Tetapi bukan tugas manusia untuk mengatur tentang takdir, biarlah suatu hari nanti Tuhan membalas semuanya. Kejahatan mungkin bisa menang dan menertawakan kita, tapi tidak akan bisa berkuasa selamanya. Biarlah suatu saat Tuhan menenggelamkan mereka, hingga mereka mati oleh kesombongannya sendiri."
Â