Mohon tunggu...
Dian Kencana
Dian Kencana Mohon Tunggu... -

belajar hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Nada dan Johan (Sebuah Cerpen)

19 Februari 2016   11:58 Diperbarui: 19 Februari 2016   11:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

ϙϙ“Clara, kali ini kau harus menurut padaku. Jika tidak, aku tidak mau jadi kawanmu lagi.”, kata Johan dengan nada mengancam. Clara hanya melirik sebentar. Masih terus asyik dengan laptopnya. 

“Naskahku harus segera selesai. Kau tahu sendiri bukan kalau minggu depan adalah deadlinenya?”, jawab gadis berkacamata itu dengan ketus. Diraihnya cangkir berisi coklat dingin yang berada di samping kanan laptopnya. 

“Ayolah! Apa dirimu tidak jemu terus-terusan berada di depan kotak sialan ini? Aku baru sebentar saja sudah bosan.”

“Siapa suruh dirimu menemaniku di sini?! Toh keinginanmu sendiri kan?”, sahut Clara sewot. Lanjutnya, “Kalau tidak betah, kan kamu bisa pergi dari sini dan keluyuran sendiri.”

“Apa asyiknya nongkrong di café sendirian?”, jawab Johan sambil bertopang dagu.

“Bukannya kamu bisa menghubungi yang lain? Kenapa mesti memaksaku?” 

“Aku sedang berada di rumahmu, berarti aku sedang ingin bersamamu.”, jawab Johan sekenanya. Jelas dia sedang mendongkol. Clara mendengus dingin. 

“Kamu sedang bertengkar dengan adikmu lagi? Masalah apalagi sekarang?”, lirik Clara sambil menyerngitkan dahinya yang putih mulus. Dia mulai tertarik sedikit rupanya. Tapi Johan tetap saja bungkam seolah tidak mendengar. 

“Jika kau tidak mau bicara terus terang, aku tidak mau menemanimu keluar.” Clara balik mengancam. Johan terdengar menghela nafas sebelum akhirnya bicara. 

“Kami berebut pacar.” Katanya dengan nada mengenaskan. Clara tertawa terpingkal-pingkal demi mendengar penuturan polos itu. Ada-ada saja, pikirnya. 

“Responmu itu melukai hatiku tau!”, sahut Johan sambil melotot. 

“Hmmm.. baiklah. Aku akan menemanimu. Tapi aku tetap tidak bisa membuang waktu percuma di sana hanya dengan diam. Jadi kau tidak boleh melarangku membawa kesayanganku ini.”, kata Clara sambil menunjuk laptopnya. Johan melirik sebentar.

“Terserah. Lekaslah berkemas. Aku menunggumu di mobil.”

ϙϙϙ

Café itu tidak begitu ramai. Mungkin karena sore itu habis turun hujan. Orang-orang jelas tidak ingin keluar saat hari hujan, bukan?

Ketika mereka berdua melewati pintu depan, suara music lembut terdengar mengalun dari dalam ruang. Tidak seperti kebanyakan tempat makan lain yang hanya memperdengarkan suara music dari pengeras suara, café yang dipilih Johan ternyata menampilkan suguhan live show music. Bagian depan meja tamu yang berhadapan dengan panggung kecil (jika ingin dibilang begitu karena toh kenyataannya memang tidak ada panggung. Hanya deretan kursi kayu biasa yang diduduki para pemain band) hampir seluruhnya sudah terisi. Ternyata, masih ada satu meja yang berada agak dipinggir yang kosong dan ke sanalah Johan melangkahkah kaki. 

“Kenapa memilih di depan? Aku kan jadi susah konsentrasi!”, sewot Clara sambil menarik lengan Johan.

“Tanggung kau tidak akan kecewa duduk di sini. Kalau toh kecewa, nanti kita bisa pindah. Gampang bukan?”. Clara hanya mendengus pelan dan tetap mengikuti Johan. 

Music masih mengalun dari petikan gitar seseorang di depan sana. Clara sama sekali tidak memperhatikan karena begitu duduk dia langsung menyalakan laptop dan mulai bekerja. Pesanan pun Johan yang menyebutkan karena sudah paham dengan menu wajib teman kecilnya itu: coklat dingin. 

Tepuk tangan para tamu mulai bergema. Ini masih tidak membuat Clara memalingkan  matanya dari layar laptop. Matanya tetap menatap tak berkedip, sedang jemarinya terus menari kian kemari di atas tuts.

Tiba-tiba saja sebuah suara lembut mengalun perlahan. Nadanya lembut nan syahdu menggetarkan jiwa. Tanpa sadar Clara menoleh ke arah suara itu dan …

Tanpa berkedip Clara menatap seseorang yang sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Baru sekarang Clara memperhatikannya dan darahnya seolah menyurut ke kepala membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar.

Johan hanya melirik ke arah temannya itu sambil tersenyum kecil. Dia paham betul selera Clara. Jika tidak benar-benar berkualitas, dia mana berani mengajaknya ke sini(?). Beberapa kali pengalaman sudah membuktikan hal itu. Clara yang gila seni selalu tidak betah untuk tidak berkomentar ini itu jika ada pertunjukan live show seperti sekarang. 

Tak hanya berhenti sampai di situ, bahkan pernah sampai suatu kali saking gemasnya dengan penampilan seorang penyanyi dan bandnya, Clara maju ke depan dan dengan tanpa malu menggelar konser dadakan. Maksudnya tentu untuk mengajari para pemain music itu tentang selera music yang benar. Walaupun toh pada akhirnya tepuk tangan tetap dihadiahkan olehnya dari para tamu, tapi muka para pemain itu benar benar sangat mengenaskan. Johan benar-benar tidak tega jika kejadian itu sampai terulang kembali.

Tanpa sadar Clara menggigit ujung jarinya sambil terus memperhatikan sosok yang sedang berada di depan sana. Clara terlihat benar sedang menikmati sajian music itu. Johan merasa lega benar melihat ini. setelah lagu pertama selesai, Clara mencolek lengan Johan sambil berbisik perlahan,

“Kenapa tidak dari dulu kau mengajakku kemari?”, Tanya Clara gemas. Johan tertawa perlahan. 

“Aku baru tahu kalau ada permainan music begini menarik di sini. Lagi pula saat aku Tanya managernya, ternyata orang yang di depan itu baru beberapa hari bekerja di sini. Tidak kecewa bukan kuajak kemari?”

“Tentu saja tidak.”, sahut Clara sambil kembali memperhatikan sosok yang sedang memegang gitar itu. Orang di depan sana itu Nampak sedang beristirahat sambil membenahi senarnya yang mungkin kurang pas. 

“Kau tahu siapa namanya?”, Tanya Clara lagi. 

“Kenapa tidak kau ajak berkenalan sendiri saja?”

“Kau tidak berani? Sejak kapan?”, tatapan Clara tiba-tiba menunjukkan rasa kaget. Dilihatnya Johan yang memerah mukanya. 

“Dia ternyata beda dari yang lain.”, jawab Johan dengan suara tertahan. 

“Beda bagaimana? Dia menolakmu?”, Tanya Clara dengan wajah tak percaya. 

“Jangan memandangku seperti itu. Sebenarnya bukan aku yang dia tolak tapi adikku.”

“Kenapa dengan Peter?”

“Perempuan itu hanya memandang sekilas saja pada Peter saat dia mengajaknya berkenalan.”, tergelak juga Clara demi mendengar penuturan polos Johan itu. 

“Sssst.. jangan keras-keras!”, tegur Johan. Clara lupa kalau dia sedang berada di keramaian. Seketika dia diam. Namun ternyata ada sepasang mata yang sedang memperhatikan Clara. Bibir milik sepasang mata itu tampak sedang menyunggingkan senyum kecil namun Clara tidak memperhatikannya karena dia sedang asyik menggoda Johan. 

Selang beberapa waktu, beberapa lagu sudah disajikan. Penyanyinya pun sudah berganti orang. Clara mulai agak jemu dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum akhirnya melangkah pulang. Setelah beberapa saat berada di dalam sana, sosok yang telah mengagumkan Clara pergi pula ke sana. 

“Suara Anda tadi indah sekali.” Puji Clara tanpa malu begitu melihat gadis itu. Gadis itu menoleh, lalu tersenyum.

“Terima kasih.”

“Boleh saya berkenalan dengan Anda? saya ingin sekali menjadi teman Anda.” begitu blak-blakannya Clara mengajak gadis itu berkenalan(?). memang seperti itulah sifat Clara. Agak tertegun juga gadis itu.

“Nada.” Kata gadis itu sambil mengangsurkan tangan. Sambil tersenyum lebar Clara menyambut uluran tangan itu. 

“Clara.”

“Clara Notoaksara?” Tanya Nada balik seperti hendak memastikan sesuatu. Yang ditanya hanya terdiam kaget.

“Darimana Anda tahu?” Tanya Clara penuh dengan rasa penasaran.

“Bukankah Anda penulis terkenal? Tentu saja saya tahu karena saya salah satu penggemar berat Anda.” jawab Nada sungguh-sungguh.

“Benarkah?” Tanya Clara masih sarat dengan nada terkejut.

“Tentu saja. Karya-karya Anda luar biasa. Seluruhnya best seller.”

“Darimana kau tahu aku Clara penulis itu?”

“Sudah pernah kucari fotomu di internet dan ternyata yang asli jauh lebih cantik dan menarik.” Puji Nada lagi. Memerah muka Clara mendengar pujian itu. 

“Apa kamu sudah mau pulang?” lanjut Nada. Clara mengangguk. “Bisa menungguku sebentar? Tidak lama. Kumohon..” pintanya dengan wajah memelas. Clara mengangguk lagi. 

“Aku tunggu di luar ya. Ada temanku yang sedang menunggu di sana. Kau tahu bukan di mana tempat dudukku?” Tanya Clara memastikan. 

“Tentu saja.” 

ϙϙϙ

“Lama sekali kau ini. Ketiduran?” Tanya Johan gemas sambil berdiri hendak beranjak.

“Tunggu dulu.”

“Apalagi? Bukannya kau sendiri yang ingin cepat pulang?” kata Johan tak sabaran. 

“Kenapa sih jadi sewot begini?” Tanya Clara heran. 

“Aku …”, belum habis kata-katanya, seseorang sudah menyentuh bahu Clara. 

“Maaf membuatmu menunggu.” Kata Nada.

“Tidak apa-apa.”

“Jadi dia temanmu?” Tanya Nada dengan heran sambil memandang Johan. Yang dipandang pun hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam seperti menahan rasa malu.

“Ya. Ini Johan. Dia teman kentalku sejak kecil.” Jawab Clara sambil tertawa renyah. “Memangnya kenapa?”, lanjut Clara melihat gelagat terasa janggal. 

“Tadi dia mengajakku berkenalan.”

“Dan kau menolaknya?” Tanya Clara dengan nada lucu. Nada mengangguk sambil tersenyum.

“Maaf Johan, aku tidak tahu kalau ternyata kau teman Clara.” Katanya minta maaf sambil memandang sekilas ke arah Johan yang masih khusyuk menunduk. 

“Tidak.. tidak apa-apa. Aku yang tidak tahu diri.” Jawabnya tergagap. Wajahnya masih bersemu merah. Keringat dingin terlihat menghiasi dahinya, membuat Clara ingin tertawa terpingkal-pingkal tapi ditahannya mati-matian. 

“Apa kau selalu seperti ini, Nada?” Tanya Clara penasaran. 

“Menolak orang berkenalan? Tergantung dengan siapa dulu.” Jawabnya sambil tersenyum penuh arti kepada Clara sampai membuat Clara merasa gugup. 

“Clara,” lanjut Nada, “Boleh aku minta nomor handphone dan alamat rumahmu?”

“Tentu saja boleh!”, jawab Clara antusias. 

ϙϙϙ

Handphone Clara sudah berdering beberapa kali tapi tidak juga diangkatnya. Sebuah pesan pun beberapa waktu kemudian tertera di layar. 

Clara sendiri sedang berada di kamar mandi. Dia mana tahu jika sudah ada seseorang yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya? Dengan sabar tamu itu menunggu di sana karena dia tahu Clara berada di rumah. Darimana dia tahu? Selain mobil Clara masih terparkir rapi di carport, suara dering handphonenya ternyata tidak pelan. Benar-benar tidak pelan! 

Begitu Clara keluar dari kamar mandi, terdengar bunyi bel rumahnya berdering. Dihampirinya jendela depan, terlihat seorang gadis sedang berdiri di sana. 

“Cari siapa ya?” Tanya Clara dari balik pintu.

“Aku Nada. Boleh aku masuk?” lekas-lekas Clara membuka pintu begitu tahu siapa yang datang.

“Apa sudah lama? Maaf, aku tadi sedang mandi.” Kata Clara dengan menyesal. 

“Tidak apa-apa.” Dilihatnya Nada setengah basah.

“Hey, apakah di luar sana hujan?”serunya kaget. Dilihatnya di luar memang hujan deras. 

“Kau harus ganti baju. Ayo! Tidak boleh menolak! Bisa-bisa kamu sakit.” Lanjut Clara sambil menarik tangan Nada ke arah kamarnya. 

Nada sendiri hanya menurut. Bagaimana dia bisa berpikir jernih jika yang dilihatnya sekarang ternyata membuatnya sibuk mengatur hati? Ternyata Clara hanya menggunakan selembar kain handuk untuk membalut tubuhnya yang indah itu. 

Clara benar-benar terlihat begitu menggetarkan dengan penampilan seperti ini. sekalipun Nada sudah memejamkan matanya rapat-rapat, ternyata indera penciumannya tidak mau diajak bekerjasama. Bau harum tubuh Clara begitu membetot kesadaran Nada. Antara sadar tak sadar, dia masih berusaha untuk tetap menjaga kewarasannya. 

Ternyata seorang perempuan pun bisa sebegitu memesonakan sesama perempuan lainnya. Terlebih dengan perawakan Clara yang memang sanggup membuat setiap lelaki yang melihatnya tak berkedip: tinggi semampai dengan potongan tubuh yang indah serta kulit kuning langsatnya yang tampak kontras dengan warna hitam rambutnya. Belum lagi dengan wajahnya yang cantik..

ϙϙϙ

“Clara, kamu tinggal sendirian?”

“Begitulah. Orangtuaku sudah lama meninggal.” Katanya dengan nada sedih. 

“Ooh.. maafkan aku yang kurang sopan. Aku.. aku tidak bermaksud membuatmu sedih.” Kata Nada cepat-cepat. Clara menggeleng. 

“Mau aku buatkan cokelat hangat?” 

“Boleh.”

“Jadi, apa kau punya saudara?” Tanya Nada. 

“Aku anak tunggal.” Jawab Clara dengan suara gamang. 

“Kerabatmu yang lain, apa tidak ada?”

“Aku jarang berhubungan dengan mereka. Sejak kecil, aku ikut ayahku ke Perancis. Ibuku meninggal saat melahirkanku.” Cerita Clara dengan nada sedih. Airmatanya pun jatuh bergugur, membuat Nada makin tak enak. Tapi dia pun ingin lebih tahu tentang kehidupan penulis muda ini. jadi toh cepat atau lambat dia tetap harus bertanya juga. 

“Maafkan aku jika benar-benar kurang sopan, Clara. Aku.. aku.. hanya sedikit terobsesi dengan dirimu. Maafkan aku jika terlalu banyak bertanya.” Kata Nada perlahan sambil memeluk Clara hangat. Clara hanya menggeleng pelan tapi air matanya tetap saja keluar tanpa berniat untuk menghapusnya. 

“Sudah. Jangan menangis lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan menemanimu. Aku akan selalu ada untukmu. Aku berjanji.” Kata Nada sambil menghapus air mata Clara dengan tissue.

“Terima kasih. Tapi itu tidak perlu.”sahut Clara sungkan sambil tersenyum lemah. Dia tidak ingin dikasihani. Selama ini hanya ada seorang yang tahu tentang kehidupannya, yaitu Johan. Dan sekarang bertambah satu orang lagi, yakni Nada. 

“Tidak. Kumohon jangan menolakku. Aku bersungguh-sungguh.” Pinta Nada. 

“Tapi kau kan punya kehidupanmu sendiri. Aku tidak ingin mengusiknya …”

“Kau tidak akan mengusiknya.” Bantah Nada cepat-cepat. 

“Kamu baik sekali.” Kata Clara lemah. Kembali air matanya mengalir perlahan. 

ϙϙϙ

“Johan, bisa kamu datang kemari? Aku ingin merayakan sesuatu.” Kata Clara di telepon. 

“Ada apa?”

“Nanti kamu juga bakal tahu. Jangan lupa pukul 6 nanti sore kemari. Tak usah mengajak siapa-siapa. Cukup dirimu seorang saja.” 

“Benar-benar mencurigakan..” komentar Johan. Clara tertawa renyah di ujung sana. 

“Pokoknya, jangan lupa datang kemari. Boleh lebih awal tapi jangan terlambat. Sampai jumpa nanti sore!” 

Klik.

ϙϙϙ

“Jadi, kamu sedang merayakan apa?” Tanya Johan terheran-heran.

“Masuk dulu. Baru datang sudah bertanya begitu. Aneh!” kata Clara sambil menarik tangan Johan. 

Dari dalam terdengar ada seseorang yang berada di dapur. Mencium adanya bau masakan lezat, Johan jadi menyerngitkan dahi. 

“Sejak kapan kamu bisa memasak, Clara?” Clara hanya tertawa saja tanpa menjawab. Membuat Johan kian penasaran. 

Beberapa saat setelah mereka duduk di meja makan, seseorang Nampak keluar dari arah dapur. Johan tertegun melihat siapa sosok tersebut. 

“Hey! Apa sudah lama datangnya?” Tanya orang tersebut dengan suara merdu. Tanpa sadar Johan menoleh ke arah Clara meminta penjelasan. 

“Dia baru saja datang, Nada. Lihatlah, begitu terkejutnya dia melihatmu keluar dari dapurku.” Jawab Clara panjang lebar sambil tergelak. 

“Apakah masih ada bisa kubantu?” Tanya Johan kepada Nada (dan bukan kepada Clara!). 

“Kurasa masih ada yang kurang di sini.” Kata Clara sambil mengamati meja makan dengan bingung. 

“Tentu saja! Johan, tolong bantu aku mengambil beberapa piring makan di dapur. Aku mau berganti baju dulu. Yang ini sudah bau asap dapur.” Pinta Nada dengan muka lucu.

“Tentu saja.”

“Jangan lupa mandi sekalian.” Kata Clara pelan. 

ϙϙϙ

“Benar-benar lezat! Apa ini masakanmu sungguhan?” Tanya Johan tak percaya.

“Tentu saja masakan Nada. Jika aku yang buat, tanggung kau tidak akan kuat sampai 2 sendok.” Sahut Clara. Nada  hanya tersenyum. 

“Darimana kamu belajar memasak?” Tanya Johan lagi. 

“Dari ibuku.” 

“Kau perlu mengajari Clara bagaimana caranya memasak yang baik dan benar. Masakannya itu benar-benar.. benar-benar..” katanya sengaja dibuat mengambang.

“Benar-benar apa?” Tanya Clara dengan sorot mata mengancam. 

“Benar-benar.. benar-benar unik!” jawab Johan akhirnya. Clara masih memelototinya. Nada tertawa. 

“Apa sedemikian parahnya?” Tanya gadis itu sambil melirik ke arah Clara. 

“Hey! Aku sudah memasaknya sesuai resep, tahu!” protes Clara kepada Nada. Nada hanya tertawa. 

“Sesuai resep bagaimana? Kalau benar kamu memasaknya sesuai resep, berarti penulis resep-resep itu tidak becus memasak semua!” sahut Johan.

“Apa katamu?!” Clara mulai tersinggung.

“Itu kenyataannya! Coba saja buktikan dan suruh Nada menilainya!” jawab Johan tak mau kalah. Keduanya saling melotot.

“Sudah.. sudah.. seperti anak kecil saja. nanti kamu aku ajari memasak kalau naskahmu sudah selesai kau buat.” Jawab Nada menengahi. 

“Baik. Aku tunggu!” sahut Johan.

“Lihat saja nanti!” susul Clara. 

“aaah.. kalian ini benar-benar seperti anak kecil.” Kata Nada gegetun. 

ϙϙϙ

“Jadi kamu mengundangku hendak merayakan apa?” Tanya Johan. 

“Ooh.. iya. Aku hampir lupa. Hehee..”

“Jadi?” Tanya Johan lagi dengan penasaran. 

“Aku sekarang sudah punya sahabat baru.”

“Apa? Kamu mau jadi sahabatnya?!” Tanya Johan heran sambil memandang Nada takjub. 

“Memangnya kenapa?” Tanya Nada ikut heran. 

“Dia lebih sering bertengkarnya daripada akur dengan teman-teman perempuannya.” Jawab Johan gegetun. 

“Kenapa bisa begitu?” Tanya Nada makin penasaran. Diliriknya wajah cuek Clara hingga membuatnya merasa geli. 

“Itu karena sifat blak-blakannya yang keterlaluan. Hampir setiap apa saja yang tidak berkenan di hatinya, selalu dia komentari. Lagaknya persis seperti seorang kritikus sastra saja.” 

“Hey! Kalau aku tidak seperti itu, mana bisa aku bisa membuat novel yang selalu best seller?” jengek Clara. 

“Tapi kan sudah berulang kali aku katakan, kalau berteman dengan perempuan kau harus lebih halus. Jangan samakan dengan berteman dengan laki-laki.”

“Aaagh.. itu karena mereka lemah saja. baru dikomentari soal bajunya saja langsung nangis, ngambek.” Sahut Clara ketus. Nada tertawa terbahak. 

“Kamu benar-benar unik, Clara!” puji Nada.

“Tidak usah mencelaku begitu.”

“Penggunaan kataku biarpun sama dengan yang Johan gunakan tapi punya makna berbeda.”

“Kita lihat saja, berapa lama kamu akan betah berteman dengan Clara.” Tantang Johan. 

“Begitukah? Kau ingin bertaruh?”

“Sejak kapan perempuan mau bertaruh?” Tanya Johan heran. 

“Aku berbeda dengan perempuan kebanyakan. Kau tahu?” jawab Nada sambil tertawa misterius. Johan hanya geleng-geleng kepala. 

“Sudahlah. Aku tidak mau dijadikan bahan pertaruhan!” 

ϙϙϙ

“Johan, mau menemaniku pergi ke pameran buku?” Tanya Clara di ujung telepon. 

“Kapan?”

“Mmm.. bagaimana kalau besok sore. Bisa tidak?”

“Langsung ketemu di tempat saja ya? Aku ada rapat menjelang sore. Khawatir macet kalau harus menjemputmu di rumah. Bagaimana?” tawar Johan.

“Baiklah. Sampai ketemu di sana ya. Nanti alamatnya aku kirim lewat sms.”

ϙϙϙ

Suara sirine ambulance terdengar meraung-meraung membelah jalanan. Banyak kendaraan menyingkir memberi jalan. Johan yang setengah mengantuk jadi tersentak demi mendengar suara raungan itu. Tidak dipedulikannya ambulance itu. Pikirannya hanya ingin segera sampai di tempat tujuan. 

Berulang kali dihubunginya handphone Clara tapi tetap tidak aktif. Apa jangan-jangan handphonenya mati dan Clara tidak tahu? Pikir Johan heran. Tak biasanya handphone Clara mati saat mereka sedang janjian bertemu di luar. Tiba-tiba perasaannya jadi tak enak. Belum habis satu menit berlalu, handphone tiba-tiba berdering. Nomor asing. 

“Halo..”

“Johan, ini Nada.” Sahut suara Nada dengan suara parau. Ada apa?

“Yaa. Ada apa dengan suaramu?” Tanya Johan heran.

“Clara kecelakaan.”

“Apa?!”

ϙϙϙ

Dengan langkah setengah berlari Johan membelah lorong rumah sakit. Wajahnya menyiratkan rasa khawatir yang sangat. Hatinya benar-benar merasa takut. Sangat-sangat takut. Begitu berada di sekitar ICU, dia segera memburu kamar tempat Clara dirawat. Dengan langkah perlahan, dibukanya pintu tapi seketika itu juga jantungnya hampir berhenti.

Apa yang dilihatnya benar-benar tidak ingin dia percayai. Timbul berbagai perasaan yang bercolok: ada geram, ada kecewa, ada cemburu.. Clara sedang terbaring tak sadarkan diri dengan selang-selang mengelilinginya. Wajahnya terlihat pucat seperti tidak dialiri darah saja. tapi.. ternyata Nada sedang berada di samping kanannya dan sedang mencium bibir Clara. Wajah gadis itu penuh dengan derai airmata. Jemari lentiknya tampak menggenggam jemari Clara. Johan terpaku di tempatnya tak berkutik. Rasanya, ingin sekali dia menarik Nada. Tapi mengingat dia sedang berada di mana, niatnya itu dia urungkan.

Ketika dia hendak keluar, ternyata Nada melihatnya. Dengan wajah kaget, dia pandangi Johan. 

“Kau sudah lama berada di situ?” Tanya Nada dengan suara gemetar.

“Cukup untuk melihatmu menciumnya.” Jawab Johan wajah dingin. 

“Aku.. aku..” 

“Jadi ini sebabnya kau selalu menolak berkenalan dengan lelaki? Karena kau seorang …” tidak diteruskan kata terakhir itu. Nada pun tampak bersalah. Air matanya kian menderas. 

“Bisa kita bicara di luar saja?” 

ϙϙϙ

Suasana kantin rumah sakit itu tampak lenggang. Mereka berdua memilih sebuah tempat duduk di pojok agar pembicaraan mereka tidak didengar orang. 

“Sejak kapan kau menyukainya?”

“Aku.. aku..”

“Bicaralah terus-terang!” bentak Johan dengan suara tertahan. Nada menghela nafas berat. 

“Sejak pertama kali aku membaca novelnya, aku sudah mulai jatuh hati padanya.”

“Apa?” seru Johan terkejut. 

“Kau tidak tahu betapa memukaunya tulisan Clara itu.” Kata Nada dengan wajah bersemu merah. Johan terkesima memandangi wajah gadis di hadapannya. Tapi cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin kau bisa menyukai sesama perempuan.” Tanya Johan dengan suara tertahan. 

“Saat aku selesai membaca karya Clara untuk yang pertama kali, aku memang jatuh hati pada tulisannya. Tapi, itu belum cukup membuatku untuk berbuat nekat seperti tadi.”

“Lalu?”

“Saat aku pertama kali melihat Clara di café itu..”

“Ooh.. Tuhan! Ini benar-benar salahku!” sela Johan sambil menjambak rambutnya. Terlihat benar wajah frustasi di wajahnya yang tampan. 

“Kau sendiri pasti juga sadar kalau Clara punya pesona yang sulit untuk ditolak setiap mata yang melihatnya.”

“Aku tahu! Tapi kau kan perempuan!”

“Lalu apa salahnya?”

“Jelas ini keliru! Benar-benar kekeliruan yang besar!”

“Apakah kau juga …”

“Yaa.. aku memang mencintainya. Kau tahu apa yang membuatku selalu ada untuknya?”

“Ooh.. harusnya aku sudah mengetahui itu dari dulu.”

“Tapi dia tidak menyadarinya.” Kata Johan dengan nada memelas. Matanya Nampak memerah.

“Aku turut berduka untukmu.” Kata Nada simpatik.

“Tapi bukannya aku harus bersaing denganmu?!”

ϙϙϙ

“Johan..” 

Nada tersentak dari tidurnya. Didengarnya Clara sudah siuman. Tapi siapa yang dia cari pertama kali? Tanpa terasa airmatanya jatuh. Lekas-lekas dia hapus. 

“Dia sedang ke kantor. Semalaman dia menungguimu. Kami bergantian.” Jelas Nada tanpa diminta. 

“Tidakkah kamu lelah, Nada? Pulanglah. Pinta Johan datang kemari.” 

“Bukankah sudah ada aku? Kenapa masih mencari Johan?” tanpa terasa cemburunya kian berkobar. Dipandanginya Nada dengan tatapan tidak mengerti. 

“Aku tidak ingin kamu sakit, Nada.” Jawab Clara dengan suara pelan. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Clara kembali menutup matanya. Dia pingsan. Dengan panic Nada segera mencari perawat. 

ϙϙϙ

“Johan, bisa mintakan tenggat waktu pada penerbit soal naskahku?”

“Aku sudah memintanya.”

“Lalu bagaimana?” Tanya Clara dengan suara khawatir. 

“Mereka hanya memberi tambahan waktu satu bulan saja.” jawab Johan sambil menghela nafas.

“Tidakkah mereka tahu keadaanku sekarang?”

“Tapi mereka tidak mau tahu.”

“Lalu bagaimana aku harus membiayai seluruh pengobatanku di sini?” tanya Clara tanpa sadar. 

“Aku akan menanggungnya, Clara. Seluruhnya. Aku akan bertanggungjawab.” Jawab Johan. Diraihnya jemari Clara dalam genggaman. Melihat ini, Clara jadi tertegun. 

“Aku tidak mau berhutang budi lagi padamu.” Katanya tanpa menarik jemarinya. 

“Aku tidak ingin kau merasa demikian.”

“Tapi aku tidak bisa.” Kata Clara sambil sesenggukan. Benar-benar dia merasa lemah. Benar-benar lemah. Baru dia sadari kalau selama ini tiada tempat dia bersandar. Tiba-tiba dia merasa kesepian dan takut. 

“Aku tidak akan membiarkanmu sendirian, Clara. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri.”

“Sejak kapan? Apakah sejak saat ini?” Tanya Clara dengan nada tersinggung. Johan menggeleng. 

“Sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu. Aku selalu ingin berada di dekatmu. Menemanimu. Menjagamu. Tidakkah kau menyadari ini?”Tanya Johan dengan suara sedih. Makin deras saja airmata Clara demi mendengar pengakuan itu. 

“Johan.. maafkan aku.”

Perlahan Johan bangkit dari tempat duduknya lalu dia memeluk Clara. Didiamkannya saja lelaki itu. Bukankah selama ini Johanlah yang selalu ada disaat dia butuh? Mengingat itu semua, Clara bertambah sedih. Sedih karena menyadari ketololannya selama ini. dia selalu menganggap dirinya pintar. Tak tahunya dia tidak bisa menebak isi hati sahabat kecilnya itu. 

“Clara.. aku tahu ini mungkin bagimu bukan waktu yang tepat.. tapi aku ingin menunjukkan padamu betapa besar rasa sayangku padamu.” Kata Johan. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya kembali melanjutkan. 

“Clara.. maukah kau.. maukah kau menikah denganku?”

ϙϙϙ

Tergetar hati Nada demi mendengar pertanyaan itu dari balik pintu. Harapannya.. harapannya akan segera pupus jika dia tidak segera muncul. tapi, punyakah dia keberanian untuk menginterupsi pertanyaan itu? Dia sendiri tidak tahu. 

Perlahan dia buka pintu, katanya,

“Hey.. apakah ada yang aku lewatkan?” tanyanya seolah-olah tidak tahu apa-apa. Mencorong mata Johan melihat Nada muncul. benar-benar tamu yang tidak diharapkan, batinnya gusar. Tapi di luaran, sedapatnya dia menahan diri. Dia tidak mau rencananya memperistri Clara gagal hanya karena dia tidak bisa menahan diri. Dia tahu, Clara orang yang cukup jeli. Dia pun berharap perubahan raut wajahnya luput dari pandangan gadis berbakat itu. 

“Ooh.. ke mana saja kau, Nada? Aku merindukanmu. Sudah beberapa hari ini kamu tidak datang menjengukku. Kukira.. kukira kau marah padaku.” Ungkap Clara dengan nada lega. Tersentuh juga perasaan Nada mendengar itu. Segera dia songsong sosok yang sedang terkulai lemah di atas tempat tidur rumah sakit itu. Dia peluk dengan begitu hati-hati, seolah tubuh Clara bisa pecah jika terlalu keras tersentuh oleh tangannya yang lembut.. 

“Aku pun juga sangat merindukanmu, Clara. Maafkan aku tidak menjengukmu. Aku ada sedikit keperluan yang tidak bisa kutinggalkan. Terpaksa aku harus menghilang untuk beberapa waktu.” Ungkapnya dengan nada lembut, begitu juga dengan tatapan mata itu.. tergetar hati Clara melihat ketulusan Nada.

Ada apa denganku? Batin Clara tidak mengerti. Bukankah Johan baru saja mengajaknya menikah dan hatinya tidak tergetar sekeras seperti saat dia melihat Nada? Apakah dia pun …? 

Johan tiba-tiba berdehem. Dia merasa tersinggung karena seperti dilupakan. Nada pun memeluk Johan sekilas saja. 

“Maaf.. aku lupa kau berada di sini.”

“Tidak mengapa. Toh akhirnya ingat juga.” Kata Johan sedapatnya menahan nada geram. Dia pun kembali berdehem sebelum akhirnya kembali melanjutkan. 

“Clara, aku menunggu jawabanmu. Apapun jawabanmu, aku akan tetap menjadi Johan-mu. Aku pergi dulu.” Katanya pamit. Dia cium kening Clara sambil membisikan kata cinta. 

“Clara, aku ingin sepanjang hidupku membahagiakanmu.”

ϙϙϙ

“Apa ada yang kulewatkan?” Tanya Nada dengan menunjukkan mimik penasaran. Johan sudah berlalu beberapa waktu dari situ. 

“Tidak. Kau tidak melewatkan apa-apa.” Jawab Clara sekenanya. Dia jelas tidak ingin orang lain tahu tentang hal ini.

“Ooh..”

“Bagaimana harimu? Apakah kau bisa menghiburku? Aku benar-benar merasa bosan di sini.” Katanya sambil memalingkan mata ke arah jendela. Dilihatnya di luaran sana mentari bersinar lembut. Suasana taman rumah sakit itu terlihat begitu asri. Ingin sekali dia keluar dari dalam kamar walau hanya sekedar duduk di atas rerumputan. 

“Aku akan minta izin pada perawat dulu kalau begitu.”

“Nada, sekalian cari pinjaman gitar ya?”

ϙϙϙ

Angin pagi bertiup sepoi-sepoi membelai rambut Clara yang dibiarkan tergerai lepas. Nada sudah memulai pertunjukkannya sedari tadi. Suaranya yang bening lembut terdengar mengalun lirih. Petikan gitarnya begitu elok, membuatnya tak malu mempertontonkan kemahirannya dalam memainkan alat music yang satu ini di depan banyak orang. Clara sedari tadi bersandar lemah pada bahu Nada dalam diam. Dia benar-benar menikmati hiburan ini sungguh-sungguh. Dia baru menyadari kalau dia ternyata begitu merindukan Nada.

“Clara, Johan bilang kau pun berbakat juga dalam hal tarik suara. Aku jadi penasaran ingin mendengar suaramu.”

“Aah.. aku sedang tidak berminat. Tentu saja sebagus-bagus suaraku tidak sanggup menandingi suaramu.” Jawabnya sambil memejamkan mata. Dilihatnya Clara dengan wajah malaikatnya itu sedang menikmati suasana. Nada tertegun sejenak. Degup jantungnya yang sedari tadi sudah tak karuan sejak bertemu Clara, sekarang makin bertambah kencang saja. lidahnya mendadak kelu. Kembali diamatinya bibir merah tipis yang sedang tersenyum itu. Mukanya mendadak terasa panas. Cepat-cepat dia palingkan wajahnya ke arah lain. 

“Nada, kau kenapa? Apa di sana ada yang menarik?” Tanya Clara. Nada hanya menggeleng. Wajahnya kembali dia palingkan ke arah Clara dan jantungnya pun sekarang seolah berhenti berdetak.. wajah Clara berada hanya sekitar 2 cm dari wajahnya. Dia pejamkan matanya karena khawatir tidak tahan menahan godaan untuk mencium bibir tipis itu tapi … 

Ternyata Clara yang terlebih dahulu menyentuh bibir Nada dengan bibirnya. Tak kepalang kagetnya Nada mendapati hal ini. dia buka matanya untuk memastikan, sedangkan Clara masih juga mengulum bibirnya dengan lembut. 

“Maaf..” sambung Clara akhirnya. Dia merasa malu sendiri mengetahui dirinya tidak bisa mengendalikan diri. Kepalanya tertunduk dalam sedangkan mukanya memerah. Sejenak, Nada tidak bisa berpikir. Lidahnya kali ini benar-benar kelu. Bernafas pun tak berani. Namun begitu ujung bibirnya menyunggingkan senyuman kecil. 

“Clara, ayo masuk ke dalam. Kita sudah terlalu lama di sini.”

ϙϙϙ

“Clara, bagaimana kabarmu?” Tanya Bass. Dia seseorang yang cukup berpengaruh dalam perusahaan penerbitan tempat Clara menerbitkan beberapa bukunya. 

“Aku baik. Sejak kapan kau berada di sini?”

“Aku baru saja tiba. Maaf baru sempat menjengukmu.” Ucapnya sambil menyalami tangan Clara dengan santun. 

“Maaf aku belum bisa menyelesaikan naskahnya.” Kata Clara dengan kepala tertunduk. 

“Tidak apa-apa, Clara. Aku memahami keadaanmu. Hanya saja, memang ada yang bersikeras untuk bisa segera bukumu terbit. Kau tahu sendiri bukan siapa orangnya?” jelas Bass dengan wajah kurang senang. Clara mengangguk. Tiba-tiba dia teringat Nada berada di sampingnya.

“Oiya, aku hampir lupa memperkenalkan temanku. Ini Nada, sahabat baruku.” Bass memandang Nada dengan penuh minat, sebaliknya Nada hanya memandangnya sekilas tanpa lupa menyunggingkan senyumannya yang lembut.

“Saya Nada.”

“Bass. Apakah kamu juga seorang penulis?” Tanya Bass pada Nada. 

“Bukan. Saya hanya penikmat karya orang saja.”

“Dia seorang pemain music yang berbakat.” Sahut Clara dengan nada bangga. 

“Benarkah?” Tanya Bass tertarik.

“Tentu saja. selain pandai memainkan gitar, suaranya juga begitu merdu. Tidak menjemukan seperti kebanyakan penyanyi.” Puji Clara sambil tertawa renyah.

“Wah.. kalau Clara sampai bilang begitu, berarti memang benar-benar begitu.” Kata Bass masih terus mengawasi Nada. Tiba-tiba Nada menjadi gerah. 

“Dia hanya terlalu memuji. Aku pun penasaran dengan suara Clara tapi dia enggan unjuk gigi di depanku.”

“Hahaa.. kalau Clara memang multitalent! Suaranya memang bagus, apalagi permainan biolanya.” Ungkap Bass tak kalah seru. Diliriknya sekilas Clara yang melotot. Makin tergelak juga Bass. 

“Kau ini, bisa tidak diam?” sambung Clara gemas. 

“Benarkah? Kenapa aku tidak tahu?” Tanya Nada dengan kecewa. 

“Ayolah Nada. Jangan merajuk seperti itu. Lain waktu aku akan konser gratis di depanmu sampai telingamu merasa pekak. Bagaimana?”

“Janji?”

ϙϙϙ

Beberapa bulan kemudian

“Clara, aku merasa Bass seperti terlalu memperhatikanku.”

“Kenapa memangnya?”

“Aku tidak nyaman.” Jawab Nada jujur.

“Apa yang kurang dari Bass?” Tanya Clara lagi. Sekarang tatapannya sudah dia alihkan menatap Nada. Dilihatnya gadis itu sedang termangu sambil menatap aquarium di dekat meja kerja Clara.

“Apa yang kau pikirkan, Nada? Bukankah sudah cukup umur sekarang bagimu untuk menikah?” sambung Clara dengan nada simpatik. 

“Lalu bagaimana denganmu sendiri?” Nada bertanya balik. Clara menjadi tergagap. Beberapa saat dia memilih diam. Jawabnya setelah menghela nafas,

“Aku? Entahlah. Sudah ada seseorang yang memintaku untuk menjadi istrinya. Tapi entah kenapa aku belum berani untuk menjawabnya. Bukan karena aku tidak menyukainya. Hanya saja, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku yang aku tidak tahu itu apa.” Jawab Clara dengan suara lirih. Matanya menatap jemarinya sendiri seolah-olah jemari itu sudah berubah bentuk. 

“Apakah aku mengenalnya?” desak Nada. 

“Aku tidak ingin membahas itu, Nada. Kumohon berhentilah.” Nada hanya mengangkat bahunya. 

“Jadi,” sambung Clara, “Apa yang kurang dari sosok Bass?”

“Yang kurang? Entahlah. Aku belum begitu mengenalnya. Sekilas pandang, memang dia sosok yang sanggup membuat jantung tiap gadis merasa berdesir. Dia juga cukup perhatian, baik, dan hangat.”

“Dan kau sendiri?” 

“Aku bukan termasuk dalam deretan gadis-gadis itu.” Jawab Nada sambil tertawa. 

“Ooh..” 

“Kau tidak ingin tahu seperti apa seleraku?” pancing Nada. 

“Memangnya yang seperti apa?” Clara tiba-tiba merasa penasaran. Hatinya tertarik. Perlahan dia mendekat ke arah Nada berdiri. Tapi sudah begitu lama menunggu, Nada masih juga bungkam. Clara mengerutkan dahinya. 

“Jadi yang seperti apa?” tanyanya sekali lagi. Nada tiba-tiba memandangnya dalam. Perlahan dia makin merapat ke arah Clara. Clara bagai tersihir memandang mata Nada yang indah dan dalam itu. Dengan perlahan, Nada membisikkan ke telinga Clara.

“Karena yang kuinginkan adalah.. Clara Notoaksara.” 

Terkesiap Clara mendengar jawaban yang tidak pernah dia duga itu. Dia pandangi mata Nada seperti hendak mencari sesuatu. Dia berharap Nada tertawa setelah berbicara seperti barusan. Tapi kenyataan Nada tetap bungkam seolah yang dia ucapkan barusan adalah yang sebenarnya. 

“Kau..” belum habis Clara berbicara, Nada sudah mengunci mulut Clara dengan bibirnya. Tergetar tubuh Clara. Dia pun mulai berontak. Kakinya mundur beberapa langkah. Namun ternyata Nada tetap mengejarnya dan akhirnya dia terbentur dinding yang berada di belakangnya. Dengan kecupan lembut yang makin lama makin mengganas, Nada melumat bibir Clara. Clara merasa dadanya sesak karena tak bisa bernafas. Dia dorong tubuh Nada. 

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Clara dengan nada gemetar. Air matanya perlahan jatuh, makin lama makin menderas. 

“Aku..” jawab Nada sambil melangkahkan kakinya mendekati Clara.

“Berhenti!” bentak Clara dengan suara parau. Didekapnya mulut sendiri. Tubuhnya tiba-tiba merosot ke lantai. Bahunya terguncang-guncang akibat tangisannya. Nada merasa bersalah. Perlahan dia mendekati Clara. Dia belai rambutnya yang hitam legam itu dengan tangan gemetar. 

“Maafkan aku, Clara. Maafkan aku..” Nada pun ikut menangis. Dia meruntuki dirinya sendiri kenapa tidak bisa mengendalikan diri. Kini, dia menyesal. Benar-benar menyesal. Bayangan akan dijauhi Clara tiba-tiba bercokol di depan matanya. Tiba-tiba ada yang terasa terenggut dari jiwanya. 

“Clara, kumohon jangan menjauhiku. Aku.. aku pasti tidak akan tahan. Kumohon.. aku berjanji akan menahan diri. Tapi aku memohon dengan sungguh-sungguh, jangan kau menjauhiku.” Tangis Nada kian menderas sedangkan tangisan Clara tiba-tiba saja terhenti. 

“Apakah kau benar-benar menyukaiku?”

“Aku mencintaimu, Clara.. dan tak akan bisa kehilanganmu.”

ϙϙϙ

Suasana pesta pernikahan itu sudah mulai berkurang kemeriahannya. Sudah banyak tamu yang berpamitan. Hanya tinggal beberapa gelintir orang saja yang dekat dengan kedua mempelai.

Senyuman kedua mempelai seolah tiada pernah hilang dari bibir keduanya. Setelah mengobrol dengan beberapa orang tamu, keduanya lantas mencari tempat duduk yang cukup sepi untuk mengobrol berdua.

“Clara, apakah kau bahagia?”

“Tentu saja! aku tidak pernah membayangkan akan menikah denganmu!” jawabnya sambil tertawa renyah. Clara memang benar-benar sedang berbahagia. Dia pandangi bunga-bunga yang bermekaran di taman sana.

“Clara, benarkah kau tidak menyesal menikah denganku?”

“Kenapa kau bertanya seperti itu, Johan?”

“Nada tidak hadir dalam pesta pernikahan kita. Bukankah kau tidak sedih.”

“Dia sendiri yang memutuskan untuk tidak datang. Kenapa pula aku harus bersedih? Dan hey! Kenapa pula aku harus menyesal? Apa hubungan keduanya?” Tanya Clara tidak mengerti. Johan hanya menggeleng. 

“Aku hanya khawatir dirimu terpaksa menerima lamaranku.” Jawabnya dengan kepala tertunduk. 

Melihat hal tersebut, tersentuh hati Clara. Diraihnya jemari lelaki yang kini sudah menjadi suami itu. Dia remas perlahan. Katanya,

“Aku tidak pernah merasa terpaksa, Johan. Percayalah padaku. Maukah kau percaya?”

“Tentu saja.”

“Apakah aku mengganggu?” Tanya seseorang. Keduanya menoleh ke sumber suara. 

“Nada? Kukira kau tidak datang. Kenapa begitu terlambat?” Tanya Johan tak percaya. Dia paham betul seperti apa remuk redam hati Nada sekarang. Itulah sebabnya dia tidak berani memaksanya untuk datang ke pesta pernikahannya. 

“Aku tadi ada sedikit urusan yang tidak bisa kutinggalkan. Jadi terpaksa datang terlambat. Maaf yaa..” jawabnya dengan nada sedikit parau. Jelas sekali Nada habis menangis. Terenyuh juga Clara memandang mata jeli itu berkaca-kaca. Perlahan dia bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk Nada dengan erat. 

“Maafkan aku Nada. Ini.. ini demi kebaikan kita berdua.”, bisiknya perlahan. Nada menggigit bibirnya keras-keras. Dia tidak ingin air matanya kembali tumpah ruah lagi. 

ϙϙϙ

Hal seperti ini harusnya tak benar. Benar-benar tidak boleh terjadi! Tapi nyatanya, ini benar-benar terjadi! Batin Clara dengan remuk.

Dilihatnya Nada sedang bergandengan tangan dengan seorang lelaki dan lelaki itu adalah Bass. Yaa, akhirnya Nada memilih untuk mengikuti jejak Clara walau belum sampai menikah. Dia tidak berani menentukan pilihannya kepada orang lain. Clara cukup mengenal Bass dan mengatakan kalau dia cukup baik, lalu apa salahnya mencoba berhubungan dengan lelaki itu?

Digigitnya bibir bawah sendiri sampai terasa amis. Jemarinya mengepal kencang hingga memutih. Apakah aku cemburu? Kenapa? Batin Clara lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka akan merasakan hal ini. dia tidak pernah memikirkannya sebelum ini. 

“Clara?” Bass yang melihat Clara terlebih dahulu langsung menyapa. Clara terhenyak dalam lamunan. Dilihatnya Nada sedang memandanginya. Cepat-cepat dia alihkan tatapan matanya. Sebisanya, dia tidak ingin sampai air matanya kelihatan habis tumpah. 

“Sedang apa di sini? Mana Johan?” Tanya Bass lagi tanpa melepaskan genggaman tangannya pada jemari Nada. Clara tanpa sadar memandangi kedua tangan itu. Melihat hal tersebut, Nada segera melepaskannya lalu datang menyongsongnya.

“Clara, apa kabar?” tanyanya lembut. Sorot mata itu masih juga lembut menatap Clara.

“Aku harus pergi. Aku.. aku ada keperluan.” Kata Clara tanpa menjawab pertanyaan Nada. Melihat gelagat tidak beres, Nada menjadi bingung. 

“Hey, ada apa?” tanyanya khawatir. 

“Tidak ada apa-apa. Aku harus segera pergi.” Jawab Clara. Setelah berpamitan dengan Bass, Clara langsung melangkahkan kakinya pergi jauh-jauh.

Tak disangkanya, ternyata Nada mengejar. Ditariknya tangan Clara dengan sedikit memaksa. 

“Kamu kenapa? Apa sedang bertengkar dengan Johan?”

“Tidak.”

“Lalu? Lalu kenapa kamu lekas pergi ketika melihat kami?”

“Itu hanya perasaanmu saja. aku memang sudah mau pergi tadi sebelum melihat kalian.” Jawab Clara dengan mengalihkan tatapan matanya menghindari mata Nada. 

“Apa kau cemburu, Clara?” Tanya Nada pelan. Jelas terbit rasa penasarannya. Dia pikir, selama ini Clara hanya menganggapnya sebagai sahabat. Tak lebih. Tapi sekarang?

“Cemburu apa? Kamu jangan mengada-ada!” Bentak Clara sambil berusaha menarik tangannya lepas dari genggaman Nada. 

“Tidak. Kau tidak boleh pergi dalam keadaan seperti ini. aku tidak akan membiarkanmu pergi.” kata Nada lembut. Clara masih terus berontak tapi Nada malah berusaha untuk meraihnya dalam pelukan. Dia peluk tubuh Clara perlahan. Kini Clara sudah menyerah. Hanya terlihat bahunya berguncang-guncang akibat tangisan.

“Bukankah kamu yang menginginkan ini?” Tanya Nada berbisik. Clara masih juga menangis sesenggukan.

“Aku tahu.” Jawab Clara akhirnya. 

“Apakah kamu cemburu, Clara?” Tanya Nada sekali lagi. Ditatapnya mata Clara yang memerah.

“Clara, kumohon lihatlah aku.” lanjut Nada meminta. Perlahan dialihkannya sorot mata sayu itu melihat mata jeli Nada. Dipandanginya lama. Air matanya kembali tumpah. Digigitnya bibir bawah sendiri, lalu mengangguk perlahan. Nada menghela nafas perlahan. Dia bingung, entah sekarang harus bahagia atau bagaimana.

“Bagaimana dengan Johan?” 

“Aku tidak ingin melepaskannya. Dia begitu baik padaku dan aku.. aku mulai bisa mencintainya.” Jawab Clara lirih. Nada menatapnya tak mengerti.

“Bagaimana ini bisa terjadi? Kau mencintai dua orang dalam waktu yang sama?”

“Aku tidak pernah mengharapkan ini. selama ini.. selama ini aku tidak pernah mengira kalau aku menyukaimu. Aku hanya merasa sakit saat melihat kalian tadi. Aku.. aku memang sering merasa rindu padamu. Tapi kukira ini hanyalah rindu biasa saja.” jelas Clara. 

“Lantas kau maunya bagaimana?”

“Aku? Kenapa aku yang harus memutuskan?” Tanya Clara tidak mengerti.

“Tentu saja. karena kaulah yang berada di tengah-tengah. Kaulah yang menjadi pusat dalam pusaran ini.” jawab Nada gusar. 

“Aku akan tetap bersikap seperti biasanya. Menjalani rutinitas seperti biasanya.” Kata Clara. 

“Kau benar-benar egois, Clara!” teriak Nada. Clara memandangnya kaget. Tidak pernah sebelumnya dia lihat Nada bersikap sekasar ini. 

“Kau tahu bagaimana aku melalui hari-hariku setelah pernikahanmu? Apakah kau tahu bagaimana aku selalu berusaha untuk tetap waras? Kau tahu apa saja yang ingin aku lakukan untuk menghilangkan rasa patah hatiku ini? apa kau tahu?!” 

“Nada.. aku..”

“Diam! Kau tidak pernah tahu, Clara. Tidak akan pernah tahu! Karena kau terlampau egois!”

“Nada.. kumohon berhentilah.” Pinta Clara. Air matanya makin menderas. 

“Berhenti menangis, Clara! Harusnya aku yang menangis, bukan kau!” sahut Nada sambil membuang muka. 

“Nada.. harusnya kau paham dengan posisi kita. Harusnya kamu menyadari siapa kita.” 

“Apa yang harus kupahami? Aku hanya tahu kalau aku mencintaimu. Tapi apa yang kudapatkan? Saat aku ingin berusaha untuk bangkit, lalu malah datang dengan air matamu itu.”

“Maafkan aku.. aku akan pergi menjauh dari kehidupanmu agar kau bisa hidup dengan lebih lega. Aku berjanji.” 

ϙϙϙ

Suara sirine ambulance terdengar memecah keheningan sore. Nada kembali tersentak dari lamunannya. Entah sudah berapa lama dia berdiam di situ. Dilihatnya dari kejauhan kerumunan orang. Hatinya tergerak. Kakinya pun memburu ke arah sana jalanan sana. Entah kenapa, jantungnya tiba-tiba terkesiap. 

“Ada apa?” tanyanya pada salah seorang yang berdiri di dekat situ.

“Tadi ada seorang wanita sedang menyeberang jalan. Dia sepertinya tidak memperhatikan keadaan jalan saat hendak menyeberang. Tak tahunya, dari arah kanan ada sebuah bus yang melaju cukup kencang dan.. dan wanita itu tertabrak.”

“Apa? Di mana wanita itu sekarang.”

“Sekarang sudah dibawa ambulance ke rumah sakit. Wanita itu sepertinya tidak tertolong.” Tiba-tiba semuanya gelap setelah Nada mendengar berita itu. Dia pingsan.

ϙϙϙ

“Clara.. jika kau sudah tidak ada di sini lagi, buat apa aku hidup?” tanyanya dengan nada pedih. Bahu Nada berguncang-guncang. Ini adalah hari kelima sejak Clara dimakamkan. Hanya pertanyaan itu saja yang terus-terusan diulang oleh Nada. Mukanya terlihat tirus. Badannya Nampak kurus dan lemah. Dia hanya meringkuk di depan jendela dengan tatapan kosong.

_SELESAI_

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun