Suasana pesta pernikahan itu sudah mulai berkurang kemeriahannya. Sudah banyak tamu yang berpamitan. Hanya tinggal beberapa gelintir orang saja yang dekat dengan kedua mempelai.
Senyuman kedua mempelai seolah tiada pernah hilang dari bibir keduanya. Setelah mengobrol dengan beberapa orang tamu, keduanya lantas mencari tempat duduk yang cukup sepi untuk mengobrol berdua.
“Clara, apakah kau bahagia?”
“Tentu saja! aku tidak pernah membayangkan akan menikah denganmu!” jawabnya sambil tertawa renyah. Clara memang benar-benar sedang berbahagia. Dia pandangi bunga-bunga yang bermekaran di taman sana.
“Clara, benarkah kau tidak menyesal menikah denganku?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Johan?”
“Nada tidak hadir dalam pesta pernikahan kita. Bukankah kau tidak sedih.”
“Dia sendiri yang memutuskan untuk tidak datang. Kenapa pula aku harus bersedih? Dan hey! Kenapa pula aku harus menyesal? Apa hubungan keduanya?” Tanya Clara tidak mengerti. Johan hanya menggeleng.
“Aku hanya khawatir dirimu terpaksa menerima lamaranku.” Jawabnya dengan kepala tertunduk.
Melihat hal tersebut, tersentuh hati Clara. Diraihnya jemari lelaki yang kini sudah menjadi suami itu. Dia remas perlahan. Katanya,
“Aku tidak pernah merasa terpaksa, Johan. Percayalah padaku. Maukah kau percaya?”