adakah, waktu itu
hanya kau dan aku
selalu untuk selamanya
waktu di mana damai terasa
tanpa satu suara pun terdengar
hanya detak jantung kita berdua
dan desah nafas mu, mengalir
dalam setiap bulu-bulu tipis di atas mulutku
dengan rasa yang sama
bersama sentuhan lembut
pada kulit-kulitku
kehangatan pun mengalir
dalam aliran darah ini
melalui
lingkaran-lingkaran lengan kita
aku bahagia, aku cinta padamu
(‘Surat dari Mu’ dalam ‘Di Bawah Kibaran Dosa’)
(Separuh dari paragraf pada fragmen ini dengan amat terpaksa harus dihapus, karena lebih mirip dengan dunia hitam seperti yang pernah terekam di ‘Jakarta Under Cover’-nya Moammar Emka).
Terima kasih buat Bang Admin, yang telah menjadikan nyaris seluruh rangkaian fragmen ini sebagai Highlight, sehingga dapat menjangkau lebih banyak pembaca. Salam sahur…^_
Meninggalkan Petualangan Hitam
Itulah masa-masa awal Mulan datang dalam hidup saya, dan melakukan begitu banyak kisah ‘heroik’ setelahnya, yang membuat hidup saya jadi memiliki begitu banyak warna selain hitam dan abu-abu. Walau saya juga tahu teramat banyak parafin yang meleleh dari tubuhnya, saat ia menjelma lilin yang terus-menerus saya dekap hingga terbakar semua gelap saya.
Dan itu bukanlah sesuatu yang mudah buat kami berdua! Butuh terlalu banyak tahun untuk kami melakukannya, yang mungkin akan terus kami lakukan selamanya, jika saja sebuah badai besar tak menerjang kapal saya.
Tapi mengetahui jelas berbeda dengan mencicipi. Apalagi menikmati dan atau menggunakannya untuk kepentingan pribadi, yang seringkali hanya berujung sebagai umpan lambung, yang lantas menjadi kotoran tak berarti.
Bersamaan dengan kehadiran Mulan, saya tinggalkan semua petualangan hitam yang pernah begitu tak asing dalam hidup tersebut, tanpa pernah sekalipun berkeinginan untuk mengulanginya. Walau lama setelahnya masih saja ada kabar tentang teman yang betah berkecimpung dan terlibat dalam bisnis yang teramat dekat dengan (maaf) ‘dunia lendir’ itu, dengan segala variasi dan turunannya.
Bahkan dengan segala petualangan berat yang pernah saya alami, tetap tak mampu membuat saya menjadi seseorang yang lebih berharga, melainkan justru terlempar dari UI dan semua dunia utopia yang pernah begitu optimis saya reka bersama Mulan!
Kembali kosong. Kembali abu-abu. Kekosongan yang melahirkan jutaan pemikiran yang begitu entah.
Pada masa-masa seperti itu tentu saja saya juga mencari Tuhan, karena kita semua tahu bahwa Tuhan seringkali menjadi begitu berharga, terutama saat tak ada lagi sesuatupun yang tersisa. Walau saya sadar bahwa pencarian itu amatlah sia-sia mengingat betapa rapatnya Mulan menyembunyikan Tuhan dari diri saya.
Dalam duka saya kembali terkapar, terjerembab ke kubangan sunyi yang pernah amat saya kenal dengan nama: Kehilangan, tanpa pernah ada seorangpun yang berkeinginan untuk menguatkan saya. Tidak teman-teman saya. Tidak juga Mulan...
Sebelum BHMN, Kampus Negeri Pernah Menjadi Tempat Gratis Menuntut Ilmu
Namun keisengan agaknya memang telah begitu sukses menjadi kawan terbaik saya. Bahkan di saat tersuram seperti inipun, saya masih saja gemar berangan nakal. Dan sambil bercanda saya sering berpikir, alangkah saktinya saya! Di saat begitu banyak orang yang mati-matian ingin kuliah di UI, saya justru meninggalkannya.
“Ah... Lo kan cuma dapat jurusan xxxfiiifffxxx, Bay... Enggak bonafid kalee...!”.
Benarkah begitu? Alangkah lugunya pemilik pendapat tersebut, karena tidak paham bahwa di negeri ini, segala yang berbau UI tentu saja masih tetap terkesan mewah serta memiliki bargaining position yang lebih tinggi dari universitas lainnya. Tak peduli apakah kau ‘cuma’ terdaftar begitu saja di Fakultas Kedokterannya, atau ‘justru’ tercatat dengan sangat hormat namanya sebagai mahasiswa Sastra Jawa. Dan jurusan xxxfiiifffxxx siapa sangka ternyata adalah disiplin ilmu yang paling tidak normal serta paling bunglon cakupannya...?!
Tak perlu kau rogoh kocekmu dalam-dalam, jika hanya ingin memiliki keahlian setingkat pemandu wisata, karena dana negara yang mungkin tak sempat dikorupsi, telah cukup untuk membiayaimu keliling begitu banyak lokasi wisata yang ada: SECARA GRATIS…!!!
Atau setelahnya kau bisa menjadi wartawan dengan segala macam ilmu photografi, topografi, bibliografi serta skill penunjang berakhiran ‘i’ lainnya yang kau pelajari, yang dijamin tak akan kalah canggih dengan sekolah jurnalistik yang ada.
Menjadi budayawan? Sambil merem juga jadi. Tinggal banyak nongkrong bareng ‘orang TV dan Koran’ yang menjadi dosen di sana. Dari Seno Gumira hingga Ayat Rohaedi dan yang lainnya. Bahkan jika kau punya sense of brothership yang kuat, maka memiliki kemampuan berbahasa asing secara gratis bukanlah sesuatu yang di luar jangkauan... berapapun banyaknya bahasa yang ingin kau kuasai! Dan banyak lagi kelebihan yang lainnya, bila kau diterima di Jurusan Indiana Jones ini. Walau memang ada satu yang tak akan pernah kau pelajari di sana: Menjadi Presiden! Karena di masa lalu, jabatan yang pernah terkesan ‘AMAT TAK PRESTIOUS’ tersebut memang seringkali diperoleh bukan karena apa yang kau punya, melainkan lebih berdasarkan kepada segala yang justru tidak kau miliki. Dan semakin banyak tidak kau miliki, maka semakin besar peluangmu untuk menjadi.
“Tapi lo tetap keluar dari sana, Bay...?”
Kenapa tidak? Saya masuk UI cuma buat Mulan. Dan setelah Mulan tak ada lagi, saya tak merasa perlu untuk mempertahankannya.
“Enggak sayang, Bay...?”
“Ah, cuma UI doang...” Begitu yang kerap saya ucap ke Gimbal, yang kontan membuat dia ngotot-ngotot sambil melotot, dan dengan bentuk bibir yang memang setelan dari sononya seperti agak kebetot, Gimbal selalu teriak, “Ini UI, Bay...! UI...!!!” seakan-akan kampus itu adalah situs sejarah yang baru saja ditemukan kemarin siang.
Tapi dua huruf itu memang seringkali tak terlalu berarti apa-apa buat saya, bahkan jauh-jauh hari sebelum saya tinggal pergi.
Seperti ketika saya baru menyelesaikan buku Arok-Dedesnya Pram yang saya pinjam dari Dian. Langsung saya buat puisi singkat, tentang jika saya menjadi Arok dan dihadapkan pada pilihan antara tahta Ametung dan Dedes, tanpa pikir panjang niscaya saya akan langsung memilih: Ken Mulan, dari sekedar UI!
Puisi itu tentu saya berikan kepada Mulan, yang lantas memulas merah dadu di wajahnya yang malu, yang menjadikannya berpura-pura concern tidak senang hati karena tak ingin saya keluar dari kampus kuning tersebut dengan alasan apapun, mengingat cukup rumit persiapan yang kami buat untuk menembusnya. Walau Mulan lupa atau mungkin juga terlalu bahagia untuk mempersoalkan bait sebelumnya.
Beberapa Dosa Dunia Pendidikan Terhadap Rakyat.
Namun kesaktian saya agaknya tak berumur lama. Karena sesibuk apapun saya mencari kesibukan, tetap saja tak mampu membuat saya memiliki kesibukan apapun yang saya inginkan. Terutama kesibukan yang cukup berarti sebagai kangtaw bagi segala kerugian saya pada kesibukan-kesibukan yang sebelumnya.
Pernah terlintas keinginan saya untuk pindah kuliah dan memulai semuanya dari awal lagi. Namun bayangan tentang ‘sekolah lagi’ dengan segala tuntutan dan konsekuensinya langsung saja membuat saya ngeri.
Alangkah membosankannya, menghabiskan begitu banyak waktu dalam ‘penjara intelektualitas’ dengan segala macam rumor tentang ‘mencerdaskan’ dan menjadikan ‘lebih berkualitas’ yang begitu kental dengan aroma tahayul itu...! Mengutak-atik segala macam rumus dan angka, yang seringkali di kehidupan nyata tidak banyak berguna. Atau menghapalkan begitu banyak teori tingkat tinggi yang bukan milik sendiri, yang jelas-jelas sering enggan berpihak pada hidup itu sendiri.
Jelas pendidikan amatlah penting, ucap saya sambil berusaha keras mengingat-ingat perusahaan dan tempat bekerja mana saja yang telah dimasuki oleh nyaris seluruh yang saya kenal seusai mereka sekolah, yang membuat saya paham untuk siapa dan atau pihak mana sebenarnya pendidikan itu penting.
Dan ke-amat penting-an pendidikan itu semakin saya yakini, walau mungkin dengan cara dan sikap yang ‘agak berbeda’. Terutama saat saya kerap melihat betapa dunia intelektual tersebut, telah menjadi begitu cerdasnya hingga tetap mampu menahan diri untuk tidak berbenturan dan membuat konflik kepentingan dengan para stakeholder-nya, dan memilih untuk tetap ‘cuma’ menjadi pabrik pencetak SDM. Menghasilkan out put yang 100% siap menjadi operator, mungkin juga analisator. Tergantung dari ‘titip pesan’ yang mereka terima. Tanpa pernah berkeinginan lebih untuk menjadikan lulusan yang mereka hasilkan sebagai creator, walau jelas atmosfir yang mereka miliki lebih dari cukup jika sekedar untuk mencetak barisan creature yang serupa baut dalam mesin besar dunia.
Tapi saya tetap menganggap pendidikan amat penting, sambil diam-diam berharap ada ilmu khusus yang mereka terapkan, yang barangkali mampu menjadikan Si Ino yang tukang Es Kebo mem-franchise-kan resep minuman tersebut seperti yang dilakukan Kolonel Sanders.
Atau sekedar memberi sedikit angin kepada Mpok Ipeh hingga mampu mengekspor nasi uduknya ke manca negara.
Barangkali mengotomatisasi irigasi petani hingga tak perlu lagi rebutan air sampai dini hari –yang kadang masih disertai pula dengan beberapa silat lidah dan tarian beladiri.
Juga menjadikan Si Eman yang tukang sampah: Naik status sebagai raja sampah, yang tentu saja dalam konotasi paling positif yang pernah ada.
Sebuah Kelahiran Kembali
Dan di sinilah saya berada, tergeletak tanpa daya setelah kehilangan semua yang dulu sepertinya pernah membuat saya merasa sedikit berjaya, tanpa saya tahu harus berbuat apa dan bagaimana selain cuma menunggui waktu yang terus terasa meredup dengan amat sia-sia.
Kematian seringkali terlihat begitu dekat dan jelas saat itu bagi saya. Bukan kematian yang sebenarnya, tentu. Namun adakah yang lebih buruk dari mati, bahkan jauh-jauh waktu sebelum kita benar-benar mati...?! Menjadi mayat pada saat masih hidup, tanpa pernah peduli apakah hidup yang tengah dijalani adalah sebuah hidup yang benar-benar hidup, yang mampu membuat hidup menjadi lebih hidup tanpa perlu merisaukan hidup sesudah hidup…?!
Tapi bahkan setelah matipun, kehidupan -anehnya- terus saja memberi saya hidup yang baru!
Pernahkah kau merasa hidup terus saja memberimu ‘kelahiran kembali’, dan menjadikanmu serupa bayi dengan berbagai caranya yang aneh dan tak terjangkau nalar para ahli, setelah begitu banyak kematian yang kau alami selama berkali-kali?
Saya pernah. Dan rasanya: Amat membingungkan! Terutama ketika dengan cengap-cengepnya coba untuk terus mempertahankan living on the edge of earth sekuat daya, yang lantas tetap saja terjungkal dengan sukses karena memang saya sudah tidak lagi memiliki prasyarat dan segala macam ketentuan yang -dalam banyak hal- memang amat dibutuhkan untuk tetap walau sekedar hidup.
Namun anehnya, saya tak pernah jatuh ke jurang dengan ribuan makhluk ganjilnya yang siap memangsa, atau tercebur ke empang neraka sambil diam-diam berharap ada pahala yang membebaskan saya dari sana, melainkan selalu saja terlempar kembali ke sebuah dunia yang, ajaibnya, tak pernah saya pikirkan sebelumnya…!!!
Dalam bingung saya kembali ke diri sendiri. Menyelinap di setiap kebisuan yang entah kenapa seperti telah menjadi garis terkuat hidup saya. Hening, yang berbaur dengan perasaan resah yang terus hinggap dan menyelusupi setiap sel dalam membran otak dan mungkin juga hati saya. Sebuah warna kembali usai saya poles dalam buku hidup saya. Biru lebam, selebam kenyataan yang telah beramai-ramai meng-gebok saya dengan pongahnya.
Titik Balik
Saat menyelinap ke diri sendiri itulah saya tiba-tiba sadar betapa manusia, memang tak sekedar terbuat dari daging dan darah saja...!!!
Saya lihat ada begitu banyak sosok hebat dalam diri saya, dengan beraneka ragam buku dan catatan yang terbuka di sana. Juga fragmen tentang berbagai kisah dan keadaan, dengan seting dan situasi yang amat menarik dan kadang-kadang terasa menggelitik. Dan itu semua adalah milik saya...!!!
Dalam sebuah tirakat yang sangat serius, saya panggil semua teman terhebat yang ada dalam diri saya itu.
Tentu saja yang saya maksud bukan memanggil mereka seperti jika kita main jelangkung, atau mengundang para lelembut -yang sebelumnya menyamar sebagai mereka- dengan sekerat kemenyan bakar, untuk diajak diskusi bareng dalam sebuah forum gaib yang mistik. Karena yang saya maksud tirakat di sinipun hanya berpikir sambil mengopi dan menghembuskan asap kuat-kuat dari bibir saya yang telah biru-ungu karena terlalu banyak dilewati partikel nikotin tersebut.
Saya hanya mengajak mereka ber-monolog, sambil sesekali bermain penjahat-polisi dengan mereka. Bertukar peranan dan menebak, jika mereka menjadi saya, apa kira-kira yang akan mereka perbuat untuk memperbaiki semuanya.
Tahukah kau apa yang saya lihat? Jelas bukan sebuah pemandangan yang cukup asyik untuk dinikmati, bahkan oleh orang yang tengah bahagia sekalipun! Apalagi oleh sosok sengak seperti saya yang saat itu tengah terpuruk dimakan pikiran.
Nyaris semuanya menunjukkan sikap dan raut wajah yang sama!
Dengan wajah ketusnya Si Eksentrik berucap setengah teriak, “Bullshit ini semua!” sambil ngeloyor ke dalam villa dengan gagahnya, meninggalkan Sang Senior yang terus saja coba mengutak-atik inisiasi kampus jurusan yang telah kami boikot, dan mencoba untuk membuat kami mengulanginya lagi sesuai dengan selera mereka.
Dengan wajah yang sama Mulan mengecam dan meng-ultimatum saya untuk masuk UI tahun itu juga, atau hubungan kami selamanya akan seperti yang diucapkan Si Wendi Cagur dalam OVJ dengan gaya homonya, “Lo... Gue... : End...!”. Walau nyatanya setelah saya masuk UIpun hubungan itu tetap saja End...! dan membuat saya memilih End...! juga dari UI.
Dian menatap saya dengan sorot mata yang amat serius dan dalam. Dijey juga. O’ir juga. Bahkan tembok, lampu, kipas angin dan kucing yang lewatpun ikut-ikutan menatap saya dengan sorot yang sama, yang membuat saya buru-buru meneguk habis sisa kopi dan menggantung ‘batang pembunuh’ di sudut bibir sambil beranjak dari kursi.
“Bullshit ini semua…!” teriak saya meniru Si Eksentrik dengan gaya yang sama kerennya, dan ngeloyor bersama bayangnya ke dalam kamar.
Dan setelah mengultimatum diri sendiri untuk menyelesaikan semua kekacauan yang terjadi -seperti yang dulu pernah dilakukan Mulan- saya tatap peta diri yang terpampang di seluruh hidup saya dengan sorot mata yang seperti milik Dian, Dijey atau mungkin kucing yang lewat itu, yang sempat saya duga sebagai kucingnya Si Bintang yang jauh-jauh mampir dari Singapore cuma untuk ikutan memelototi saya. Mencoba mencari-cari dari mana saya dapat memulai perbaikannya.
Di antara saya dan Mulan saat itu ada jalan gelap yang tanpa ujung sama sekali.
Di antara saya dan kehidupan, ada sebuah Lembaga Pendidikan kelas warteg yang dulu pernah saya buat sebagai CSR sebagai mahasiswa terhadap warga.
Dan di antara keduanya saya melihat masa depan mengintip dari balik pintu, yang ketika saya membukanya, membuat masa depan tersebut gerabak-gerubuk hingga nyungsep dan ngusruk menjauhi saya.
Saya memilih Lembaga Pendidikan tersebut, dan melepaskan Mulan untuk terbang ke neraka manapun yang dia inginkan, dan membiarkan masa depan saya turut out bersamanya.
Selesai sudah. Satu masalah telah teratasi. Tinggal bagaimana cara saya mengubah yang lainnya.
Guru Yang Aneh dan Menteri Pendidikan Pembohong.
Kembali saya terlahir, sebagai bayi yang telanjang tanpa sehelaipun benang ketrampilan yang saya punya. Menjadi guru, tanpa memiliki sedikitpun kemampuan dan latar belakang akademis yang mendukung.
Tak ada bahan ajar yang bisa saya pelajari sebagai persiapan sebelumnya. Juga tak ada alat atau referensi pendukung lainnya, yang benar-benar dibutuhkan untuk bisa menjadi seorang guru yang baik.
Bagi yang pernah mengenal saya, tentu semua itu akan terasa lebih aneh lagi, sebab mereka tahu betapa ngap-nya saya terhadap pelajaran-pelajaran eksakta.
Atau betapa amat asing dan hijaunya saya dengan materi Bahasa Inggris. Sementara keseriusan seringkali terlihat sebagai musuh terbesar buat saya.
Dan dengan semua gambaran tersebut, tak ragu lagi mereka akan langsung mem-vonis saya sebagai guru terburuk yang pernah ada!
Tapi anehnya saya justru berhasil menjadi guru yang baik. Tentu saja setelah sebelumnya membayar lunas semua dosa masa lalu saya saat masih menjadi anak sekolah, seperti yang telah saya tulis dalam fragmen ke-9 pada link yang “INI”.
Hingga saat terakhir kepengajaran saya, saya tetap menjadi satu-satunya guru yang mampu menangani kelas gabungan dari berbagai tingkat sekolah yang berbeda, dengan tetap menjadikan seluruh siswa tersebut mampu untuk menunjukkan prestasi terbaiknya di sekolah. Dan itu adalah satu-satunya kelas tersulit yang paling banyak ditampik oleh guru yang lainnya!
Begitu cerdaskah saya hingga mampu melakukan semua itu dengan sangat baik? Saya khawatir akan kembali mendengar ‘bwahaha’ yang riuh saat teman-teman saya mendengar pertanyaan itu.
“Si Bay cerdas? Hehehe... Kiamat udeh makin dekat aje...”
Barangkali itu pernyataan paling obyektif yang mampu mereka berikan. Karena setahu saya, seumur hidup baru satu orang yang menuduh saya sebagai orang cerdas: L’es Farada dari IPB!
Itu juga kata Mulan, karena saya tidak pernah mendengarnya secara langsung. Sebagai bantahan dia terhadap ‘ramainya’ dugaan yang sering menganggap saya sebagai orang yang ‘cuma beruntung’ atas berbagai peristiwa, yang tidak hanya di UI dan IPB saja mengingat jaringan teman yang saya punya tersebar di berbagai kampus dan tempat kerja.
Bahkan Mulanpun tak pernah mengakui saya sebagai orang yang cerdas. Walau saya amat yakin tak seorangpun akan dapat menjelaskan begitu banyaknya ‘peristiwa aneh’ yang membuat saya selalu mampu memperoleh IPK di atas tiga koma saat masih ngampus di UI dulu, tanpa perlu banyak belajar bahkan juga tanpa perlu banyak kuliah, yang membuat Si Eksentrik misuh-misuh di koridor dua karena yang dia peroleh jauh lebih rendah sementara dia merasa lebih rajin dan lebih berusaha.
Atau bagaimana caranya NEM SMU saya bisa begitu mengejutkan Si Mimi juga Si Tege karena mereka jelas paham siswa seperti apa saya waktu itu.
Atau ketika tanpa perlu belajar berpayah-payah, saya tamatkan jenjang SD dengan peringkat teratas pada setiap tahunnya, dengan selisih nilai rapor amat jauh bahkan dari murid yang paling tokcer sekalipun di beberapa SD yang pernah saya singgahi tersebut, tanpa saya butuh menjadi cerdas atau tergabung dalam komunitas contek massal anak SD yang memalukan itu, yang membuat Sang Menteri turut pula mempermalukan diri dengan mengingkari kejadiannya, yang setelah kejadiannya terus di-blow up media barulah yang mulia menteri tersebut menjanjikan laptop bagi bocah cilik pelapor kecurangan tersebut (yang kabarnya tetap berakhir hanya sebagai janji belaka, tapi entah karena saya tak lagi mengikuti perkembangan beritanya-Red).
Fungsi Utama Jiwa dalam Kehidupan
“Kok bisa, Bay…?”
DESPERADO mungkin cukup untuk mewakili jawaban saya. Komik Jepang yang saya tarik dari altar persembunyian Si Gimbal yang ada gambar dewa babinya! Berkisah tentang petualangan karakter Shina dalam mempelajari gitar, mengingatkan saya saat belajar gitar satu minggu hanya untuk menghadiahi Mulan lagu Kamulah satu-satunya Dewa 19 saat dia ulang tahun, dengan mengganti lirik nama pada lagu tersebut dengan nama asli Mulan yang memang homofon, yang setelahnya –kata Mulan- ditertawakan Igay Si Keponakan, karena banyak petikan yang terdengar tak sama dengan versi aslinya.
Salah Dewa 19 kenapa memainkan nada yang berbeda dengan genjrengan gitar saya, hehehe... Lagi pula saya memang tak berminat untuk menjadi gitaris besar seperti Ian Antono, misalnya, dan sudah merasa amat senang ketika Mulan begitu khusuk dan bersikap romantis menikmati hadiah yang saya mainkan di teras rumahnya -dengan suara yang agak sengau karena flu- saat kami masih remaja.
Tapi saya tidak melengkapinya dengan bunga, karena prosesi itu telah terlalu sering saya lakukan kepadanya. Memetiki bunga yang entah apa ketika berangkat sekolah, yang saya beri ke Mulan lewat kolong laci meja saat kelas agama. Dan ketika tertangkap basah oleh Si Kutu, lantas saja membuatnya cengar-cengir sambil melirik ke arah kami yang jadi jengah dan agak grogi karena malu. Walau hingga waktu yang lama saya masih suka memberi Mulan bunga. Kadang serumpun Edelweis yang khusus saya petik untuk Mulan saat mendaki gunung di wilayah Bogor, Cirebon atau Solo, walau tak jarang setangkai-dua mawar yang saya peroleh di Jalan Kesehatan-Tanah Abang.
“Romantis banget lo, Bay...”
Ah, tidak juga. Saya cuma senang saja melihat wajah Mulan yang berwarna-warni setiap kali menerima bunga dari saya. Perpaduan antara malu, risih, senang, juga lirikan matanya yang curi-curi pandang saat menunduk, sambil melemparkan segumpal besar cinta yang dia punya kepada saya, yang dengan tepat langsung mendarat dan membuat wajah saya belepotan oleh lumpur indah tersebut, dan menetes secipret-secipret ke dalam hati saya.
Dari komik jepang itulah saya mengetahui, bahwa ternyata memang ada yang jauh lebih penting dari sekedar kemampuan dan teknik semata. Dan itu adalah jiwa, yang sering saya pahami sebagai keinginan amat kuat dan begitu menggebu untuk melakukannya: Dengan hati.
Hal itulah yang saya lakukan. Menjadikan siswa bukan sekedar karung yang siap di isi, melainkan justru seperti menyulut tungku hingga menjadi begitu besar dan menggelora, serta siap melalap habis apapun yang dihidangkan kepadanya. Dan hal tersebut terus saya lakukan dengan tidak begitu saja, melainkan dengan sepenuh ruh dan segenap hati juga rasa yang saya punya. Hasilnya? Silahkan kau coba sendiri dengan kegiatan apapun yang tengah kau lakukan saat ini...^_
Berfilsafat Bersama Puisi Celananya Joko Pinurbo
Tapi menjadi guru miskin tentu saja amat bertentangan dengan keinginan saya. Karena seterhormat apapun jabatan guru, miskin tetap saja cuma miskin. Cuma sebentuk keadaan yang seringkali membuat tak mampu untuk memberi manfaat yang lebih ke sekitar diri.
Dan hal itu tentu saja amat bertolak belakang dengan kebutuhan saya. Terutama sekali kebutuhan akan celana, yang membuat saya tak harus terus telanjang setelah kelahiran baru tersebut, dan memaksa Al Hallaj untuk setidaknya memakai celana terlebih dahulu sebelum berlari-lari mencari Tuhannya. Karena celana memang amat penting untuk menutup sumber rasa malu yang dimiliki. Mengingatkan untuk selalu bersikap rendah hati sebab ada yang terus berpotensi membuat malu saat salah memakai dan atau lupa membukanya tanpa akal dan hati. Sementara telanjang seringkali cuma alat demi meng-kamuflase dan me-mimikri, yang tak lebih sekedar sikap lebay yang terlalu kerap memaksa ‘mesti’ kosong saat mencari isi, lalu setelahnya narsis habis mengenakan sombong sebagai refleksi diri. Walau tentu celana terpenting dan paling terkenal adalah milik Joko Pinurbo, dengan sastra sebagai merek, dan dibuat dari berbagai huruf dan kata sebagai bahannya.
Dan sekali lagi, celana menjadi begitu penting peranannya buat saya. Setidaknya dengan bercelana, saya menjadi enggak terlalu malu saat harus bertemu kembali dengan teman-teman yang telah memakai toga wisuda atau kemeja kantor.
Keinginan akan celana itulah yang kemudian memaksa saya untuk secepat mungkin menuntaskan kangtaw yang ada. Lengkap dengan pengembalian besar sebagai penebus dari semua kehilangan yang pernah terjadi. Walau untuk itu saya harus melepaskan jabatan sebagai guru, yang katanya terhormat serta penuh kedamaian, dan mulai memasuki area kejam yang bernama: Bisnis.
Talkless Do More
Dengan mempergunakan seluruh kelebihan yang saya peroleh dari teman-teman terhebat saya seperti yang telah saya tulis dalam fragmen ke-6 kisah ini, saya panggil Si Eksentrik yang ada dalam diri saya, dan mulai menyusun ulang peta diri sekali lagi. Mulai dari grand design yang ‘sekecil-kecilnya’ hingga kepada blue print yang ‘sebesar-besarnya’.
Setelah dirasa cukup lengkap, saya pergunakan logika Mulan yang memang telah amat lama memarginal dalam benak, dengan beberapa modifikasi dan perubahan penting di sana-sini, menjadikannya sebagai sebuah logika terbalik paling aneh yang pernah saya miliki. Mengembangkan “we must to...” menjadi serangkaian panjang ”what if...” sebagai hipotesa terliar dari semua destinasi yang saya inginkan, dengan begitu banyak deretan ”how to...” yang lebih panjang serta benar-benar mewajibkan saya untuk menjadi setangguh Si Eksentrik, dengan karakter yang jauh lebih kuat lagi dari yang dia miliki.
Saat itu saya benar-benar dituntut untuk menjadi ‘yang terbaik’ dalam rantai kekuatan pengelolaan bisnis, yang selalu harus mampu untuk menekan gas atau sekedar menggoyangkan setir ke kanan dan ke kiri agar tetap meluncur lurus di jalan tujuan.
Dan itu seringkali menjadi tak mudah, terutama bila mengingat betapa otodidaknya saya dalam melakukan semua. Ditambah dengan mayoritas SDM yang saya miliki, dengan latar belakang yang amat sederhana dan terbatas, serta-merta menjadikan tanggung jawab sebagai motor penggerak mendarat tepat di punggung saya.
Mungkin kata-kata tersebut terdengar agak sarkas. Tapi memang terlalu sedikit yang bisa kita harapkan ‘secara umum’ dari seorang tukang obras biasa, atau karyawan pabrik, penjaga toko, bahkan juga mereka yang belum lagi sempat lulus SMU serta beberapa mahasiswa yang mungkin baru sekedar memperoleh MKDU di kampus mereka.
Dan saya cukup yakin, jika saja mereka bertemu dengan wayang-wayang OVJ, tentu akan langsung dibombardir dengan pertanyaan yang menyebalkan tersebut, “Sebenarnya mau kemana sih arah hidup lo...?”…^_
Merekalah kru bisnis saya, dalam sebuah usaha serius yang bernama: Bisnis Pendidikan. Tentu dengan segudang keahlian -dan terutama sekali: Kecerdasan- yang amat dibutuhkan dalam Standard Operational Procedure di dalamnya.
Mereka kemudian memang menjadi kru terhebat yang pernah ada, terutama setelah begitu banyak ‘formula’ dan ’teknik khusus’ yang harus diganyang habis, sebagai sebuah peningkatan kualitas. Namun saya yakinkan kepada kau, bahwa hal itu tidaklah terjadi pada saat mereka baru bergabung!
Dan semua itu menjadi lebih tidak mudah lagi saat saya menyadari, bahwa inilah proyek pertama dalam hidup saya yang benar-benar tidak melibatkan Mulan sebagai guru tercerdas yang saya punya, yang selalu mampu untuk menjadi tempat saya bertanya atau meminta. Atau barangkali sekedar memeluknya saat saya merasa begitu lelah menghadapi semua, yang biasanya menjadikan saya langsung merasa full power kembali.
Proyek inipun ada jauh waktu setelah teman-teman hebat saya tak lagi di depan mata. Walau ingatan tentang mereka seringkali dengan cara yang aneh membuat saya tetap mampu untuk menyelesaikan semua, dan mungkin akan menjadikan saya keluar sebagai pemenang dengan begitu bebasnya finansial yang dimiliki tanpa perlu bekerja lagi, dengan begitu banyak ‘karya-karya besar’ yang seharusnya selesai saya buat, sebelum semuanya tiba-tiba harus lenyap beberapa saat sebelum saya berhasil mencapai garis finish, yang setelahnya membuat saya ‘lagi-lagi’ terlahir kembali, menjadi pangeran kodok yang terus saja berlompatan ke berbagai daerah. Menjadi orang rumahan yang justru tak pernah ada di rumah. Menjadi naked traveler yang sama anehnya dengan pola hidup saya sebelumnya, yang kembali akan mengisi tulisan saya selanjutnya, setelah kisah ini selesai saya bagi.
Apa susahnya membuat uang memburu kita, tanpa kita perlu bersusah-payah mengais-ngaisnya dalam tumpukan rutinitas kantor dan atau tempat kerja lainnya, sambil diam-diam berharap ada rejeki besar yang membuat kita tak perlu lagi berlelah-lelah dalam mengumpulkan setiap sen-nya?
Kembali sambil bersiul-siul dan menjentikan jari, saya ajak kau ke tempat di mana uang telah sekian lama duduk dengan manisnya, seperti mempelai wanita yang siap untuk kau pinang dan kau nikahi.
Sedikit melangkah ke Utara Jakarta akan kau temui mereka yang butuh untuk kau pasok secara rutin Ikan Cakalang sebanyak satu setengah ton perhari. Dan dengan jumlah rupiah yang tak lebih dari 30 juta sebagai penukar kuota ikan tersebut untuk 2 kali pengiriman, dengan sangat rela mereka akan memberimu selisih harga sebesar 250 ribu rupiah, dengan hasil tambahan dari biaya pengangkutan benda tersebut ke wilayah Tangerang sebesar jumlah yang sama, mulai dari pengiriman kedua dan seterusnya.
Tak perlu kau repot-repot berpartisipasi dalam operasional bisnis ini, karena hanya dengan memotong 100 ribu dari income-mu tadi, telah cukup membuatmu memiliki supir + mobil losbak sewaan. Dan dengan sisa laba yang 400 ribu dikalikan 1 bulan, tentu saja cukup untuk membuatmu ‘Nikah ala Kampung’ setiap bulan... sebanyak yang kau mau!
Kurang banyak? Silahkan melangkah sedikit lebih jauh ke daerah Banten, sebab di sana kau akan mengetahui bahwa ternyata, ada sebuah mesin pencacah gelas Aqua bekas, dengan kapasitas kerja tak kurang dari 2 ton perhari, yang bisa kau miliki cuma dengan harga 50 juta saja.
Tinggal kau tambahkan rupiah sebesar maksimal harga mesin tersebut sebagai cara memperoleh bahan baku dan pengoperasionalannya, maka kau tidak perlu bingung lagi untuk menghitung, berapa besar laba yang kau punya, jika setiap kilogram yang dihasilkan dari mesin pencacah tersebut, kau bisa mengantongi tak kurang dari 6000 rupiah.
Tahukah kau berapa yang bisa kau peroleh dalam sebulan? 360 juta, Bro...!!! Dan dengan teknik serta perhitungan tertentu maka kembali kau tidak butuh bersusah-payah untuk ‘kerja rodi’ di dalamnya. Cukup kau potong dengan sangat... sangat... sangat... dan sangat sedikit dari penghasilan yang kau peroleh tersebut, secara otomatis akan menjadikanmu orang yang paling produktif menghasilkan rupiah, walaupun hanya sambil mengopi dan atau mengasuh bayi! Dan dengan pendapatan yang sebesar itu saya amat yakin bahwa kau tentu tak akan memilih ‘kawin berkali-kali’ sebagai arah hidupmu, hehehe...
Dengan cara yang tak banyak berbeda, kau bisa melangkah lebih jauh ke Serang dengan bisnis PE tikusnya. Dan setelahnya, dalam waktu yang relatif singkat akan mem-bai’atmu menjadi Raja.
Atau ke Pasar Induk dengan segala macam pasokan bahan makanannya. Atau ke Pusat Jakarta dengan gudang berasnya, dan tentu saja Bulognya. Atau sembakonya, atau cuma jasa pengangkutannya dari satu pasar yang lebih besar ke pasar-pasar yang lebih kecil dan tradisional, dengan kau cuma perlu mengumpulkan 10 pelanggan serta standby selama lebih kurang 1 jam, maka 100 ribu bersih akan langsung menghuni kocekmu. Tinggal kau tentukan sendiri kemudian berapa jumlah pelanggan yang ingin kau miliki, yang tentu saja berimbas kepada berapa rupiah yang akan kembali menimbun kocekmu.
Jika kau ‘siap tempur’, mengubah pasar tradisional di daerahmu menjadi sebuah kompleks ‘Koperasi Pertokoan’ jelas sebuah tantangan tersendiri yang cukup menendang adrenalin, yang walaupun mungkin lebih rumit dan ‘butuh’ melibatkan beberapa unsur dalam masyarakat, namun jika berhasil kau lakukan, akan serta-merta menyejajarkanmu dalam deretan pengusaha properti ‘terselubung’ selama minimal 30 tahun ke depan...!!!
Dongeng Tentang Kecil yang Tak Akan Pernah Mampu Membesar
“Modalnya gimana, Bay...?”
Sering saya ingin menjawab sambil terkekeh-kekeh seperti aki-aki tua yang kebanyakan minum teh tubruk: Modalnya ya... dari Mbah Moyangmu, tentunya...!
Namun jawaban tersebut tentu saja cuma beredar di benak saya. Karena ini memang pertanyaan yang cukup serius. Dan saya jelas tidak pernah iseng atau bercanda jika tentang hal-hal yang serius. Walau saya juga tahu bahwa pertanyaan ini adalah penyakit paling tua yang pernah dibopong oleh manusia. Entah lebih tua mana dengan penyakit bangkotan yang bernama: Cinta.
Sambil pura-pura berpikir keras dan mengelus janggut khayal saya yang rata dada, dengan setengah arif saya akan langsung menyarankan kepada si penanya, untuk memulainya dari yang kecil-kecil saja.
Dengan dana yang tak lebih dari 200 ribu, siapapun bisa untuk langsung berjualan pulsa, dan atau mencari uang receh yang banyak tersebar di blog dan facebook, dan atau kegiatan bisnis ecek-ecek yang lainnya. Tapi tentu saja saran tersebut bukan dari ‘arif’ saya yang berdefinisi ‘bijak’, melainkan ‘arif’ dalam bahasa daerah yang berarti ‘mengantuk’, yang jelas amat perlu dipertimbangkan kembali pelaksanaannya.
Saya pernah mendengar petuah tentang ‘berpikir global bertindak lokal’, atau juga tentang berpikir besar dan memulainya dari aksi yang paling kecil dan sederhana.
Alangkah dahsyatnya kebenaran dalam kalimat-kalimat tersebut, yang tetap saja mampu untuk menipu atau setidaknya membuat begitu banyak orang terjebak di dalamnya, dan terperangkap dalam ilusi tentang kearifan teori ‘dari yang kecil kemudian menjadi besar’.
Memang ada saja situasi khusus yang sampai kepada saya tentang kebenaran teori ini. Namun jauh lebih banyak lagi fakta-fakta umum yang saya lihat betapa amat banyak orang yang memulai dari yang kecil, namun tak juga kunjung menjadi besar.
Entah kenapa tetap saja kecil itu terus kecil, bahkan tak jarang semakin mengecil, sebelum tiba-tiba, “Psst...!” menghilang seperti asap yang tertiup angin.
Teorinyakah yang salah? Jelas bukan saya yang bertanya. Walau saya juga tak ingin repot-repot menyalahkan para ‘praktisi kecil’ yang telah gagal dengan amat sukses itu, yang tak pernah bisa sekalipun untuk sempat mencicipi besar.
Namun jika boleh memilih, maka saya tentu akan menyarankan dengan amat tegas, agar kau tidak memulai segala sesuatu yang kau inginkan, dari yang kecil...!!!
Belajar Bisa Bikin Kaya
Ada begitu banyak cara untuk mendapatkan uang. Bahkan jika kau tidak punya modal sebagai sarana pemancingnya, tetap teramat banyak cara untuk kau bisa mendapatkan modal tanpa perlu bertahun-tahun menyisihkannya dengan kecepatan seekor kura-kura yang menderita asam urat atau setengah lumpuh karena rematik. Dan cukup banyak juga cara untuk kau tetap bisa mendapatkan begitu banyak uang, tanpa modal uang sama sekali.
“Bagaimana mungkin, Bay...?”
Anything is possible, ucap saya berbarengan dengan ucapan Mulan yang secara abadi terekam dalam memori saya. Dan saya yakin ucapan itu akan semakin tegas jika kau bertanya kepada Merry Riana, cewek muda Indonesia yang namanya naik daun seperti ulat bulu dalam kancah bisnis di Singapura, sebagai sosok yang telah berhasil bebas finansial di usia yang relatif muda. Dan semua jawaban lantas saja seperti merujuk ke sebuah kesepakatan yang sama: BELAJAR…!!!
“Hah…! Belajar bisa bikin kaya, Bay...?!”
Hehehe... Yang jelas, jangan kau ajukan pertanyaan tersebut kepada temanmu sesama siswa, atau juga kepada guru dan dosenmu, karena saya khawatir bukan jawaban optimis dan menyenangkan yang akan kau peroleh, melainkan justru ucapan setengah menghardik dan atau paling banter peng-iyaan yang kental dengan aroma ragu yang tebal. Sebab mereka yang kau tanya tadi, umumnya tidak lebih pintar dengan kau yang bertanya, jika soal uang.
Tapi belajar tentang uang memang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan belajar yang lainnya. Terutama ketika kita bahkan tak tahu sama sekali harus ke mana dan atau kepada siapa belajar tentangnya.
Semua orang tentu akan langsung menunjuk Bank saat kita bertanya dimana bisa menemukan uang dalam jumlah yang besar. Namun tak semua dapat memberikan jawaban pasti saat kita bertanya, di mana bisa belajar tentang uang?
Sebagian orang tetap konsisten menunjuk ke bank, yang kemudian dengan ragu-ragu membelokkan arah telunjuknya ke sekolah bisnis, atau mungkin langsung menunjuk ke deretan pebisnis kaya yang wajahnya sering tercetak di media massa, yang kembali menekuk telunjuknya karena tak yakin yang ditunjuk tadi membolehkan untuk belajar tentang uang.
Dan pilihan semakin mengerucut saat membayangkan, betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan cuma untuk bisa ‘duduk manis di sekolah bisnis’.
Atau dengan keciutan nyali yang sama tatkala membayangkan tatap mata curiga dan senyum setengah sinis yang diberikan para pebisnis kaya tersebut, saat kita mengutarakan maksud untuk belajar tentang uang kepada mereka, yang seketika membuat pilihan jatuh kepada belajar tentang uang cuma dari buku.
“Membaca buku, Bay...?! Huahh...!!!”
Ingin rasanya saya menyarankan yang lain kepada wajah-wajah kecut yang tak telahir sebagai penikmat buku ini. Misalnya dengan belajar ilmu kelas satu melalui praktek langsung dari pengalaman, yang mungkin akan membuat mereka seketika menjadi lebih hebat dari profesor keuangan manapun saat berhasil mempraktekkannya.
Namun bayangan tentang kegagalan yang berdarah-darah, memaksa saya tetap berkeras menyarankan untuk setidaknya tetap membaca buku, bahkan pada saat mereka telah memulai praktek bisnisnya seklipun! Walau saya dapat membayangkan betapa akan semakin kecut wajah mereka nanti, saat mengetahui bahwa buku-buku tersebut bahkan ada yang lebih tebal dari Kitab Suci, dengan muatan isi yang banyak memaksa kening berkernyit menangkap maksud yang hendak dicapai.
Ada begitu banyak buku yang membahas cukup lengkap tentang uang, juga sikap-kebiasaan serta kepribadian yang ‘katanya’ dapat membuat uang mendatangi kita.
Renald Khasali dengan Change!-nya akan mengajari kita dengan kalimat-kalimat serius yang lumayan berat. Juga Stephen R Covey dengan The 7 Habits dan seri lanjutannya, yang cuma sedikit lebih ringan. Sementara Ari Ginanjar memberi kita banyak pencerahan yang bermanfaat dalam hidup dengan ESQ-nya.
Mau yang lebih spesifik? Donald Trumph mengajarkan hampir semua tentang bisnis properti, juga cara tepat untuk menendang balik siapapun yang telah ‘memakan’ kita. Atau Air Asia dan Virgin Air dengan bisnis penerbangannya yang padat modal dan resiko, walau dengan margin yang sayangnya sangat tidak padat.
Namun dari semua buku tentang uang yang pernah saya baca tersebut, pilihan saya jatuh pada serial Rich Dad karangan Robert T. Kiyosaki, dengan narasi yang cukup ringan dan amat mudah untuk dicerna, yang semasa kuliah dulu sempat membuat saya ikutan jadi kuli menggotong-gotong buku Cashflow Quadrant ke UI dan Al-Azhar sambil sesekali membuka isinya.
Hasilnya? Tetap saja saya bingung dan tidak mengerti apa-apa! Bahkan juga terhadap buku-buku Mr. Kiyo tersebut, yang walaupun tetap saya klaim sebagai buku paling ringan dan mudah untuk dicerna, namun persoalannya akan menjadi lain sama sekali saat saya berkeinginan untuk mempraktekkannya!
Yang Dibutuhkan untuk Bisnis yang Baik
Apa yang dibutuhkan dalam sebuah bisnis yang baik? Yap, sebuah produk yang bermutu. Apapun jenis bisnisnya dan apapun juga produknya.
Begitu juga dengan Lembaga Pendidikan tersebut. Saya panggil penanggung jawab operasional harian untuk bertanya, sudah sejauh apa situasi yang ada.
“Kita kesulitan memperoleh buku panduan belajar yang bermutu, Bay...”, ucap si penanggung jawab harian tersebut, yang selanjutnya mungkin akan terdengar lebih enak bila kita menyebutnya sebagai Er saja.
“Apakah benar-benar tak ada satupun buku yang sesuai dengan target yang kita inginkan? Coba cari di Kartel Toko Buku Anu dan Anu,” ucap saya dengan serius.
Tak lama Er membawa dua set buku belajar, yang agaknya merupakan satu-satunya panduan yang paling mendekati keinginan dan tujuan pencapaian kami. Dan ketika di kedua jaringan Toko Buku terbesar tersebut barang yang kami maksud semakin langka, saya kembali meminta Er untuk menanyakan alamat penerbitnya, guna membeli langsung dari tangan pertama.
Dan berhasil. Sebuah masalah telah lagi selesai. Sementara untuk peningkatan kemampuan instruktur bahasa, saya datangi seseorang yang ada dalam pundi-pundi pertemanan saya, dan memintanya untuk memberikan pelatihan khusus dan intensif kepada SDM, dengan –seperti pelajaran dari Mulan yang selalu saya terima- tenggat dan target yang sesuai racikan dan formula made in saya pribadi, yang beralih bahasa agar lebih terkecap cita rasa keguruannya menjadi TIU dan TIK serta SAP/RP.
Dalam perjalanan ke depannya, teman tersebut menjadi staf In House dan juga In Company Training, yang melayani permintaan seorang Direktur Pabrik Baja di wilayah Tangerang, yang sempat menjadi kolega saya.
Tapi agaknya sang teman memang bukan teman seperti layaknya kebanyakan teman. Dari awal dia sudah tidak menghargai saya sebagai seorang teman terbaik, dan juga lupa bahwa apa yang dia dapatkan selama ini, adalah buah dari pembelaan saya terhadap hidupnya, karena saya memang sudah menganggapnya sebagai adik kesayangan saya sendiri.
Big boy itu kemudian mendapat julukan Afkir, karena katanya, dia memang mirip barang afkiran yang jika dilihat dari wataknya tentu saja tidak bisa dipakai. Bahkan saat saya yang memintapun, dia mengajukan biaya belajar yang cukup tinggi pada masa itu.
Saya jelas kecewa. Namun rasa sayang saya yang begitu besar terhadapnya membuat saya mengalah.
Jer basuki mowo beo, ucap saya dalam hati saat itu, yang kira-kira artinya adalah setiap cita-cita membutuhkan biaya, sebagai salah satu bentuk pemakluman saya terhadap dia.
Imbasnya, saya tekankan kepada SDM untuk belajar sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya, agar memperoleh skill ter-maksimal dalam durasi yang sesuai dengan yang ditetapkan afkir, yang mengakibatkan salah seorang dari SDM tersebut mundur karena merasa otaknya nge-hang.
Otodidak yang Memusingkan
Kembali sebuah masalah menghilang. Dan pada setiap perginya kendala, datang peluang sebagai penukarnya karena memang itulah sunatullah, yang lebih sering dipahami sebagai hukum generatio spontanea dan atau invisible hand, yang mengatur agar semua tetap berjalan sesuai dengan keseimbangannya.
Mutu semakin baik, membawa serta nama yang semakin dikenal juga siswa yang semakin bertambah jumlahnya. Hingga suatu hari Er kembali memberikan laporan berkala kepada saya tentang kemajuan yang cukup signifikan baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Walau kendala buku panduan belajar, masih menjadi yang cukup mengganggu karena terus saja berulang-ulang.
“Bikin buku sendiri aja, Bay...” ucap Er suatu kali, yang langsung membuat saya cukup lama termenung-menung seperti patung.
Kenapa tidak? Apa susahnya membuat buku? Toh saya pernah mencetak Buku Puisi bersama Dijey... Begitu kira-kira monolog saya waktu itu.
Namun membuat buku tentu tak seremeh saat kita mengucapkannya. Terbayang banyaknya waktu yang harus diinvestasikan dalam prosesnya, yang jika menggunakan komputer sewaaan akan langsung menimbulkan ‘biaya peluang’ yang tak masuk akal, bahkan walau misalnya cuma dilihat dari cashflow yang menggunakan staffel sekalipun…!
Cari komputer saja! Langsung saya terbang ke lingkaran teman yang lain, yang tanpa saya membawa uang sepeserpun, ‘kotak pintar’ tersebut serta-merta tertata dengan manisnya, di atas meja komputer ringkih seharga gobanan yang banyak beredar di pasar. Barang second, memang. Namun cukup memenuhi syarat bagi kebutuhan saya yang memang tak banyak menuntut spec tinggi.
Gratiskah komputer tersebut? Buat saya, ya. Namun tidak demikian bagi teman saya.
Saya cuma membuat perjanjian agar dia membayar komputer entah milik siapa dengan uangnya, yang akan saya angsur secara perbulan, dimulai satu bulan setelah benda tersebut tergeletak di tempat saya.
Untuk angsurannya, saya minta persetujuan Er agar mengumumkan sedikit kenaikan biaya belajar. Tentunya dengan target pencapaian mutu belajar siswa yang akan lebih tinggi sebagai konsekuensi dari semuanya. Bereslah sudah.
Tinggal sebuah kendala lagi yang harus saya pecahkan, agar saya dapat segera membuat buku. Dan kendala tersebut tentu saja... mengoperasikannya! Karena saya memang tak bisa menggunakan komputer.
Tak kurang akal, saya datangi kolom teman yang lainnya lagi. Namun kerikuhan karena terlalu sering minta tolong urusan komputer sejak masa sekolah dulu, membuat saya memaksa diri hanya datang dua kali, untuk belajar segala yang membuat saya bisa menggunakan program word dan paint.
Tadinya saya cuma bilang cukup satu kali. Namun entah kenapa saya justru terkeder-keder sendiri dengan segala macam fungsi dari deretan tombol yang banyak terpampang di bagian atas layar monitor tersebut.
Akhirnya tetap dua kali. Dan tetap saja saya masih banyak terkeder-keder pada awal perkenalannya. Bahkan cursor-pun sering nyelonong melewati titik dan kotak yang saya tuju untuk di klik. Hiduup...! Hidup!
Kisah Sedih Di Hari Lalu
Dan gayungpun bersambut. Bahkan seringkali bergoyang dan menari-nari dengan lincahnya, sebab gayung yang ini memang bukan sekedar benda plastik penciduk air.
Keunikan dari komputer bertemu dengan bakat insomnia saya yang muncul sejak era black world, ditambah lagi dengan segala kerumitan permasalahan tentang Mulan juga tentang urusan hidup yang lainnya, membuat saya meleburkan diri seluruhnya ke dalam dunia digital tersebut.
Tak berselang lama komputer menjelma perpanjangan lidah dan tangan saya. Tentu saja setelah beratus-ratus kali salah klik, puluhan kali hilang data, serta beberapa kali install ulang karena salah pencet saat sedang mengoprek tak kenal waktu.
Seperti ketika dengan pedenya saya wipe semua program yang ada di komputer, karena saya pikir wipe itu berfungsi untuk mengkilapkan program dan atau data dari segala virus dan kerusakan seperti bad sector dan sebagainya, yang tentu saja membuat komputer langsung crash dan mogok total.
Siapa sangka sebuah benda elektronik, mampu mengalihkan ingatan saya terhadap Mulan?
Kembali saya lari dari dunia nyata, dan berselancar dalam dunia data yang tak menuntut apapun selain menggunakannya, tak seperti Mulan yang begitu bawel menuntut ini dan itu yang anehnya justru membuat saya semakin kecanduan akan diri dan kebawelannya itu.
Dan ketika saya sudah mapan di depan keyboard serta layar monitor, saya bahkan tak kenal orang yang bernama Mulan sama sekali...!!!
Proyek buku pertama selesai. Mulan datang lagi. Saya kembali lari ke keyboard. Mulan pergi lagi. Saya matikan komputer, Mulan hidup lagi. Saya hidupkan komputer, Mulan mati lagi. Begitu seterusnya, hingga akhirnya saya benar-benar berhenti komputeran hanya jika telah benar-benar merasa amat lelah dan langsung terkapar di tempat tidur.
Makan-minum seadanya dan sedapatnya. Walau jika rejeki saya sedang baik, maka tiba-tiba saja sepiring nasi plus lauknya muncul dari balik pintu kamar saya.
Tidak secara gaib memang, karena nasi tersebut ibu saya yang membawanya. Kadang kakak saya, yang jika tak dilakukan, maka saya cuma makan satu kali saat lelah tadi.
Tak terasa telah lebih dari sekian judul buku yang saya buat, yang sebagian besarnya untuk jenjang TK hingga kelas 2 SD. Dan masih berlanjut terus dan terus, lagi dan lagi, karena saya memang sudah tak punya dunia yang lainnya lagi selain dunia komputer dan pendidikan. Karena dunia nyata saya telah dirampok habis-habisan oleh Mulan. Hingga tak ada satupun lagi yang tersisa di sana.
“Sebegitu besarnyakah cinta lo ke Mulan, Bay...?”
“Ho-oh...” Ucap saya sambil mengangguk-angguk sedih. Karena saya memang amat jarang bisa berbohong, kecuali jika situasi benar-benar menjadikan perkataan saya sulit untuk dilakukan.
“Sebegitu cantiknyakah Mulan, Bay...?”
Jujur, saya gelengkan kepala dengan lemah dan amat perlahan.
Mulan pesek. Mulan berkulit agak gelap. Mulan juga tak pernah memiliki tubuh seseksi para model.
Seringkali saat melihat Lola Amalia saya seperti melihat Mulan. Plek. Pyur. Hanya hidung Mulan lebih rendah walau tak sekecil milik Sule, dan tubuh Mulan juga lebih semampai.
Selain itu, semuanya persis. Dan cinta bukankah memang tak pernah mengenal rupa atau raga...?!
Saya cinta Mulan, terlalu... ucap saya sedih sebab cinta saya yang begitu besarnyapun tak pernah bisa membuat Mulan berada di sisi saya, yang pernah membuat saya menangis saat tertipu keadaan dan menyangka bahwa saya menyukai Si Eksentrik, karena merasa telah mengkhianati Mulan. Walau ternyata saya tak pernah menyukai Si Bocah, sosok yang hanya sempat menyeret saya hingga spektrum kagum yang membumbung, yang setelahnya saya biarkan O’ir melepaskan kerinduannya terhadap Sang Bapak lewat diri saya, yang katanya memiliki banyak persamaan. Walau akhirnya dia tak kuat juga menahan cemburu terhadap Mulan, melalui sekarung catatan tentangnya yang terus saya simpan.
Seringkali saya berpikir bahwa kematian, adalah obat terkuat untuk menyelesaikan masalah Mulan, dan juga masalah-masalah yang lainnya. Alangkah sangat indahnya jika saya memaksa untuk menjemput maut tersebut, walau mungkin waktunya masih jauh dari jatah saya. Namun logika template Si Eksentrik agaknya terlalu banyak mempengaruhi otak saya, yang terus saja memaksa saya untuk berpikir logis dan matematis bahwa mengakhiri hidup jelas tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah hidup. Belum lagi masalah hidup setelah hidup. Karena mati sebelum menyelesaikan masalah hidup tentu hanya akan menimbulkan masalah baru dalam hidup yang tak lagi memiliki mati tersebut, yang katanya abadi, dan tak pernah ada lagi jalan untuk kembali dan memperbaiki. Ah, ...
Tapi bahkan setelah dikepung dengan berbagai permasalahan, saya anehnya tak juga mati kojor atau menjadi gila...! Walau dengan banyaknya ucapan saya yang serupa kata-kata putri Imran, sesaat sebelum melahirkan Isa, yang tanpa sadar terus saya ulang-ulang dengan kalimat yang relatif sama.
“Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan...”
Saya kembali tenggelam, mengubur diri dengan segala kesibukan yang –sekali lagi- harusnya tak mesti menjadi beban saya.
Namun saya tak menjadikan narkoba sebagai pelarian, karena saya tahu bahwa setelah pengalaman yang lalu, kecenderungan diri yang cepat toleran akan terlalu berbahaya jika bermain dengan benda nge-fly tersebut. Juga tak melarikan diri ke dalam black world dan atau kegiatan negatif yang lainnya.
Sang Waktu yang Selalu Tahu-Tahu
Tapi bahkan waktu yang telah serupa keong lumpuhpun, tetap saja memberi saya begitu banyak tahu-tahu, seakan-akan saya adalah pengidap amnesia berat yang lupa akan apapun!
Tahu-tahu malam, yang terus berganti dengan pagi, lalu malam lagi. Tahu-tahu siswa semakin banyak, memaksa kami harus pindah ke lokasi yang jauh lebih representatif. Tahu-tahu bocah yang saya didik itu ternyata anak dari guru-guru saya dulu, entah itu guru sekolah, madrasah atau guru mengaji waktu saya kecil, yang terus berputar generasi menjadi cucu-cucu mereka. Hingga suatu titik, tahu-tahu saya telah berhadapan dengan teman main dan atau teman dari kelompok saya yang lain... sebagai wali dari siswa saya!
Adakah kehidupan yang lebih aneh dari Dunia Aneh Si Bayangan...?!
Saya yang belum punya anak walau telah menginginkannya sejak masih duduk di bangku SMU, begitu repotnya mengurus dan mengajari begitu banyak anak orang lain, yang jelas-jelas merupakan sosok asing dalam hidup saya.
Saya yang dengan segala latar belakang ajaib dan tak membanggakan, justru terperangkap dalam dunia prestise dengan begitu banyak kemasan terbaik yang seakan-akan telah menjadi ‘nama tengah’ saya, yang dalam banyak situasi, memaksa saya untuk memberi konsultasi layaknya seorang resi sakti dengan segudang pemahaman yang mumpuni, kepada wali siswa yang menjadi keluarga besar saya, yang daftar namanya saja barangkali cukup untuk membuat layangan peteng super besar.
Tidak sekedar konsultasi tentang sekolah dan pendidikan saja, seringkali mereka juga meminta teknis serta taktis terbaik yang sekiranya dapat menjadikan usaha yang tengah mereka geluti, menjadi lebih baik dengan cara dan tempo yang relatif sederhana. Mulai dari warung nasi mereka hingga jenjang karir di kantor dan sebagainya mengingat beragamnya latar belakang sosial yang ada. Bahkan tak jarang ada juga yang meminta masukan mengenai rumah tangga, yang setelahnya selalu saja menerbitkan tawa di akhir sesi karena siapapun jelas tahu bahwa saya adalah sosok muda yang belum menikah.
Dan saya sebagai sosok yang paling anti terhadap pendidikan, justru menghabiskan begitu banyak waktu hidup saya, dalam dunia yang pernah saya anggap sangat membosankan itu. Alangkah anehnya...!!!
Adakah kehidupan yang lebih aneh dari Dunia Aneh Si Bayangan...? Tak ada yang berkewajiban untuk menjawabnya. Karena ini memang bukan pertanyaan. Bahkan jika ini sebuah pertanyaanpun, tetap saja tak membutuhkan jawaban. Karena, seperti yang pernah saya ucapkan sebelumnya, seringkali jawaban memang tak pernah mampu untuk menjawab. Seperti pertanyaan yang selalu saja melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lainnya, yang sama pelik, rumit, dan barangkali juga sama anehnya dengan hidup itu sendiri...
waktu telah habis kini, aku tahu
kucoba melupakan semua nyeri
dengan kepura-puraan teguh di mata
dan air mata di hati
kau pasti mengerti…
(‘Surat dari Mu’ dalam ‘Di Bawah Kibaran Dosa’)
Pesan moral dalam cerita ini adalah:
- (Pesan moralnya absent dulu hari ini, sila petik sendiri sesuai selera pribadi…^_)
Salam hangat persahabatan, salam dunia maya…^_
Secangkir Kopi Mencoba Tetap Menjadi Orang Baik, "Dunia Aneh Si Bayangan" bagian ke-7, Kompasiana-15.
(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, dengan tidak bermaksud mendiskreditkan seseorang atau pihak lain) .
Fragmen selanjutnya (Sudah diposting terlebih dahulu, sila klik link judulnya):
Link yang masih berkaitan:
- "Belenggu Angan"
- "Dari Hujan ke Hujan"
- "Dia Bilang, Dia Sedang Mencari Tuhan"
- "Sebuah Tanya Tentang Sunyi"
Link fragmen sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H