Atau bagaimana caranya NEM SMU saya bisa begitu mengejutkan Si Mimi juga Si Tege karena mereka jelas paham siswa seperti apa saya waktu itu.
Atau ketika tanpa perlu belajar berpayah-payah, saya tamatkan jenjang SD dengan peringkat teratas pada setiap tahunnya, dengan selisih nilai rapor amat jauh bahkan dari murid yang paling tokcer sekalipun di beberapa SD yang pernah saya singgahi tersebut, tanpa saya butuh menjadi cerdas atau tergabung dalam komunitas contek massal anak SD yang memalukan itu, yang membuat Sang Menteri turut pula mempermalukan diri dengan mengingkari kejadiannya, yang setelah kejadiannya terus di-blow up media barulah yang mulia menteri tersebut menjanjikan laptop bagi bocah cilik pelapor kecurangan tersebut (yang kabarnya tetap berakhir hanya sebagai janji belaka, tapi entah karena saya tak lagi mengikuti perkembangan beritanya-Red).
Fungsi Utama Jiwa dalam Kehidupan
“Kok bisa, Bay…?”
DESPERADO mungkin cukup untuk mewakili jawaban saya. Komik Jepang yang saya tarik dari altar persembunyian Si Gimbal yang ada gambar dewa babinya! Berkisah tentang petualangan karakter Shina dalam mempelajari gitar, mengingatkan saya saat belajar gitar satu minggu hanya untuk menghadiahi Mulan lagu Kamulah satu-satunya Dewa 19 saat dia ulang tahun, dengan mengganti lirik nama pada lagu tersebut dengan nama asli Mulan yang memang homofon, yang setelahnya –kata Mulan- ditertawakan Igay Si Keponakan, karena banyak petikan yang terdengar tak sama dengan versi aslinya.
Salah Dewa 19 kenapa memainkan nada yang berbeda dengan genjrengan gitar saya, hehehe... Lagi pula saya memang tak berminat untuk menjadi gitaris besar seperti Ian Antono, misalnya, dan sudah merasa amat senang ketika Mulan begitu khusuk dan bersikap romantis menikmati hadiah yang saya mainkan di teras rumahnya -dengan suara yang agak sengau karena flu- saat kami masih remaja.
Tapi saya tidak melengkapinya dengan bunga, karena prosesi itu telah terlalu sering saya lakukan kepadanya. Memetiki bunga yang entah apa ketika berangkat sekolah, yang saya beri ke Mulan lewat kolong laci meja saat kelas agama. Dan ketika tertangkap basah oleh Si Kutu, lantas saja membuatnya cengar-cengir sambil melirik ke arah kami yang jadi jengah dan agak grogi karena malu. Walau hingga waktu yang lama saya masih suka memberi Mulan bunga. Kadang serumpun Edelweis yang khusus saya petik untuk Mulan saat mendaki gunung di wilayah Bogor, Cirebon atau Solo, walau tak jarang setangkai-dua mawar yang saya peroleh di Jalan Kesehatan-Tanah Abang.
“Romantis banget lo, Bay...”
Ah, tidak juga. Saya cuma senang saja melihat wajah Mulan yang berwarna-warni setiap kali menerima bunga dari saya. Perpaduan antara malu, risih, senang, juga lirikan matanya yang curi-curi pandang saat menunduk, sambil melemparkan segumpal besar cinta yang dia punya kepada saya, yang dengan tepat langsung mendarat dan membuat wajah saya belepotan oleh lumpur indah tersebut, dan menetes secipret-secipret ke dalam hati saya.
Dari komik jepang itulah saya mengetahui, bahwa ternyata memang ada yang jauh lebih penting dari sekedar kemampuan dan teknik semata. Dan itu adalah jiwa, yang sering saya pahami sebagai keinginan amat kuat dan begitu menggebu untuk melakukannya: Dengan hati.