Seperti ketika saya baru menyelesaikan buku Arok-Dedesnya Pram yang saya pinjam dari Dian. Langsung saya buat puisi singkat, tentang jika saya menjadi Arok dan dihadapkan pada pilihan antara tahta Ametung dan Dedes, tanpa pikir panjang niscaya saya akan langsung memilih: Ken Mulan, dari sekedar UI!
Puisi itu tentu saya berikan kepada Mulan, yang lantas memulas merah dadu di wajahnya yang malu, yang menjadikannya berpura-pura concern tidak senang hati karena tak ingin saya keluar dari kampus kuning tersebut dengan alasan apapun, mengingat cukup rumit persiapan yang kami buat untuk menembusnya. Walau Mulan lupa atau mungkin juga terlalu bahagia untuk mempersoalkan bait sebelumnya.
Â
Beberapa Dosa Dunia Pendidikan Terhadap Rakyat.
Namun kesaktian saya agaknya tak berumur lama. Karena sesibuk apapun saya mencari kesibukan, tetap saja tak mampu membuat saya memiliki kesibukan apapun yang saya inginkan. Terutama kesibukan yang cukup berarti sebagai kangtaw bagi segala kerugian saya pada kesibukan-kesibukan yang sebelumnya.
Pernah terlintas keinginan saya untuk pindah kuliah dan memulai semuanya dari awal lagi. Namun bayangan tentang ‘sekolah lagi’ dengan segala tuntutan dan konsekuensinya langsung saja membuat saya ngeri.
Alangkah membosankannya, menghabiskan begitu banyak waktu dalam ‘penjara intelektualitas’ dengan segala macam rumor tentang ‘mencerdaskan’ dan menjadikan ‘lebih berkualitas’ yang begitu kental dengan aroma tahayul itu...! Mengutak-atik segala macam rumus dan angka, yang seringkali di kehidupan nyata tidak banyak berguna. Atau menghapalkan begitu banyak teori tingkat tinggi yang bukan milik sendiri, yang jelas-jelas sering enggan berpihak pada hidup itu sendiri.
Jelas pendidikan amatlah penting, ucap saya sambil berusaha keras mengingat-ingat perusahaan dan tempat bekerja mana saja yang telah dimasuki oleh nyaris seluruh yang saya kenal seusai mereka sekolah, yang membuat saya paham untuk siapa dan atau pihak mana sebenarnya pendidikan itu penting.
Dan ke-amat penting-an pendidikan itu semakin saya yakini, walau mungkin dengan cara dan sikap yang ‘agak berbeda’. Terutama saat saya kerap melihat betapa dunia intelektual tersebut, telah menjadi begitu cerdasnya hingga tetap mampu menahan diri untuk tidak berbenturan dan membuat konflik kepentingan dengan para stakeholder-nya, dan memilih untuk tetap ‘cuma’ menjadi pabrik pencetak SDM. Menghasilkan out put yang 100% siap menjadi operator, mungkin juga analisator. Tergantung dari ‘titip pesan’ yang mereka terima. Tanpa pernah berkeinginan lebih untuk menjadikan lulusan yang mereka hasilkan sebagai creator, walau jelas atmosfir yang mereka miliki lebih dari cukup jika sekedar untuk mencetak barisan creature yang serupa baut dalam mesin besar dunia.
Tapi saya tetap menganggap pendidikan amat penting, sambil diam-diam berharap ada ilmu khusus yang mereka terapkan, yang barangkali mampu menjadikan Si Ino yang tukang Es Kebo mem-franchise-kan resep minuman tersebut seperti yang dilakukan Kolonel Sanders.
Atau sekedar memberi sedikit angin kepada Mpok Ipeh hingga mampu mengekspor nasi uduknya ke manca negara.