Dian menatap saya dengan sorot mata yang amat serius dan dalam. Dijey juga. O’ir juga. Bahkan tembok, lampu, kipas angin dan kucing yang lewatpun ikut-ikutan menatap saya dengan sorot yang sama, yang membuat saya buru-buru meneguk habis sisa kopi dan menggantung ‘batang pembunuh’ di sudut bibir sambil beranjak dari kursi.
“Bullshit ini semua…!” teriak saya meniru Si Eksentrik dengan gaya yang sama kerennya, dan ngeloyor bersama bayangnya ke dalam kamar.
Dan setelah mengultimatum diri sendiri untuk menyelesaikan semua kekacauan yang terjadi -seperti yang dulu pernah dilakukan Mulan- saya tatap peta diri yang terpampang di seluruh hidup saya dengan sorot mata yang seperti milik Dian, Dijey atau mungkin kucing yang lewat itu, yang sempat saya duga sebagai kucingnya Si Bintang yang jauh-jauh mampir dari Singapore cuma untuk ikutan memelototi saya. Mencoba mencari-cari dari mana saya dapat memulai perbaikannya.
Di antara saya dan Mulan saat itu ada jalan gelap yang tanpa ujung sama sekali.
Di antara saya dan kehidupan, ada sebuah Lembaga Pendidikan kelas warteg yang dulu pernah saya buat sebagai CSR sebagai mahasiswa terhadap warga.
Dan di antara keduanya saya melihat masa depan mengintip dari balik pintu, yang ketika saya membukanya, membuat masa depan tersebut gerabak-gerubuk hingga nyungsep dan ngusruk menjauhi saya.
Saya memilih Lembaga Pendidikan tersebut, dan melepaskan Mulan untuk terbang ke neraka manapun yang dia inginkan, dan membiarkan masa depan saya turut out bersamanya.
Selesai sudah. Satu masalah telah teratasi. Tinggal bagaimana cara saya mengubah yang lainnya.
Guru Yang Aneh dan Menteri Pendidikan Pembohong.
Kembali saya terlahir, sebagai bayi yang telanjang tanpa sehelaipun benang ketrampilan yang saya punya. Menjadi guru, tanpa memiliki sedikitpun kemampuan dan latar belakang akademis yang mendukung.