Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Belenggu Angan

12 Mei 2015   20:32 Diperbarui: 22 Juli 2015   02:58 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gerimis malam ini meninggalkan hanya sepi. Meluruh satu demi satu membawa uap-uap kesunyian yang beku. Pada beberapa tempat sebagian dari mereka terdampar, pada atap rumah, juga pada daun dan rerantingan pohon. Lalu setelah bergeliat-geliat sebentar dan berbagi kebisuan, mereka kembali luruh dan menyelusup serta-merta ke dalam bumi. Mengendap bersama jutaan tetes lainnya, yang juga membawa kesunyian.

Empat puluh delapan purnama sudah lelaki itu mengasingkan diri, setelah malam gerimis itu. Malam itu, setelah pertentangan yang panjang akan nilai yang mendalam, seseorang yang sempat begitu lekat dalam keseharian lelaki itu pergi. Tanpa gemuruh. Juga tanpa pertikaian. Yang tersisa hanya ingatan akan baju panjangnya, wajah sedihnya, juga tangis bocah yang memecah tiba-tiba.

Mendadak lelaki itu dikagetkan oleh suara pintu yang terbuka.  Refleks ia alihkan pandangan ke sana. Matanya menangkap sebuah bayangan kecil yang bergerak pelan, beringsut-ingsut di antara keremangan teras rumah.

Sosok kecil itu menghampirinya. Gerakannya agak limbung. Tapi sebelum tubuhnya terjajar ke dinding, lelaki itu dengan sigap meraihnya. Dipeluknya tubuh lembut itu dengan sayang, dibelainya, dikecupnya, dan dibawanya kembali ke dalam rumah.

Dan gerimis malam ini kembali meninggalkan hanya sepi.

***

“Alangkah cepatnya waktu berlalu,” lelaki itu bergumam sendiri. Dipandanginya sosok kecil itu, yang kini telah terlelap kembali, dengan penuh cinta. Sosok kecil yang telah begitu banyak memberinya kebahagiaan. Sosok kecil yang telah begitu banyak memberinya kenyamanan. Sosok kecil yang, sadar atau tidak, telah menjadi alasan terbesarnya untuk terus berkuat hati menjejaki kehidupan.

“Alangkah cepatnya waktu berlalu,” lagi-lagi lelaki itu bergumam sendiri. Wajahnya terlihat begitu resah. Ingatannya kembali melayang-layang.

“Jadi… kau sudah punya anak?”

“Ya, sudah hampir lima tahun,” suara lelaki itu terdengar gelisah. Dihindarinya tatapan Reda, teman kantornya, dengan menunduk.

“Ah, sudah besar juga anakmu. Kawin muda kau rupanya.”

“Tanpa pernikahan,” lelaki itu kembali jengah.

“Maksudmu… ‘kecelakaan’?”

Lelaki itu menggeleng.

“Ku-kumpul kebokah? Bukankah itu zina?”

Lelaki itu kembali menggelengkan kepala.

Sesaat keduanya terdiam. Agak lama.

“Bukan maksudku menuduhmu,” Reda kembali berbicara. “Tapi lazimnya hubungan antara pria dan wanita dewasa, melalui pernikahan.”

Lelaki itu masih terdiam.

“Sudah berapa lama kau mengenalnya?” Reda kembali bertanya.

“Lima tahun. Dia teman SMUku dulu…”

“Yah, sudah cukup lama. Tunggu apa lagi? Toh, sudah selama itu kalian tinggal bersama…”

“Kami tak pernah tinggal serumah!” lelaki itu menukas cepat. Suaranya sedikit meninggi.

“Lho? Jadi…? Anak itu…?”

Lelaki itu kembali mendesah. Ditatapnya lagi sosok kecil itu, yang semakin nyenyak mendekap mimpinya. Pelan-pelan ia menyelimutinya, mengecup keningnya, untuk kemudian merebahkan diri di sampingnya. Tidur.

Sayup-sayup masih ia dengar suara gerimis yang menitis satu-satu, sebelum semuanya kembali sepi.

***

Sore yang muram. Matahari terpasung mendung. Gumpalan-gumpalan yang biasanya berwarna putih itu kini berubah hitam, sehitam langit tempatnya melayang.

Lelaki itu mempercepat langkahnya. Ia tak ingin kehujanan di jalan. Masih tersisa dua kelokan lagi sebelum ia tiba di rumah.

Belum lagi ia menjejakkan kaki di halaman rumah ketika sesuatu menubruknya, mengganduli kedua kakinya dengan sangat erat. Sesuatu yang sangat ia sukai.

Selalu begitu. Selalu ketika ia pulang kerja, buah cintanya itu menubruknya. Tepat ketika ia baru memasuki halaman. Barangkali bocah itu telah lama menantinya di teras. Hingga ketika ia muncul, bocah itu langsung berlari menyongsongnya sambil berteriak ‘papa’ keras-keras. Dan, seperti biasa, ia biarkan pelukan kecil itu memberati langkahnya. Ia lingkarkan lengannya pada leher mungil itu, untuk kemudian masuk ke dalam rumah, dengan terseok.

Tapi kali ini lelaki itu bersikap lain. Setelah mengecup kening dan rambutnya, di bopongnya bocah itu ke dalam. Langkahnya sedikit tergesa, berpacu dengan titik-titik yang mulai merintik dari langit.

“Papa bawa oleh-oleh apa hali ini?” tanya si bocah sesampainya di dalam rumah.

Lelaki itu hanya tersenyum seraya menyodorkan kresek bening yang dibawanya.

“Waah… apel melah! Aciiik…! Kita makan cama-cama yah, Pa… Tapi Papa mandi dulu…bau!”

Tertawa-tawa saja lelaki itu ketika si bocah mendorong tubuhnya sambil menutup hidung. Digodanya bocah itu, lalu mereka saling berkejaran dalam tawa.

Tapi kegembiraan memang hanya sesaat sebab kebahagiaan, memformat waktu hingga menjadi begitu ringkas. Malam kembali menjelma, membawa serta setumpuk kegelisahan pada jiwa lelaki itu.

Malam itu ia kembali mencumbui waktu.

***

“Apakah kebahagiaan harus selalu dicerna?” lelaki itu bertanya dengan gamang. Matanya menerawang. Jauh, melewati tubuh Reda yang duduk di hadapannya. Barangkali juga melewati dinding tempat mereka makan.

Alangkah rumitnya kehidupan! Alangkah rumitnya kehidupan yang dijalani lelaki itu! Dua jam sudah ia menemani lelaki itu makan. Dan sudah selama itu pula keningnya berkerut-kerut, mencoba memaknai lagi huruf demi huruf yang mengalir perlahan dari lidah lelaki itu.

Diam-diam Reda merasa menyesal karena terlalu sedikit belajar agama. Pemahamannya begitu terbatas. Ia hanya tahu sedikit tentang halal-haram, fikih shalat, muamalah, juga hal-hal yang bersifat dasar lainnya. Dan ia tahu bahwa itu saja belumlah cukup. Sebab, dari ceritanya, lelaki itu juga tak lebih bodoh dari dirinya.

Ketika lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, Reda hanya tersenyum tipis. Ditepuknya pundak lelaki itu dengan tulus.

“Bersabarlah…!” hanya kata-kata itu yang mampu ia tawarkan.

“Cukupkah hanya dengan itu…?” lelaki itu bertanya lagi. “Sudah em…”

“Bersabarlah…!” tukasnya dengan pelan, teduh.

“Apakah ini teguran dari –Nya? Tapi…”

“Sudahlah…” Reda menukas lagi. “Bertawakallah, perbanyaklah istighfar…!”

***

Gerimis malam ini kembali meninggalkan hanya sepi. Meluruh satu demi satu membawa uap-uap kesunyian yang beku. Seperti malam-malam sebelumnya, selama empat puluh delapan purnama lebih, sebagian dari mereka terdampar lagi. Pada atap rumah, juga pada daun dan rerantingan pohon. Lalu setelah bergeliat-geliat sebentar dan berbagi kebisuan, mereka kembali luruh dan menyelusup serta-merta ke dalam bumi. Mengendap bersama jutaan tetes lainnya, yang juga membawa kesunyian.

Dan pada gerimis kali inipun lelaki itu kembali menunggui malam. Wajahnya masih terlihat resah. Begitu juga tatapannya. Berkali-kali ia menghembuskan nafas dengan keras.

“Alangkah cepatnya waktu berlalu,” lelaki itu bergumam sendiri. Sekali lagi ia hembuskan nafasnya keras-keras.

“Kita telah salah langkah, Kak…” suara perempuan itu terdengar sendu.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya.

“Maafkan aku tak hendak memperpanjang semua. Biar waktu yang menjawab… bila memang kita berjodoh,” suara perempuan itu lagi.

Lelaki itu kembali menggelengkan kepalanya, berharap semua bayang terhempas bersama gerak itu.

Tapi bayang itu tak hilang. Dilihatnya perempuan itu pergi, menyisakan jejak kosong pada hati dan kediriannya.

Sekali lagi lelaki itu menggelengkan kepalanya. Berhasil. Bayangan perempuan itu sirna. Tapi tak lama kemudian sebuah bayangan yang lain menjelma.

“Mengapa tak kau nikahi saja dia waktu itu…?”

“Saat itu kami masih sangat muda, Da, masih kuliah. Tak ada persetujuan orang tua, juga tak ada uang…”

“Tapi kau telah bekerja kini…”

Dan telah sangat terlambat, batin lelaki itu.

Tiba-tiba saja lelaki itu seperti mendengar suara pintu yang terbuka. Tapi kali ini ia tak bereaksi. Hanya diam. Diam.

“Barangkali kebahagiaan memang harus selalu dicerna,” gumamnya setelah sekian lama terlarut dalam diam. Kelelahan membayang jelas di wajahnya. Sebuah kelelahan yang besar buah pergulatannya yang tak kunjung usai. Terhadap kenangan, terhadap kumpulan-kumpulan waktu yang semakin erat membelenggu. Dan malam ini ia bertekad untuk mengakhiri semuanya.

Dengan langkah gontai lelaki itu meninggalkan teras. Melewati pintu, ruang tamu, lalu masuk ke dalam kamar. Dan ia tak menemukan siapapun di sana.

Dalam lelah yang sangat lelaki itu merebahkan diri. Sebuah gumam masih sempat terdesah dari lidahnya, sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap.

Dan gerimis malam ini, sekali lagi, kembali meninggalkan hanya sepi.

“Anakku tak pernah  terlahir…”

Thorn Village, 1408-2310

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun