Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beberapa Dosa Dunia Pendidikan Terhadap Rakyat, serta Pelajaran tentang Uang

16 Juli 2015   04:31 Diperbarui: 16 Juli 2015   04:31 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulan pesek. Mulan berkulit agak gelap. Mulan juga tak pernah memiliki tubuh seseksi para model.

Seringkali saat melihat Lola Amalia saya seperti melihat Mulan. Plek. Pyur. Hanya hidung Mulan lebih rendah walau tak sekecil milik Sule, dan tubuh Mulan juga lebih semampai.

Selain itu, semuanya persis. Dan cinta bukankah memang tak pernah mengenal rupa atau raga...?!

Saya cinta Mulan, terlalu... ucap saya sedih sebab cinta saya yang begitu besarnyapun tak pernah bisa membuat Mulan berada di sisi saya, yang pernah membuat saya menangis saat tertipu keadaan dan menyangka bahwa saya menyukai Si Eksentrik, karena merasa telah mengkhianati Mulan. Walau ternyata saya tak pernah menyukai Si Bocah, sosok yang hanya sempat menyeret saya hingga spektrum kagum yang membumbung, yang setelahnya saya biarkan O’ir melepaskan kerinduannya terhadap Sang Bapak lewat diri saya, yang katanya memiliki banyak persamaan. Walau akhirnya dia tak kuat juga menahan cemburu terhadap Mulan, melalui sekarung catatan tentangnya yang terus saya simpan.

Seringkali saya berpikir bahwa kematian, adalah obat terkuat untuk menyelesaikan masalah Mulan, dan juga masalah-masalah yang lainnya. Alangkah sangat indahnya jika saya memaksa untuk menjemput maut tersebut, walau mungkin waktunya masih jauh dari jatah saya. Namun logika template Si Eksentrik agaknya terlalu banyak mempengaruhi otak saya, yang terus saja memaksa saya untuk berpikir logis dan matematis bahwa mengakhiri hidup jelas tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah hidup. Belum lagi masalah hidup setelah hidup. Karena mati sebelum menyelesaikan masalah hidup tentu hanya akan menimbulkan masalah baru dalam hidup yang tak lagi memiliki mati tersebut, yang katanya abadi, dan tak pernah ada lagi jalan untuk kembali dan memperbaiki. Ah, ...

Tapi bahkan setelah dikepung dengan berbagai permasalahan, saya anehnya tak juga mati kojor atau menjadi gila...! Walau dengan banyaknya ucapan saya yang serupa kata-kata putri Imran, sesaat sebelum melahirkan Isa, yang tanpa sadar terus saya ulang-ulang dengan kalimat yang relatif sama.

“Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan...”

Saya kembali tenggelam, mengubur diri dengan segala kesibukan yang –sekali lagi- harusnya tak mesti menjadi beban saya.

Namun saya tak menjadikan narkoba sebagai pelarian, karena saya tahu bahwa setelah pengalaman yang lalu, kecenderungan diri yang cepat toleran akan terlalu berbahaya jika bermain dengan benda nge-fly tersebut. Juga tak melarikan diri ke dalam black world dan atau kegiatan negatif yang lainnya.

 

Sang Waktu yang Selalu Tahu-Tahu

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun